Polisi Tangkap Dua Pelaku Persekusi Bocah di Bekasi

Aktivis memperkirakan kasus persekusi terhadap anak lebih besar jumlahnya dari yang dilaporkan.
Arie Firdaus
2018.04.13
Jakarta
180413_ID_Gafatar_1000.jpg Dalam foto tertanggal 26 Januari 2016 ini, sejumlah anak anggota Gafatar, organisasi yang dilarang pemerintah, berkumpul di sebuah penampungan di Jakarta setelah mereka direlokasi dari Kalimantan untuk menghindari - apa yang disebut oleh kelompok hak asasi manusia sebagai - persekusi warga.
AFP

Kepolisian Resor Kota Bekasi menangkap dua pria yang diduga sebagai pelaku persekusi terhadap dua anak berinisial AJ (12) dan HK (13) di Kampung Rawa Bambu Besar, Bekasi Utara.

Satu orang telah ditetapkan sebagai tersangka, "berinisial MN," kata juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Argo Yuwono kepada BeritaBenar, Jumat, 13 April 2018.

Seorang lain berinisial TW yang turut diamankan sampai Jumat sore masih diperiksa, belum berstatus tersangka.

MN alias Tuyul diduga melakukan tindakan kekerasan berupa menjambak, memiting, dan menelanjangi kedua bocah, setelah seorang dari mereka dituduh mengambil jaket yang tengah dijemur di kediaman mertua MN, pada Minggu dini hari lalu.

"Tersangka dijerat Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan," tambah Argo.

Apabila terbukti di pengadilan, MN terancam hukuman maksimal 7 tahun penjara.

Menurut Kepala Polres Kota Bekasi, Komisaris Besar Indarto, aparat menangkap MN di rumahnya pada Kamis malam, tanpa perlawanan.

“Polisi masih memburu dua orang lain yang diduga turut terlibat dalam persekusi itu,” katanya.

Indarto menjelaskan bahwa persekusi bermula saat AJ dan HK bersama seorang rekan lain berinisial R nongkrong tak jauh dari kediaman mertua MN yang bernama Alim.

Belakangan, aksi kumpul-kumpul tersebut berubah menjadi dugaan tindak pencurian. MN dikatakan memergoki HK mengambil jaket yang tergantung di rumah Alim.

Kaget tepergok, HK lantas kabur, disusul dua bocah lain. Bocah R berhasil melarikan diri, tapi HK dan AJ ditangkap MN dan warga Rawa Bambu Besar sehingga menjadi korban persekusi.

"Warga kesal karena di lingkungan mereka sering kehilangan spion dan tawuran. Mereka melampiaskannya, karena mengira korban adalah pelaku sebelumnya," kata Indarto.

Terus berulang

Aksi main hakim sendiri seperti yang menimpa bocah HK dan AJ bukan yang pertama di kawasan Bekasi, Jawa Barat.

Agustus tahun lalu, seorang pria dibakar setelah diduga mencuri alat pengeras suara di sebuah masjid di Kampung Muara Bakti, Bekasi.

Enam terdakwa telah dibawa ke pengadilan akibat kejadian itu dan telah mendengarkan tuntutan hukum dengan besaran beragam, mulai 10 hingga 12 tahun penjara.

Dua bulan sebelumnya, aksi persekusi juga terjadi di Cipinang, Jakarta Timur, menimpa seorang anak 15 tahun.

Aksi itu dilakukan dua anggota Front Pembela Islam (FPI) yang menilai bocah tersebut menghina pemimpin FPI, Rizieq Shihab.

Adapula persekusi atas sepasang muda-mudi berinisial R (28) dan M (20) di Kampung Kadu, Cikupa, Banten, November tahun lalu.

Mereka diarak keliling kampung dalam kondisi tanpa busana setelah dianggap bertindak cabul di sebuah rumah kontrakan.

Tindakan persekusi itu menyeret enam warga Cikupa – dua di antaranya bahkan tokoh di kampung tersebut yaitu Ketua Rukun Warga (RW) bernama Gunawan Saputra dan Ketua Rukun Tetangga (RT) bernama Komarudin, ke meja hijau.

Pengadilan Negeri Tangerang telah menuntaskan kasus ini dengan membacakan vonis untuk semua pelaku pada Kamis, 12 April 2018.

Komarudin beroleh hukuman paling tinggi yakni lima tahun penjara.

Ia dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana bersama-sama melakukan kekerasan yang menyebabkan luka, melakukan tindak tidak menyenangkan, dan menyebarluaskan pornografi.

Ketua RW Gunawan Saputra divonis 1,5 tahun penjara. Sedangkan empat pelaku lain yaitu dihukum masing-masing tiga tahun penjara.

Persekusi berujung kematian juga terjadi pada Februari lalu. Seorang remaja di kawasan Tambora, Jakarta Barat, meninggal dunia setelah dianiaya enam pengemudi ojek daring (online).

Tindakan tersebut bermula dari tuduhan pemerasan yang dilakukan korban atas rekan pengemudi ojek daring.

"Takut melapor"

Argo berharap masyarakat bisa menahan diri agar persekusi tidak terulang di masa mendatang.

"Karena kalau dibiarkan akan menjadi ancaman," ujarnya, tanpa merinci lebih lanjut jumlah kasus persekusi yang terdata di kepolisian.

Merujuk data Bareskrim Polri yang dikumpulkan mulai akhir 2016 hingga Oktober 2017, setidaknya terdapat 47 kasus persekusi di Indonesia. Namun data itu sebatas persekusi yang dipicu aktivitas di media sosial.

Menurut data Jaringan relawan kebebasan berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SafeNet, sebanyak 105 orang mengalami dugaan persekusi selama tahun 2017.

Aktivis dari Indonesia Child Protection Watch (ICPW) Erlinda juga tidak bisa memastikan jumlah pasti korban persekusi, khususnya terhadap anak-anak.

"Untuk kawasan Polda Metro Jaya, catatan saya ada sembilan kasus. Sejak 2015 sampai sekarang," kata Erlinda.

Tapi, dia yakin jumlah tersebut lebih besar dari yang terdata.

“Bisa tiga kali lipat karena selama ini korban persekusi takut melapor ke pihak berwajib,” katanya.

Sedangkan, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, sebanyak 16 orang dari 23 kasus yang menimpa anak-anak, meninggal dunia akibat kekerasan fisik selama tiga bulan pertama pada tahun 2018.

Kelompok minoritas juga kerap menjadi korban persekusi seperti kaum Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT), Jemaat Ahmadiyah Indonesia , penganut Syiah, dan juga anggota organisasi yang dilarang pemerintah, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.