IPAC: Perempuan Napi Terorisme Butuh Pendampingan Khusus di Penjara
2020.09.23
Jakarta

Pemerintah perlu menambah jumlah petugas penjara wanita yang perannya sangat penting sebagai pendamping atau wali di tengah meningkatnya jumlah perempuan narapidana kasus terorisme dalam tiga tahun terakhir, sebut laporan lembaga resolusi konflik Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) terbaru.
Menurut IPAC, sepanjang periode 2004 hingga 2020, terdapat 39 perempuan yang telah divonis, ditahan atau sedang menunggu persidangan karena terlibat dalam beberapa aktivitas terorisme seperti pendanaan, menyembunyikan militan, dan berbaiat menjadi salah satu kombatan kelompok terafiliasi Negara Islam (ISIS).
Dari jumlah tersebut, sebanyak 30 di antaranya ditangkap pada periode 2018 dan 2019, kata IPAC dalam laporannya yang berjudul Extremist Women Behind Bars in Indonesia.
“Protokol yang berlaku di penjara Indonesia belum bisa mengimbangi kenaikan jumlah perempuan yang ditahan karena terorisme,” sebut IPAC dalam laporan yang dirilis 21 September 2020.
Sementara, hanya sebelas perempuan narapidana terorisme yang ditahan di bawah otoritas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) mendapat pendampingan dari wali, kata IPAC.
IPAC menganggap pendampingan yang dilakukan para wali perempuan atau orang yang dipercaya untuk menemani dan memberikan bimbingan kepada para teroris perempuan ini lebih efektif ketimbang pendekatan konseling agama di dalam mengikis pola pikir radikal narapidana ini.
“Di sini peran wali menjadi sangat penting, karena kepercayaan yang berkembang antara wali dan narapidana dapat menjadi penentu perilaku ketimbang program formal seperti penyuluhan agama,” tulis laporan peneliti IPAC.
Pada salah satu kajiannya, IPAC menyoroti peran seorang wali yang dianggap berhasil menumbuhkan rasa percaya pada salah satu terpidana, Tutin Sugiarti, yang dihukum tiga tahun penjara karena keterlibatannya dalam menyiapkan “pengantin” atau pelaku bom bunuh diri pada 2017.
Desember 2018, Tutin dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Khusus Wanita di Semarang, Jawa Tengah ke Lapas Wanita Tangerang. Selama berada di sel Tangerang, Tutin kerap mengancam petugas penjara dengan berbagai kekerasan karena menganggap mereka sebagai thogut, istilah yang digunakan kaum militan sebagai orang yang harus dibasmi karena tidak mengindahkan perintah Tuhan.
Seorang wali, yang ternyata adalah kawan lama Tutin di kampungnya di Ciamis, Jawa Barat, awalnya melakukan pendekatan dengan mengatakan bahwa dirinya tidak berbeda dengan Tutin karena sama-sama seorang Muslim, namun cara tersebut tidak berhasil.
Wali tersebut lalu mencoba cara lain dengan memanfaatkan keahlian Tutin sebagai terapis bekam. “Meski awalnya enggan, Tutin akhirnya setuju. Saat itu ancaman berhenti--setidaknya terhadap wali--dan hubungan mereka jadi lebih bersahabat,” tulis laporan IPAC.
Dalam contoh kasus lainnya, seorang wali di Lapas Wanita Lampung memfasilitasi seorang perempuan narapidana, Nurhasanah, untuk melakukan panggilan video jarak jauh dengan orang tuanya di Indramayu, Jawa Barat.
Nurhasanah divonis enam tahun penjara karena terlibat dalam penyerangan kantor polisi di Indramayu dengan “bom panci” bersama suaminya, Galuh Rosita Charisma, pada Juli 2018. Dalam serangan yang berhasil digagalkan polisi itu, Galuh ditembak polisi dan akhirnya tewas.
Petugas penjara juga mendapati Nurhasanah memiliki keterampilan menjahit dan melibatkannya dalam penjahitan masker untuk kebutuhan penanggulangan COVID-19. Nurhasanah menjahit masker dengan warna merah dan putih – khusus dibuat untuk dijual dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus.
IPAC menyebut upaya para wali untuk memahami latar belakang para narapidana memberikan dampak yang signifikan dalam memoderasi pandangan perempuan militan, meski pada beberapa kasus hal tersebut mengalami kemunduran karena mereka kembali berkontak dengan pasangan yang masih berpaham radikal.
“Dirjen PAS perlu menyusun kembali uraian tugas untuk wali (baik di penjara laki-laki maupun perempuan) dan memastikan bahwa ada promosi dan gaji yang lebih tinggi. Ini bisa membantu perekrutan personel yang lebih profesional,” tulis IPAC.
Baik pejabat di Dirjen PAS maupun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak memberikan respons ketika dimintai komentarnya.
Kluster sebelum dan sesudah ISIS
IPAC mengelompokkan dua klaster perempuan terorisme yang ditahan berdasarkan periode waktu kemunculan Negara Islam (ISIS) pada Juni 2014.
Sebelum periode ISIS, hanya ada empat perempuan militan yang ditangkap karena menyembunyikan buronan atau menolak memberi informasi kepada aparat berwenang terkait kegiatan terorisme.
Sementara, perempuan-perempuan yang ditangkap karena aktivitas terorisme pada klaster setelah ISIS di antaranya merupakan simpatisan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), pekerja migran, dan deportan pro-ISIS.
Namun juga ada yang terinspirasi dari aksi bom bunuh diri Surabaya, Jawa Timur, 2018, yang dilakukan oleh satu keluarga beranggotakan enam orang.
Meski demikian, IPAC menyayangkan sikap aparat berwenang yang masih melihat bahwa peran perempuan dalam terorisme hanya sebagai pendukung. “Sikap seperti itu tidak membantu dalam merumuskan program yang efektif untuk melawan radikalisasi perempuan,” kata IPAC.
Pada Juni 2020, Kepala BNPT Komjen Polisi Boy Rafli Amar mengatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam terorisme karena empat alasan. Pertama, perempuan dianggap sebagai pengikut yang loyal dan patuh, kedua, perempuan mudah percaya dan tunduk dengan nuansa yang berbalut ajaran agama.
Ketiga, perempuan punya akses ke media sosial meski literasinya rendah, dan terakhir, keterlibatan perempuan dianggap sebagai siasat yang bisa mengelabui aparat.
“Mereka yang terlibat umumnya ibu rumah tangga dan perempuan biasa,” kata Boy dalam sebuah diskusi daring.
Pendanaan janda dan anak napi terorisme
Peneliti senior Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), Muhammad Taufiqurrohman, menilai pemerintah perlu membuat dasar hukum yang lebih ketat terhadap sejumlah transaksi keuangan yang melibatkan janda-janda atau keluarga para narapidana terorisme.
Dalam penelitiannya, iuran yang dikumpulkan kelompok-kelompok radikal di Indonesia tidak seluruhnya dialokasikan untuk kegiatan terorisme, melainkan juga disalurkan untuk menghidupi janda-janda atau keluarga narapidana terorisme (napiter).
“Kelompok-kelompok ini terus mendanai keluarga napiter, janda atau anak-anaknya, supaya mereka tidak ikut program deradikalisasi dari pemerintah. Jadi jaringannya tidak terputus meski “pejuang” mereka tewas atau ditahan,” kata Taufiq kepada BenarNews.
“Pemerintah perlu buat aturan khusus yang melarang pengumpulan dana untuk kegiatan yang menentang program deradikalisasi,” tambahnya.
Taufiq menyebut beragam cara dilakukan kelompok radikal untuk mengumpulkan iuran, salah satunya adalah menggunakan lembaga amal. “Pada satu ketika, mereka pernah berhasil mengumpulkan sampai Rp40 juta (sekitar U.S.$2.600) per bulan. Itu jumlah yang sangat lumayan,” katanya.
Kendati demikian, program iuran melalui lembaga donor tersebut mulai tersendat saat BNPT dan Densus 88 yang bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bergerak aktif melacak transaksi keuangan mencurigakan.
“Sekarang mereka itu paling cuma bisa kumpulkan iuran 500 ribuan (rupiah) paling besar. Tidak sampai puluhan juta (rupiah). Makanya kemarin ada kejadian di Poso tembak polisi di Bank Mandiri, diduga kuat hendak merampok,” kata Taufiq, merujuk insiden baku tembak simpatisan MIT dengan aparat di Sulawesi Selatan, pertengahan April 2020.
Laporan IPAC juga menyebut pentingnya pendekatan-pendekatan dalam mendorong terjalinnya kembali hubungan keluarga--selain yang terpapar terorisme--dengan perempuan narapidana terorisme di dalam memutus koneksi dengan kelompok-kelompok radikal.
“Kedekatan dengan keluarga dapat berperan penting sebagai akses untuk mendapatkan uang atau makanan dari kerabat sehingga perempuan cenderung tidak bergantung pada organisasi amal ekstremis untuk mendapatkan bantuan,” sebut IPAC.