Jokowi: Manfaat Pembangunan Belum Sepenuhnya Merata
2017.08.16
Jakarta

Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengakui belum seluruh rakyat Indonesia merasakan buah kemerdekaan berupa pemerataan pembangunan, meski republik ini sudah berusia 72 tahun.
Hal itu dikatakan Jokowi dalam pidato kenegaraan menyambut kemerdekaan Indonesia ke-72 pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 2017 di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu, 16 Agustus 2017.
"Kita menyadari manfaat pembangunan belum sepenuhnya merata di seluruh pelosok tanah air," katanya.
"Bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum sepenuhnya kita bisa wujudkan," lanjut Jokowi, menyitir sila kelima Pancasila.
Padahal, kata Jokowi, pemerataan pembangunan sejatinya bisa menjadi faktor perekat Indonesia yang membuat masyarakat merasa diperhatikan, tanpa muncul persepsi ada warga negara kelas dua atau kelas tiga.
"Semuanya adalah warga negara Indonesia, setara mendapatkan manfaat dari pembangunan,” tambahnya.
“Kita ingin rakyat di perbatasan Papua, bisa memiliki rasa bangga pada tanah airnya, karena kawasan perbatasan telah dibangun menjadi beranda terdepan dari Republik.” ujar Jokowi yang dalam pidato yang disiarkan secara nasional itu menyisipkan berbagai sapaan khas sejumlah daerah di Indonesia, termasuk “Salamu’alaikum, Kruen Semangat,” untuk warga di Sabang, Aceh, dan “Namek-Namuk, Izakod Bekai Izakod Kai” untuk warga Maumere di Papua.
Menurut Jokowi, pemerintah selama ini telah berusaha keras meningkatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh Indonesia, dan terhitung berhasil kendati belum maksimal.
Ia merujuk pada naiknya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjadi 70,18 pada 2016, dari sebelumnya 68,90 pada 2014; serta turunnya Indeks Gini Rasio dari 0,414 pada September 2014 menjadi 0,393 pada Maret 2017.
Atau, turunnya angka kemiskinan dari 28,59 juta orang pada Maret 2015 menjadi 27,77 pada Maret 2017.
"Saya yakin hanya dengan pemerataan ekonomi kita akan semakin bersatu," ujarnya, "pembangunan yang berkeadilan akan membuat kita semakin kuat dalam menghadapi persaingan global."
Tantangan bangsa
Selain menyinggung pemerataan ekonomi yang belum terwujud, dalam pidatonya, Jokowi juga memaparkan tantangan-tantangan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia seperti kemiskinan dan ketidakadilan.
Salah satu yang ditekankan adalah menghilangkan ketergantungan pada sumber daya alam, seperti minyak dan gas, kayu, atau mineral. Menurutnya, era booming sumber daya alam perlahan-lahan akan berakhir.
Ia mencontohkan booming minyak dan gas yang telah selesai pada 1970-an dan booming kayu tahun 1990-an.
"Beberapa komoditas lainnya merosot tajam," katanya.
Maka, tambah Jokowi, "Kita harus berubah."
Tak cuma soal ketergantungan terhadap sumber daya alam, tantangan lain bangsa Indonesia, menurut Jokowi, adalah berkembangnya gerakan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme.
Dia menilai, gerakan-gerakan tersebut tak boleh ada di Indonesia lantaran negara telah dibentuk dengan berpegang pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
"Karena itu, saya serukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk terpanggil menjalankan tugas dan tanggungjawab kebangsaan kita untuk ikut serta bela negara," ajaknya.
“Dari sekian banyak tantangan itu, tantangan yang paling penting dan seharusnya menjadi prioritas bersama dari semua lembaga negara adalah mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari rakyat.”
Jokowi pun menyebut korupsi sebagai tantangan lain yang bisa menghambat daya saing bangsa. Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan dukungan terhadap penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pernyataan terkait korupsi ini terhitung menarik lantaran disampaikan di hadapan para anggota DPR yang selama ini getol ingin merevisi Undang-Undang KPK, salah satunya terkait ihwal penyadapan yang harus mendapat izin dari pengadilan.
Ketua DPR, Setya Novanto beberapa waktu lalu telah ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) yang merugikan negara Rp 2,3 triliun. Proyek itu bernilai total Rp 5,9 triliun.
Hanya saja Novanto tak hadir saat Jokowi berpidato pada sidang paripurna DPR dengan alasan sakit.
Beragam respons
Mantan Presiden B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri, tampak menghadiri pidato kenegaraan presiden yang rutin diadakan sehari menjelang hari perayaan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhalangan hadir, meski diundang.
Dalam pernyataan resmi, Ketua MPR Zulkifli Hasan memuji pidato kenegaraan Jokowi dengan menyebutnya sebagai pernyataan tepat janji.
"Itu sesuai dengan slogan yang selalu digaungkan Presiden sejak awal, yakni, 'kerja... kerja... kerja'," kata Zulkifli, "kami atas nama rakyat Indonesia menyatakan terima kasih dan memuji prestasi, capaian, dan keberhasilan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi."
Pujian sama dilontarkan politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani yang menyatakan Jokowi berpidato dengan baik karena tak hanya memaparkan pencapaian, tapi juga menyinggung tantangan bangsa.
"Menurut saya itu kelebihannya," kata Arsul.
Tetapi, Wakil Ketua DPR Fadli Zon justru merespons negatif pidato Jokowi. Menurut politikus Partai Gerindra itu, data-data yang disampaikan Jokowi di pidato tak sesuai realitas di lapangan.
Fadli mengaku kerap menemukan rakyat yang kesusahan ekonomi saat berkunjung ke daerah-daerah.
"Jadi Presiden harus memeriksa kenyataan di lapangan. Jangan hanya dari angka saja," kata Fadli seusai sidang, seperti dikutip dari laman Kompas.com.
Kritik juga disampaikan pegiat hak asasi manusia (HAM), Haris Azhar, yang menyoroti ketiadaan masalah HAM dalam pidato kenegaraan Jokowi.
"Artinya Jokowi tidak mengindahkan masalah HAM," kata Haris kepada BeritaBenar.
Sedangkan pengamat politik LIPI, Siti Zuhro menilai pidato Jokowi cukup baik lantaran berani menyampaikan dukungan terbuka terhadap pemberantasan korupsi dan KPK di depan anggota DPR.
Tak ada pengamanan khusus
Menjelang puncak HUT ke-72, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan tidak ada pengamanan khusus di Istana Negara.
Dalam hampir seminggu terakhir sekitar 13 terduga teroris ditangkap di sejumlah wilayah, termasuk lima orang hari Selasa atas dugaan merencanakan serangan bom dalam bulan ini.
"Enggak ada (pengamanan khusus), normal-normal saja," kata Pramono kepada wartawan di Istana Negara, Jakarta, Selasa 15 Agustus 2017.
Sementara itu Polri mengatakan siaga untuk pengamanan 17 Agustus.
"Masalah stabilitas keamanan nasional apa saja, bukan hanya teror banyak hal yang menyangkut stabilitas keamanan dalam rangka 17 Agustus, memang stabilitas keamanan perlu kita stabilkan," kata Wakapolri Komjen. Pol. Syafruddin, seperti dikutip di viva.co.id.