Tim Terpadu HAM Papua Terus Ditolak
2016.06.17
Jayapura

Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan kembali mengunjungi Jayapura sebagai upaya untuk menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Papua.
Ikut bersamanya kali ini, Kepala Bappenas Sofyan Jalil dan tiga duta besar dari negara anggota Melanesia Spearhead Group yaitu Salana Kalu (Kepulauan Solomon), S.T Cavuilati (Fiji) dan Peter Ilau (Papua Nugini).
“Pemerintah ingin menunjukkan kepada dunia, kita serius dan transparan melakukan ini (penyelesaian kasus HAM), tidak ada rekayasa,” ujar Luhut usai bertemu beberapa tokoh masyarakat di Kantor Gubernur Papua, Kamis, 16 Juni 2016.
Ia menjelaskan, pemerintah telah membentuk tim terpadu yang bertugas menghimpun data, informasi, dan analisa, yang laporannya akan diserahkah kepada presiden. Tim yang dibentuk Mei lalu beranggotakan 39 orang dari Papua dan Jakarta.
Menurut Luhut, tim terpadu akan membuat kriteria apa pelanggaran HAM secara tidak berpihak, transparan, dan terukur. Dari kriteria dapat ditarik kesimpulan bahwa dari 22 kasus yang masuk, hanya tiga kasus benar-benar bisa digolongkan sebagai pelanggaran HAM, yaitu kasus Wasior, Wamena dan Paniai.
Ingin pihak netral
Tapi upaya pemerintah terus ditolak masyarakat Papua, terutama orang-orang yang mengaku korban pelanggaran HAM. Menurut mereka, pelaku pelanggaran HAM adalah aparat negara. Sehingga tak mungkin penyelesaiannya dilakukan negara yang notebene diduga sebagai pelaku.
Sehari sebelum kedatangan Luhut, warga Papua yang difasilitasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menggelar aksi unjuk rasa di Jayapura untuk menolak tim bentukan Menko Polhukam itu.
“Tidak mungkin wasitnya, mereka yang diduga pelaku. Yang memfasilitasi tim ini Menko Polhukam. Dia militer. Sejak awal tim ini difasilitasi polisi. Bagaimana kami mau percaya?” ujar Peneas Lokbere, Koordinator Bersatu Untuk Kebenaran (BUK), kepada BeritaBenar, Jumat.
Ia selama ini gencar mengkoordinir para korban kasus pelanggaran HAM di Papua untuk menuntut keadilan. Menurutnya, para korban ingin pihak netral untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
“Kami ingin tim pencari fakta yang netral. Ini pernah diusulkan negara-negara Pasifik melalui resolusi Pacific Islands Forum (PIF), September tahun lalu. Tapi presiden tidak merespon surat permohonan yang dikirim Ketua PIF, Perdana Menteri Papua Nugini,” ujar Lokbere.
Niko You, paman Alpius You – yang merupakan salah seorang korban Paniai Berdarah, 8 Desember 2014 – juga mempertanyakan tujuan tim terpadu. Sebab, sudah delapan kali tim datang menemui korban dan keluarga korban.
“Polisi di sini, TNI, Polda Papua, Mabes Polri, Mabes TNI, Staf Khusus Presiden, Komnas HAM, LPSK dan Tim Menko Polhukam. Kami sudah kasih data ke semua tim,” ujar Niko.
“Hasilnya mana? Sekarang mau buat tim lagi? Tujuannya apa? Delapan tim yang sudah datang itu umumkan dulu pada publik nasional dan internasional, apa temuan mereka.”
Dasar hukum dipertanyakan
Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Warinusy, mempertanyakan dasar hukum pembentukan tim terpadu tersebut.
Menurut dia, dalam kasus Wasior dan Wamena, seharusnya Kejaksaan Agung didorong segera membawanya ke Pengadilan HAM. Sebab kedua kasus tersebut telah diserahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ke Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu.
“Apa dasar hukum yang memberi wewenang pada Menko Polhukam dan tim tersebut? Kenapa Pemerintah Indonesia tidak memberi penguatan dan mendukung Komnas HAM sebagai lembaga berkompeten sesuai aturan agar menjalankan tugasnya dengan baik?” ujar Warinusy mempertanyakan.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Yunus Wonda juga meyakini tim terpadu tidak independen meski melibatkan sejumlah pemerhati HAM Papua. Dia menyarankan kasus-kasus HAM di Papua diselesaikan Komnas HAM, tanpa perlu melibatkan pihak lain.