Respons Beragam Sambut Kesepakatan Pengiriman TKI Satu Pintu ke Arab Saudi

Sejak 2015, Pemerintah Indonesia menghentikan sementara pengiriman tenaga kerja ke 19 negara Timur Tengah termasuk Arab Saudi.
Arie Firdaus
2018.10.15
Jakarta
181015_ID_migrantworkers_1000.jpg Dalam foto tertanggal 29 Agustus 2007, aktivis membawa foto para buruh migran Indonesia yang mengalami kekerasaan di Saudi Arabia dalam sebuah demonstrasi di kedutaan Arab Saudi di Jakarta.
AFP

Kesepakatan yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi mengenai penempatan pekerja migran melalui satu pintu ditanggap beragam dari sejumlah pihak.

Ada yang menilai perjanjian itu sebagai titik awal perbaikan perlindungan warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di Arab Saudi, namun ada juga yang pesimis.

"Saya melihatnya sebagai langkah awal baik untuk semua pihak karena mempermudah pengawasan," kata Deputi Perlindungan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Teguh Hendro Cahyono kepada BeritaBenar, Senin, 15 Oktober 2018.

Dalam kesepakatan berjumlah 21 poin itu, pekerja migran Indonesia, antara lain, bakal terlebih dahulu ditampung oleh perusahaan perantara yang bertanggungjawab kepada Pemerintah Arab Saudi sebelum disalurkan kepada pihak yang membutuhkan.

Dalam kesepakatan itu tidak lagi langsung dari perusahaan penyalur yang membawa dari Indonesia menuju majikan perseorangan yang membutuhkan jasa pekerja migran.

Selain itu, gaji yang akan dibayar melalui sistem perbankan, tak lagi seperti sebelumnya secara tunai dari majikan ke pekerja migran, dan pembentukan komite gabungan yang bertugas mengawasi proses rekrutmen dan penempatan pekerja migran.

"Mekanisme-mekanisme yang disusun dalam kesepakatan itu relatif dapat melindungi (pekerja migran)," tambah Teguh.

Sebaliknya, pendapat Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah yang pesimis dengan sistem baru yang diteken pemerintah tersebut.

"Masih perlu ditunggu bukti keberhasilannya," kata Anis saat diminta komentarnya.

Sejak 2015, Pemerintah Indonesia menghentikan sementara pengiriman tenaga kerja ke sebanyak 19 negara Timur Tengah --termasuk Arab Saudi. Moratorium dilakukan menyusul maraknya tunggakan pembayaran dan kekerasan termasuk hukuman mati terhadap pekerja Indonesia.

Berdasarkan catatan Migrant Care, sedikitnya lima buruh migran Indonesia telah dihukum mati oleh Pemerintah Arab Saudi sejak 2008. Angka ini bahkan berpotensi bertambah mengingat masih ada 21 buruh migran lain yang kini menunggu eksekusi serupa.

Sejak moratorium tahun 2015 tersebut, 5.000-10.000 pekerja Indonesia berketerampilan rendah telah dikirim ke luar negeri secara ilegal, demikian kata Nusron Wahid, kepala BNP2TKI, Mei lalu kepada media.

Tak perlu tergesa-gesa

Meski belum memastikan waktu keberangkatan, otoritas ketenagakerjaan Indonesia sempat menyatakan bakal memberangkatkan sekitar 30 ribu pekerja migran ke Arab Saudi dalam enam bulan masa uji coba yang disepakati.

Nantinya, mereka hanya akan ditempatkan sebagai penjaga anak, juru masak keluarga, penjaga orang lanjut usia, sopir keluarga, dan asisten rumah tangga.

Perihal jumlah 30 ribu yang diberangkatkan selama masa percobaan, Anis berharap pemerintah dapat memikirkan ulang dan tidak tergesa-gesa memberangkatkan kembali pekerja migran ke Arab Saudi.

"Itu (30 ribu) bukan uji coba," lanjut Anis, "siapkan saja dulu aturan turunan penunjang kesepakatan, seperti soal teknis layanan terpadu satu kanal atau sistem pengawasan."

Menyangkut desakan aktivis agar pemerintah tak terburu-buru, BeritaBenar mencoba menghubungi Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Maruli Hasoloan. Tapi telepon dan pesan singkat yang dikirim tak beroleh balasan.

Secara total, terdapat 1,3 juta buruh migran Indonesia yang kini bekerja di Arab Saudi --lebih besar dari catatan BNP2TKI yang hanya 379 ribu orang.

Tak gugurkan moratorium

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri setelah penandatanganan kesepakatan tersebut pada Kamis pekan lalu menegaskan pakta itu tidak otomatis akan menggugurkan moratorium pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi dan negara Timur Tengah lain.

Perihal itu, terang Hanif, baru akan diputuskan setelah pembahasan lanjutan dengan berbagai pihak.

"Ini hanya untuk memastikan bahwa hubungan kerja antara majikan dan pekerja migran berjalan sesuai hukum dan peraturan di kedua negara dan konvensi internasional," katanya.

Hanif percaya kesepakatan itu bakal membawa perubahan baik bagi pekerja Indonesia di Arab Saudi dan sekaligus pembenahan tata kelola penempatan TKI.

"Kami optimis, dengan berbagai perbaikan yang terintegrasi melalui satu sistem yang disepakati kedua negara dapat menjadikan perlindungan pekerja migran berjalan lebih baik," tambahnya.

Optimisme serupa juga disampaikan Menteri Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial Kerajaan Arab Saudi, Ahmed bin Suleiman bin Abdulaziz al Rajhi.

"Semoga masa uji coba ini dapat berjalan baik," katanya.

"Melindungi hak pekerja migran dan mengatur hubungan kerja antara majikan dan pekerja migran seusai hukum dan konvensi internasional."

Mei 2018 lalu, Kementerian Ketenagakerjaan mengumumkan bahwa Indonesia akan mengirimkan TKI sektor pekerja rumah tangga ke sejumlah kota di Arab Saudi dan Qatar.

Hanif menyebutkan kerja sama itu dalam rangka pembenahan tata kelola penempatan PMI, baik terkait perlindungan maupun peningkatan kesejahteraan.

“Bagi Indonesia, kerja sama bilateral ini bukanlah hal mudah. Hal ini karena banyak kasus yang menimpa pekerja migran Indonesia di Arab Saudi, seperti pelecehan, kekerasan, pelecehan seksual, gaji yang tidak dibayar, eksploitasi, ancaman hukuman mati yang mempengaruhi persepsi publik,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.