Pelibatan TNI Tindak Terorisme Dinilai Berpotensi Langgar HAM
2016.07.28
Jakarta

Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai rencana pelibatan TNI untuk memberantas terorisme dalam revisi Undang-Undang 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme) sebagai bentuk kekeliruan karena berpotensi menimbulkan masalah baru.
Beberapa lembaga pegiat hak asasi manusia (HAM) yang tergabung dalam koalisi itu antara lain Imparsial, Kontras, ELSAM, YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, PBHI, ICW, Setara Institute, dan Lespresi.
“Kami menangkap pelibatan TNI itu bisa merusak mekanisme criminal justice system, mengancam demokrasi dan menimbulkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM),” kata Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf di Jakarta, Kamis, 28 Juli 2016.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian, yang juga adalah mantan kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga menampakkan ketidaksetujuan dengan wacana pelibatan, TNI sebab dalam penindakan terorisme, aparat penegak hukum harus mengutamakan HAM.
"Penindakan itu upaya yang mengandung risiko. Risikonya, kalau terjadi perlawanan dari tersangka, mungkin ada korban. Bisa luka, bisa juga meninggal dunia,” katanya seperti dilansir merdeka.com.
“Dalam konteks penegakan hukum itu semua tindakan yang mengakibatkan seseorang meninggal atau terluka, itu harus dipertanggungjawabkan."
TNI mempunyai prosedur tetap melumpuhkan tanpa diawali prosedur peringatan sehingga Tito khawatir TNI tidak memberikan peringatan saat melakukan penindakan.
Tidak melalui UU Antiterorisme
Menurut Al Araf Pansus DPR tak perlu memasukkan TNI dalam revisi UU Antiterorisme karena secara legal pelibatan militer sudah diatur di UU TNI Nomor 34 tahun 2004, dimana tugas TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, melindungi bangsa dan mempertahankan keutuhan NKRI.
“Tugas TNI sebagai bagian dari penjaga NKRI dan bukan dalam penegakan hukum. Kalau TNI terlibat, maka ini merupakan kemunduran demokrasi Indonesia,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Bila TNI ingin terlibat dalam upaya pemberantasan terorisme, tambahnya, yang harus dilakukan bukan melalui UU Antiterorisme melainkan merevisi UU TNI.
“Kalau mau, rambu-rambu diatur kapan dilibatkan, berapa lama dan siapa yang memerintahkan. Jika tidak, itu akan menarik militer seperti Orde Baru. Itu sangat berbahaya dalam sistem hukum demokrasi,” tegas Al Araf.
Ketua Setara Institute, Hendardi menyatakan, DPR seharusnya menangkap aspirasi publik yang tak menghendaki TNI diberi kewenangan dalam penindakan terorisme karena TNI dan Polri bekerja dengan pendekatan berbeda.
“Doktrin TNI adalah kill or to be killed dalam menghadapi musuh. TNI bekerja dalam kerangka perang yang dipastikan mengabaikan prinsip fair trial dan penghormatan HAM,” katanya dalam siaran pers yang diterima BeritaBenar.
“Sementara Polri bekerja pada area penegakan hukum, sehingga patuh pada prinsip fair trial dan memungkinkan pengutamaan penghormatan terhadap HAM.”
Menurut Hendardi, pelibatan TNI dalam operasi militer dibenarkan melalui perintah presiden atau dengan membentuk UU Perbantuan Militer.
“Perluasan wewenang TNI dengan menyisip peran baru dalam berbagai penanganan kejahatan berpotensi mengembalikan supremasi militer pada ruang sipil. Ini merusak sistem penegakan hukum pidana,” ujar dia.
Terburu-buru
Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqodas menyebutkan bahwa meski TNI dimungkinkan membantu Polri, tapi pemerintah tidak perlu tergesa-gesa merampungkan revisi UU Antiterorisme.
“Pembahasan jangan sampai memenuhi nafsu kekuasaan, penyusunan harus sesuai akademik, bersama rakyat. Draft perlu diberi ke media, ke masyarakat sipil untuk dibahas, dievaluasi. Jangan sampai dipaksakan hanya karena ingin cepat selesai,” katanya.
Pemerintah harus menjaga marwah TNI sebagai aparat keamanan dan perdamaian. Saat ini, posisi TNI sudah baik karena tidak lagi terlibat dalam penegakan hukum sipil, katanya.
“Kalau TNI dilibatkan sama saja membunuh HAM, Jangan tarik TNI ke ranah publik karena TNI itu bukan aparat penegak hukum,” ujar Busyro.
Ia mencontohkan, permasalahan baru akan muncul jika terjadi pelanggaran oleh TNI karena peradilannya di Pengadilan Militer. “Hakimnya militer, jadi tidak obyektif dan masyarakat sulit untuk menuntut,” kata dia.
Perlu dipertimbangkan
Tetapi, pakar Terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, mengatakan pelibatan TNI perlu dipertimbangkan untuk memberikan porsi yang tepat dan dituangkan dalam UU Antiterorisme.
“Soal terorisme tak perlu harus menjadi domain dari Polri saja. Keterlibatan TNI perlu dibuatkan regulasi yang tepat dan tidak kontraproduktif,” katanya.
Menurut dia, TNI hari ini telah mengalami transformasi luar biasa sehingga tidak perlu trauma dengan masa lalu.
“Hanya perlu ada dewan pengawas yang betul-betul independen dan berintegritas untuk kontrol penuh mulai hulu sampai hilir dalam kontra terorisme di Indonesia,” ujarnya.
Harits mengatakan, kasus Poso dengan Operasi Camar Maleo dan operasi Tinombala butuh waktu lama karena sinergitas yang solid tak ada. Apalagi, ujarnya, kemampuan polisi untuk operasi di gunung sangat rendah sehingga banyak lubang tikus yang bisa ditembus kelompok Santoso.
Ketua Pansus Revisi RUU Antiterorisme, M.Syafii mengatakan wacana pelibatan TNI semakin menguat karena usulan dari anggota pansus karena penanganan terorisme tidak hanya oleh penyidik (kepolisian).
“Polisi hanya bisa bertindak jika sudah ada peristiwa. Sementara melawan terorisme perlu persiapan intel dan pasukan TNI. Tapi butuh proses panjang dalam pembahasan dan akhir tahun baru selesai,” jelasnya.