Satu Tenaga Medis di Papua Ditemukan Tewas Pasca Serangan ke Puskesmas
2021.09.16
Jakarta

Petugas pada Kamis (16/9) mengevakuasi jenazah seorang tenaga kesehatan yang diduga terjatuh ke jurang saat menyelamatkan diri dari penyerangan yang diduga dilakukan oleh kelompok separatis terhadap sebuah Puskesmas di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, kata polisi.
Gabriella Meilani (22), satu dari dua tenaga medis yang hilang saat terjadi penyerangan dan pembakaran fasilitas umum di Distrik Kiwirok pada Senin, ditemukan dalam kondisi meninggal dunia Rabu, ujar Kapolres Pegunungan Bintang, AKBP Cahyo Sukarnita.
Sementara rekannya Kristina Sampe Tonapa ditemukan selamat dengan luka tusuk dan memar di sekujur tubuhnya, kata Cahyo.
“Pagi ini baru mau dievakuasi jenazah Gabriela karena semalam kondisi cuaca sangat buruk. Korban luka juga telah mendapatkan perawatan medis,”
Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Mushtofa Kamal mengatakan kedua tenaga kesehatan terperosok ke jurang saat melarikan diri dari serangan orang yang diduga anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Lamek Alipki Taplo.
Selain membakar Puskesmas Kiwirok, penyerang juga merusak sejumlah fasilitas umum lainnya seperti sekolah dasar, pasar, Bank Papua, dan perumahan guru dan tenaga medis.
“Pagi-pagi setelah adanya kontak tembak dengan TNI tidak lama kemudian OPM membakar fasilitas umum dan melakukan tidak kekerasan tersebut,” kata Kamal.
Sebelumnya, kontak tembak yang berlangsung selama empat jam antara aparat gabungan TNI dan Polri dengan kelompok OPM terjadi pada Senin pagi itu mengakibatkan satu personel TNI terluka, kata Kamal.
Yan Christian Warinussy, pengacara sekaligus aktivis HAM Papua, mengecam penyerangan terhadap fasilitas publik itu.
“Tidak dibenarkan fasilitas medis diserang, padahal fasilitas itu pasti juga digunakan oleh anggota OPM. Jadi saya harap TNI Polri segera menangkap dan mengungkap pelaku kejahatan itu,” ujar dia.
Sebby Sambom, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap bersenjata dari OPM, tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Awal bulan ini, Sambom mengancam kelompoknya tidak akan berhenti melakukan penyerangan di seluruh Tanah Papua sampai pemerintah mau duduk bersama untuk berunding dengan OPM.
Tidak diketahui bagaimana persiapan keamanan di provinsi paling timur Indonesia tersebut yang pada 2-15 Oktober ini dipersiapkan menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional.
Konflik di Papua memanas dalam beberapa bulan terakhir, terutama setelah tewasnya Kepala BIN Papua Brigjen I Gusti Putu Danny Nugraha Karya pada bulan April.
Kematian Danny Karya itu pula yang menjadi salah satu pemicu pemerintah memutuskan untuk menyebut kelompok separatis yang melakukan kekerasan sebagai teroris.
Empat prajurit tewas dalam penyerangan ke pos TNI di Maybrat, Papua Barat pada 2 September. TPNPB mengaku bertanggungjawab atas serangan ini.
Awal Juni, kelompok yang sama juga menyerukan warga pendatang untuk keluar daerah yang dilanda peperangan pasca-penembakan dua warga sipil di Ilaga, Kabupaten Puncak. TNI ketika itu merespons dengan mengatakan aparat keamanan menjamin keamanan dan keselamatan warga.
Sejak wilayah Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1969, konflik antara separatis dan aparat keamanan Indonesia terus mewarnai wilayah Papua.
Aktivis hak asasi manusia dan sebagian warga Papua melihat Pepera manipulatif karena melibatkan hanya sekitar 1000 orang yang telah diinstruksikan untuk memilih bergabung dengan Indonesia.
Tidak tuntas
Anggota Komisi 1 DPR Tubagus Hasanudin mengatakan masalah Papua ini tidak pernah diselesaikan dengan komprehensif sehingga terus berulang.
Ia mengkritik TNI-Polri yang lamban dalam menyelesaikan kasus-kasus di Papua, walaupun jumlah TNI yang sekitar 10.000 jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah OPM.
“Sementara OPM hanya ratusan saja. Mengapa sulit sekali?” katanya.
Pakar keamanan dan pertahanan, Soleman B Ponto mengatakan dialog tak cukup untuk menyelesaikan masalah Papua, sementara kekerasan terus terjadi.
“Kalau menentukan sikap ya jangan setengah-setengah, mereka keras kita juga keras. Menurut saya menetapkan daerah operasi militer tidak ada masalah,” kata dia seperti dikutip Metro TV.
Ia menilai pemerintah Indonesia dihadapkan pada keputusan sulit karena takut dianggap melanggar hak asasi manusia.
“Kalau kita pakai kekerasan, nanti dibenturkannya dengan HAM tapi kalau hanya begini saja ya rakyat dan masyarakat sipil terus jadi korban. Jadi serba salah juga,” kata dia.