Pers: Pengusiran reporter AS saat KTT di Jakarta berdampak buruk bagi Indonesia

Namun ada yang mengatakan untuk tidak menganalisis insiden tersebut secara berlebihan, “Mungkin hanya protokoler”.
Ahmad Syamsudin
2023.09.08
Jakarta
Pers: Pengusiran reporter AS saat KTT di Jakarta berdampak buruk bagi Indonesia Presiden Indonesia Joko Widodo (tengah) melakukan selfie dengan wartawan usai konferensi pers penutupan KTT Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) ke-43 di Jakarta, 7 September 2023.
Adek Berry/AFP

Citra Indonesia sebagai negara dengan kebebasan pers tercoreng minggu ini ketika seorang reporter Gedung Putih yang bepergian bersama wakil presiden AS sempat dilarang meliput pertemuan puncak ASEAN di Jakarta setelah meneriakkan pertanyaan, demikian pendapat sejumlah jurnalis lokal dan pendukung kebebasan pers.

Patsy Widakuswara, koresponden Gedung Putih untuk Voice of America, diizinkan kembali masuk setelah pejabat AS melakukan intervensi, dan seorang pejabat dari Kementerian Luar Negeri Indonesia  kemudian meminta maaf atas insiden tersebut, demikian pengakuan jurnalis itu.

“Ada saat-saat di mana berteriak tidak pantas. Ini bukan salah satunya,” kata Patsy yang besar dan memulai karir jurnalismenya di Indonesia dalam video yang diposting di media sosial.

Aloysius Budi Kurniawan, mantan ketua divisi advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengatakan kejadian tersebut dapat merusak reputasi diplomatik Indonesia.

“Hal tersebut tidak boleh terjadi pada KTT ASEAN yang seharusnya menjadi ajang bermartabat bagi diplomasi Indonesia,” kata Wawan – panggilan Aloysius – kepada BenarNews.

“Tindakan petugas keamanan sudah keterlaluan. Pertanyaan yang diajukan Patsy masuk akal.”

Patsy meneriakkan pertanyaan saat pertemuan bilateral Indonesia – AS mulai ditutup untuk pers. Ia menanyakan kepada Wakil Presiden AS Kamala Harris tentang kemungkinan kesepakatan nikel Indonesia dan kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo tentang apakah dirinya kecewa atas ketidakhadiran Presiden Joe Biden di  KTT ASEAN. Baik Kamala maupun Jokowi tidak menjawab pertanyaannya.

Wawan mengatakan Indonesia harus mengevaluasi langkah-langkah keamanannya di pertemuan puncak dan menghindari sikap terlalu kaku dalam menangani media.

Muhammad Rusmadi, editor di outlet Rakyat Merdeka, mengatakan Patsy adalah "panutan" bagi jurnalis Indonesia.

“Itulah yang harus dilakukan oleh semua jurnalis: kritis, spontan, waspada, selalu mencari sumber,” kata Rusmadi kepada BenarNews.

Petugas keamanan seharusnya diberi pengarahan tentang cara menangani jurnalis yang sudah diperiksa secara fisik, katanya.

“Kecuali suaranya yang keras memecahkan lampu, tidak ada alasan untuk mengecualikan dia dari acara tersebut,” candanya.

Patsy mengatakan bahwa setelah ia meneriakkan pertanyaannya, seorang pejabat Indonesia menunjuk ke arahnya dan dengan marah meminta petugas keamanan untuk mengetahui namanya, kata Patsy di tautan X (Twitter).

“Di luar, saya langsung dikepung oleh sekuriti Indonesia yang menyuruh saya keluar karena saya berteriak.

Mereka mengatakan saya dilarang mengikuti dan meliput acara lainnya,” kata Patsy yang menyebut keadaan menjadi tegang.

Sejumlah pejabat AS termasuk Duta Besar Amerika untuk Indonesia bersikeras agar ia diijinkan masuk. Petugas keamanan Indonesia akhirnya menyetujui dengan catatan dia tidak berteriak lagi.

Pada saat itu… Saya tidak punya pilihan selain mengatakan ‘okay’, karena orang-orang berteriak dengan mengangkat tangan mereka, dan juga karena saya mendengar bahwa wakil presiden sudah pergi.” Belakangan, Patsy mengatakan bahwa seorang staf diplomatik Kementerian Luar Negeri Indonesia mendatanginya dan meminta maaf.

AJI Jakarta mengecam tindakan aparat keamanan dengan mengatakan bahwa tindakan tersebut merupakan upaya untuk menghalangi pekerjaan jurnalistik.

“Tindakan aparat keamanan dan pejabat Indonesia dengan mengusir dan diduga melakukan intimidasi verbal terhadap seorang jurnalis telah merusak citra Indonesia sebagai negara demokrasi yang melindungi dan menjamin ruang aman bagi jurnalis untuk menjalankan tugas jurnalistiknya,” kata AJI Jakarta kepada BenarNews.

Wakil Presiden AS Kamala Harris (kanan) berjalan bersama Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo sebelum pertemuan bilateral mereka di sela-sela KTT ASEAN ke-43 di Jakarta, 6 September 2023. [Willy Kurniawan/Pool/via AFP]
Wakil Presiden AS Kamala Harris (kanan) berjalan bersama Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo sebelum pertemuan bilateral mereka di sela-sela KTT ASEAN ke-43 di Jakarta, 6 September 2023. [Willy Kurniawan/Pool/via AFP]

“Bisa jadi hanya masalah protokol”

Namun beberapa pihak memperingatkan agar tidak menganalisis insiden tersebut secara berlebihan.

Bernadetta Febriana, jurnalis majalah mingguan GATRA, memperingatkan agar melihatnya secara lebih menyeluruh.

“Mungkin saja ini hanya masalah protokol semata,” ujarnya.

Meski mengakui bahwa Patsy, warga kelahiran Indonesia, diperlakukan agak kasar, Bernadetta mengatakan “tidak semua praktik di Amerika itu baik.”

“Hal yang normal di Amerika belum tentu berlaku di Indonesia,” ujarnya.

“Setiap tempat memiliki adat dan kebiasaannya masing-masing. Kita harus menghormati mereka dan tidak langsung mengambil kesimpulan bahwa kebebasan pers di Indonesia buruk.”

Rosan Roeslani, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, membela tindakan petugas keamanan tersebut, dengan mengatakan bahwa acara itu hanyalah sesi foto, dan teriakan serta suara keras dapat menimbulkan masalah keamanan.

Meski demikian, pemerintah menyayangkan kejadian tersebut, katanya.

“Kami tetap berdedikasi untuk menjunjung kebebasan pers dan akan mencoba mengklarifikasi dan mengikuti protokol khusus dalam acara guna mencegah kesalahpahaman atau gangguan di masa depan,” kata Rosan seperti dikutip oleh VOA.

Reaksi beragam

Pengakuan Patsy tentang kejadian tersebut menuai reaksi beragam dari pengguna media sosial. Beberapa orang mengatakan dia tidak sopan. Yang lain memujinya karena keberanian dan profesionalitasnya.

“Kak, aku sudah melihat videonya. Pertama-tama, ini bukan sesi tanya jawab dengan media. Kedua, Anda berteriak dan terlalu keras saat Wakil Presiden Kamala dan Presiden Jokowi sedang melakukan pertemuan bilateral. Ini bukan tentang kebebasan pers, Anda hanya berada di tempat dan waktu yang salah,” tulis seorang warganet bernama Ranggarila di X.

“Menurut saya, ada baiknya kamu terus melakukan pekerjaanmu, Patsy. Saya sebenarnya bukan seorang jurnalis, namun saya melihat pentingnya profesi Anda bagi masyarakat seperti saya,” tulis pengguna X lainnya bernama Tendo Hideaki.

Beda budaya?

Korps jurnalis pers Gedung Putih, yang meliput presiden dan wakil presiden AS, dikenal agresif dan keras dalam mengkritisi pemerintahannya.

Namun di Indonesia, jurnalis cenderung lebih menghormati pejabat publik, terutama presiden dan anggota kabinet.

Para jurnalis Indonesia jarang mengajukan pertanyaan yang kritis atau yang dinilai menyinggung perasaan para pejabat, dan sering kali mengikuti naskah atau agenda yang telah ditentukan sebelumnya oleh penyelenggara acara media.

Wartawan Istana Kepresidenan di Indonesia dikenal memiliki hubungan dekat dan ramah dengan pemerintah.

Indonesia memiliki sejarah kebebasan pers dan demokrasi yang relatif singkat, setelah bangkit dari pemerintahan otoriter selama beberapa dekade di bawah pemerintahan mantan Presiden Soeharto pada tahun 1998. 

Dengan lebih dari 700 stasiun televisi, 2.000 stasiun radio, dan 300 surat kabar, Indonesia kini memiliki salah satu pasar media terbesar dan paling dinamis di Asia.

Namun mereka juga menghadapi banyak tantangan, seperti campur tangan politik, ancaman hukum, kekerasan terhadap jurnalis, sensor mandiri, kurangnya sumber daya dan pelatihan, serta persaingan dari media sosial dan platform online.

Sejumlah wartawan tampak meliput pertemuan puncak ASEAN di Jakarta, 7 September 2023. [Adi Weda/Pool Photo via AP]
Sejumlah wartawan tampak meliput pertemuan puncak ASEAN di Jakarta, 7 September 2023. [Adi Weda/Pool Photo via AP]

Bukan yang pertama

Peristiwa itu bukan kali pertama Patsy berhadapan dengan pejabat. Dia menjadi bagian dari kontroversi selama pemerintahan Donald Trump pada tahun 2021 ketika dia dicopot dari jabatannya di Gedung Putih setelah ia meneriakkan pertanyaannya ke Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS ketika itu.

Insiden ini dikecam dan dipandang sebagai sebuah anomali oleh para pengamat pers di Amerika Serikat. VOA mengangkat kembali Patsy beberapa minggu kemudian setelah terjadi pergantian kepemimpinan.

Patsy, yang besar di Jakarta, menyatakan dalam sebuah postingan media sosial bahwa dia lebih menghargai tradisi kebebasan pers di Amerika Serikat.

“Saya adalah dan akan selalu bangga menjadi orang Indonesia, sama seperti saya bangga sebagai orang Amerika. Namun saya tahu tradisi kebebasan pers mana yang saya sukai,” tulisnya.

Tria Dianti dan Dandy Koswaraputra di Jakarta berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.