Nuril: ‘UU ITE Direvisi atau Dihapus Saja Biar Tak Ada Lagi Orang Seperti Saya’

Terlalu jauhnya campur tangan negara dalam urusan privat, penyebab maraknya kasus terkait UU ITE, demikian menurut aktivis.
Anton Muhajir
2017.06.15
Denpasar
170615_ID_ITE_1000.jpg Anggota DPR Rieke Dyah Pitaloka (tengah) memberikan dukungan kepada Baiq Nuril Maknun di Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, 24 Mei 2017.
Dok. Koalisi Save Nuril

Baiq Nuril Maknun (36) tidak terima dengan tuntutan pidana penjara enam bulan dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan yang diajukan jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Rabu, 14 Juni 2017.

Dua Jaksa Penuntut Umum, Julianto dan Ida Ayu Putu Camundi Dewi, menyatakan Nuril, ibu rumah tangga yang tinggal di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), telah melanggar Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Menurut jaksa, Nuril telah dengan sengaja dan tanpa hak membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik bermuatan melanggar kesusilaan.

“Saya tak terima dengan tuntutan itu karena saya tidak melakukan hal yang dituduhkan,” kata Nuril kepada BeritaBenar melalui telepon, Kamis, 15 Juni 2017.

Kasus Nuril bermula Maret 2015 ketika dia bekerja sebagai tenaga honorer di SMAN 7 Mataram. Ia dilaporkan IM yang saat itu menjabat kepala sekolah di tempatnya bekerja. Nuril dianggap telah menyebarkan rekaman curhatan IM kepada Nuril untuk orang lain.

Dalam rekaman itu, IM bercerita lewat telepon kepada Nuril bahwa dia telah melakukan hubungan seksual dengan perempuan bukan istrinya, yang juga kolega Nuril di tempat kerja. Nuril merekamnya di ponsel sebagai bukti bahwa dia tak punya hubungan khusus dengan IM sebagaimana dituduhkan beberapa orang.

Setelah rekaman bocor ke publik, IM kemudian melapor Nuril ke Polres Mataram, Maret 2015. Laporan itu sempat mengendap hingga dua tahun.

Pada Maret 2017, polisi memanggil Nuril dan langsung menahannya. Nuril mendekam di tahanan selama dua bulan sebelum kemudian statusnya berubah menjadi tahanan kota.

Selama itu, suaminya harus mengurusi tiga anak mereka sehingga dipecat dari tempat kerjanya. Nuril juga kemudian dipecat dari tempat bekerja.

“Ini sangat tidak adil bagi saya,” ujarnya.

Negara campuri hak privat?

Tuntutan 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta terhadap Nuril mendapat reaksi pegiat kebebasan, termasuk dari Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFENet).

“Tuntutan jaksa atas ibu Nuril berlebihan dan mengabaikan fakta hukum yang ada,” kata Damar Juniarto, Koordinator Regional SAFENet.

Menurut Damar, tuntutan itu salah alamat karena pelaku tindak pidana bukan Nuril, tapi orang lain. Tuntutan dinilainya juga berlebihan karena lemahnya dakwaan dan barang bukti pada persidangan.

SAFENet merupakan jaringan pegiat kebebasan berekspresi di Indonesia. Jaringan yang terbentuk sejak 2015 mengadvokasi berbagai kasus UU ITE, seperti pendokumentasian dan pendampingan hukum. Anggota mereka tersebar di beberapa kota, seperti Jakarta, Palembang, Makassar, dan Denpasar.

Menurut Damar, tuntutan terhadap Nuril melengkapi kian banyaknya tuntutan hukum dengan UU ITE kepada pengguna internet di Indonesia.

Penyebab maraknya kasus terkait UU ITE, menurut Damar, akibat terlalu jauh campur tangan negara dalam urusan privat.

Dalam beberapa kasus, korban UU ITE dituntut berdasarkan obrolan privat di aplikasi pesan ringkas semacam BlackBerry Messenger, Facebook Messenger, atau WhatsApp.

“Karena itu negara harus mundur dengan tidak terlalu jauh mencampuri hal-hal yang bersifat pribadi,” kata Damar kepada BeritaBenar.

Dalam data SAFENeT, sejak 2008 setelah UU ITE disahkan hingga Juni 2017, setidaknya terdapat 194 kasus hukum terkait UU ITE.

Bersamaan dengan sidang terhadap Nuril, di beberapa tempat juga berlangsung proses hukum menggunakan UU yang sama, seperti terdakwa Otto Rajasa di PN Balikpapan, dan ada juga Aking Saputra yang ditetapkan oleh Polres Karawang sebagai tersangka penistaan agama dan pelanggaran UU ITE.

Kasus-kasus tersebut termasuk dalam 12 kasus yang terjadi sepanjang 2017.

Menurut data SAFENet, jumlah kasus terkait UU ITE cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dalam lima tahun terakhir, kasus yang terpantau SAFENet yaitu tujuh kasus pada 2012, 20 kasus (2013), 34 kasus (2014), 29 kasus (2015), dan 85 (2016).

Dari sisi media sosial yang dipakai, Facebook menempati posisi pertama yaitu sebanyak 56,5 persen dan Twitter 12,4 persen. Sisanya aplikasi lain seperti YouTube, blog, Path, SMS, dan WhatsApp.

Hampir 80 persen kasus yang dilaporkan memakai Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik.

Kasus terkait UU ITE dalam pemantauan SAFENet hanyalah sebagian contoh. Faktanya, kasus di lapangan bisa jadi lebih banyak. Sebagai perbandingan, menurut data Kejahatan Siber Polda NTB, jumlah kasus pada 2016 mencapai 86 kasus.

Perempuan lebih rentan

Selama setahun terakhir, SAFENet juga menyoroti maraknya korban UU ITE di kalangan perempuan. Menurut Damar, meskipun dari sisi jumlah korban masih lebih banyak laki-laki, tapi posisi perempuan lebih rentan.

“Dampak kerusakan terhadap perempuan lebih besar daripada laki-laki,” ujarnya.

Dia mencontohkan terjadinya kasus perceraian pada seorang perempuan yang pernah dihukum penjara karena dijerat UU ITE. Ada juga yang tidak bisa mengurus anak setelah dituntut.

“Perempuan korban UU ITE ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula,” tambahnya.

Nuril menyampaikan hal senada dengan Damar. Sebagai orang yang dituntut dengan UU ITE, dia merasa aturan itu tidak berprikemanusiaan.

“Kalau bisa, UU ITE direvisi atau dihapus saja biar tidak ada lagi orang seperti saya,” kata Nuril.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.