Mengintip Museum Kanker di Surabaya
2016.08.03
Surabaya

Dinie (26) memasukkan tangan kiri ke sebuah lubang. Dengan mimik wajah serius, ia merasakan setiap gerakan tangan kirinya yang meraba silikon berbentuk payudara dalam kotak. Tidak lama kemudian, ia berujar, “Dapat”.
“Dapat” artinya ia berhasil menemukan tanda-tanda kanker payudara di silikon itu. Silikon yang berbentuk payudara merupakan satu dari koleksi Museum Kanker Indonesia (MKI) yang terletak di Jalan Kayun 16 – 18 Surabaya, Jawa Timur.
Dinie, yang tengah hamil 7 bulan, memang sengaja datang ke museum kanker untuk belajar dan menambah pengetahuan. Baginya keberadaan museum ini sangat penting dan bermanfaat bagi kaum perempuan.
“Saya sudah datang empat kali ke sini. Saya tidak pernah bosan, karena ingin terus menambah pengetahuan tentang kanker. Apalagi perempuan sangat rentan, terutama kanker serviks dan kanker payudara,” ujarnya.
Pertama di Indonesia
Museum Kanker Indonesia ini didirikan oleh Yayasan Kanker Wisnuwardhana pada 2 November 2013. Total ada 30 alat peraga kanker yang dipamerkan di sini terdiri dari alat peraga sel kanker tulang, kanker payudara, kanker sel getah bening, kanker paru-paru, dan sel kanker lainnya.
Museum ini juga dilengkapi double headed microscop untuk melihat sel kanker, serta berbagai peraga terkait sel kanker lainnya. Setiap sudut ruangan ada penjelasan mulai dari gejala hingga penanganan berbagai macam kanker.
Museum kanker ini sangat istimewa, terutama bagi warga yang ingin menambah pengetahuan, karena merupakan satu-satunya yang ada di Indonesia, dan sekaligus juga diklaim yang pertama di seluruh dunia.
Pendiri Museum Kanker Indonesia, Ananto Sidohutomo mengatakan, museum ini hadir sebagai sarana pendidikan, pengabdian kepada masyarakat, tempat penelitian, hiburan dan salah satu tujuan wisata di Kota Surabaya.
“Kami juga menyajikan koleksi sejarah, budaya, barang dan serangkai yang bisa dideteksi panca indera menyangkut penanggulangan kanker pada tiap tahapan promotif, preventif, deteksi dini, diagnostic, kuratif, rehabilitatif dan paliatif masa lalu, kini dan masa depan,” terangnya kepada BeritaBenar, Sabtu, 30 Juli 2016.
Di museum ini juga disajikan jumlah penderita kanker serviks yang meninggal di seluruh dunia. Angka itu akan terus bertambah setiap saat mengikuti jumlah penderita yang meninggal dunia. Saat BeritaBenar menyambangi museum itu tertulis 144345 perempuan menjadi korban kanker serviks.
Menurut data, setiap tahun penderita kanker di Indonesia mencapai tidak kurang 15 ribu orang. Dari jumlah itu, setiap hari terdiagnosa 40 perempuan yang mengalami kanker serviks dan 20 orang meninggal dunia.
Salah satu ruangan Museum Kanker Indonesia di Surabaya, Jawa Timur, 30 Juli 2016. (Yovinus Guntur/BeritaBenar)
Target museum
Sejak pertama dibuka, pengunjung yang datang berasal dari beragam latar belakang. Manager Marketing Komunikasi Museum Kanker Indonesia, Deanandia, menyatakan mereka yang datang ke museum mulai dari pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, hingga dosen dan pengajar.
Kendati begitu, museum kanker telah menetapkan dua sasaran target. Target pertama adalah remaja yakni siswa SMA dan mahasiswa. Mereka menjadi pilihan karena kampanye pencegahan kanker akan jauh lebih berhasil.
“Di usia remaja, masih ada kesempatan untuk mencegah kanker,” tutur Deanandia.
Target yang kedua adalah ibu atau perempuan dengan rentang usia pertengahan 30 hingga 40 tahun.
“Berdasarkan statistik RSUD dr Soetomo Surabaya, mereka yang terkena kanker serviks sudah dalam stadium lanjut berada di rentang usia tersebut. Itulah dua target kami soal pencegahan kanker,” jelasnya.
Museum tersebut juga sebagai tempat berkumpul komunitas masyarakat yang menjadi korban kanker. Dian Ayu (50) adalah salah satunya. Ibu dua anak ini menderita kanker payudara sejak tahun 1991 atau saat masih berusia 25 tahun.
Dian mengaku dapat bertahan hingga saat ini setelah bertemu dengan sesama komunitas di museum ini.
Meski awalnya sempat terpuruk dan terpukul dengan kanker payudara yang dideritanya, Dian bisa kembali bangkit dan survive hingga kini padahal satu payudaranya harus diangkat.
“Bersama anggota komunitas lain, saya bangkit setelah mampu membangun kesiapan mental, kepercayaan diri serta kemauan untuk terus hidup. Dukungan keluarga seperti suami, orang tua dan anak cukup besar bagi saya,” ujarnya.