Kelompok bersenjata Papua tembak mati 10 orang, lukai 2 lainnya di Nduga
2022.07.16
Jayapura dan Jakarta

Sepuluh warga sipil tewas dan dua lainnya luka dalam serangan yang diduga dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata di provinsi Papua pada Sabtu (16/7), kata Polda Papua.
Korban sedang naik truk dari Kampung Kenyam di Kabupaten Nduga menuju Batas Batu sekitar pukul 9 pagi ketika diserang oleh 20 orang bersenjata laras panjang dan pistol yang dari jarak 50 meter, kata juru bicara Polda Papua Kombes Ahmad Musthofa Kamal.
“Benar ada penyerangan dan penembakan oleh KKB di Kampung Nogokait Kabupaten Nduga pada hari ini,” ungkap Kamal dalam keterangan pers, merujuk pada “kelompok kriminal bersenjata” label yang diberikan oleh aparat kepada kelompok separatis.
“Saat mobil berhenti kemudian langsung ditembak ke arah mobil,” kata Kamal.
Menurut Kamal, anggota Polres Nduga dan Satgas Damai Cartenz serta anggota TNI masih mendalami latar belakang insiden tersebut dan melakukan pengejaran terhadap pelakunya, seraya menambahkan bahwa 11 korban telah dievakuasi ke Kabupaten Mimika.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Papua Kombes Faizal Ramadhani menyatakan penyerangan terhadap warga sipil itu dilakukan oleh kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang dipimpin Egianus Kogoya, sayap militer dari Organisasi Papua Merdeka.
“Mengenai motif dan kronologis kejadian, masih kami dalami. Tim Damai Cartenz dan personel Kepolisian Resor Nduga sedang melakukan olah tempat kejadian perkara,” kata Faizal.
Juru bicara TPNPB Sebby Sambom yang dihubungi BenarNews mengatakan belum mendapatkan informasi lengkap soal penembakan ini.
Namun dia mengatakan bahwa sejak bulan Juni lalu TPNPB sudah memperingatkan mereka yang berada di daerah konflik bersenjata, termasuk Nduga untuk meninggalkan wilayah itu.
“Kami sudah peringatkan semua ‘warga Indonesia’ yang berada di wilayah perang, termasuk Nduga agar segera meninggalkan wilayah-wilayah itu karena melihat perkembangan konflik, intensitas baku tembak akan meningkat,” kata Sebby kepada BenarNews, Sabtu.
Paling mematikan sejak 2018
Penyerangan terjadi sekitar dua minggu setelah Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan tiga rancangan undang-undang tentang pembentukan tiga provinsi baru di Papua yang banyak ditentang warga asli dan dikritik oleh kelompok hak asasi manusia sebagai taktik pecah belah.
RUU Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua mengatur tentang pembentukan Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan, selain provinsi yang ada saat ini yaitu Papua dan Papua Barat.
Ribuan warga Papua telah melakukan aksi untuk menolak pembentukan provinsi baru yang menurut mereka akan memarginalkan masyarakat asli karena diperkirakan akan memicu migrasi warga besar-besaran ke wilayah paling timur Indonesia itu.
Di Yahukimo bahkan dua orang tewas dan enam lainnya luka karena ditembak aparat keamanan Indonesia saat aksi demo penolakan pemekaran pada 15 Maret.
Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan insiden ini merupakan salah satu serangan terhadap warga sipil paling mematikan yang mengakibatkan jatuhnya korban warga sipil.
Setidaknya 19 pekerja yang membangun jalan Trans Papua dan seorang tentara tewas ditembak dalam penyerangan yang dilakukan TPNPB di Nduga pada Desember 2018.
“Pendekatan keamanan terbukti tidak meredakan eskalasi konflik. Ditambah lagi pendekatan kebijakan pemerintah pusat yang semakin sentralistis,” kata Usman kepada BenarNews.
Dia menambahkan eskalasi konflik itu terjadi dari mulai perubahan kedua Undang-undang Otonomi Khusus, pembentukan provinsi baru, hingga pelabelan separatis dan teroris kepada kelompok penduduk asli yang mengungkapkan ketidakpuasan melalui tuntutan kemerdekaan Papua.
“Baik melalui ekspresi damai maupun bersenjata, hanya ada satu cara untuk meredakan konflik Papua, yaitu perundingan damai. Itu akan mengurangi eskalasi konflik, kekerasan dan pelanggaran HAM (hak asasi manusia),” kata dia.
Direktur Perkumpulan Advokat HAM Papua Gustaf Kawer mengatakan penembakan di Nduga ini meyakinkan publik bahwa konflik bersenjata di Papua adalah konflik bersenjata yang paling lama dalam sejarah Indonesia, yang berlangsung selama 59 tahun.
“Dihitung sejak masa transisi 1963, konflik ini terus berlangsung di masa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), zaman Orde Lama, Orde Baru, zaman reformasi hingga masa pemberlakukan otonomi khusus bagi Papua,” kata Gustaf Kawer kepada BenarNews.
Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia sejak Pepera di bawah pengawasan PBB pada 1969, namun sebagian warga Papua dan pegiat hak asasi manusia memandang Pepera tidak sah lantaran hanya melibatkan sekitar seribu orang yang sudah dinstrusikan sebelumnya untuk bergabung dengan Indonesia.
Menurut Kawer, beberapa alasan penyebab konflik bersenjata yang terus terjadi di Papua antara lain karena persoalan di daerah itu yang tidak diselesaikan sejarah komprehensif, terjadinya pelanggaran HAM, penguasaan sumber daya alam yang diikuti sokongan militer
Selain itu, kata Kewer, meluasnya perdagangan senjata dan amunisi yang ikut menyulut konflik itu terus terpelihara di Papua.
“Transaksi senjata yang kita tangani sekitar 15 kasus, 10 di antaranya ada indikasi tentara dan polisi terlibat,” kata dia.
Kepala Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Papua Frits Ramandey mengatakan konflik bersenjata yang panjang hanya dapat diselesaikan melalui dialog secara berjenjang.
“Dialog merupakan cara atau mekanisme penyelesaian berbagai masalah dan konflik di Papua, termasuk konflik bersenjata,” kata Ramandey.