Wujudkan Hak Kaum Minoritas Tak Cukup Sekedar Simpati
2018.05.03
Washington

Selalu memegang teguh moto Bhinneka Tunggal Ika, namun tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan kasus persekusi terhadap kaum minoritas di Indonesia – apakah itu karena perbedaan suku, agama, ras, maupun orientasi seksual, memotivasinya untuk aktif dalam advokasi hak-hak kelompok rentan tersebut.
Kerja keras itu mengantar Diovio Alfath (23) terpilih sebagai satu dari sepuluh pemuda dunia penerima Emerging Young Leaders Award dari pemerintah Amerika Serikat (AS), awal bulan ini. Penghargaan tersebut menjadi pengakuan terhadap peran positif pemuda atas perdamaian.
“Indonesia adalah negara yang penuh keberagaman, dan kami masih bersatu di bawah ideologi kami (Pancasila), namun di Indonesia telah munculnya radikalisme agama dan itu menyebabkan penganiayaan terhadap kelompok minoritas. Ada banyak orang di sekitar saya yang dianiaya karena memiliki pandangan berbeda dari mayoritas,” kata Dio, di depan ratusan hadirin yang memenuhi Burn Auditorium, Marshal Center di Departemen Luar Negeri AS, Washington DC, saat penyerahan penghargaan tersebut, Rabu, 2 Mei 2018.
“Dan ini yang membuat saya ingin berjuang untuk keadilan mereka. Saya ingin mengembalikan Indonesia yang bersatu,” kata pendiri yang juga Direktur Eksekutif Sandya Institute, LSM hak asasi manusia (HAM) di Jakarta.
Laporan terbaru Human Rights Watch (HRW), organisasi HAM Internasional, menyebutkan bahwa kelompok-kelompok agama minoritas masih mengalami intimidasi baik dari pihak berwenang maupun kelompok garis keras.
Pihak berwenang masih menangkap dan memenjarakan mereka di bawah aturan anti penodaan agama yang disalahgunakan, sebut HRW dalam laporannya.
Untuk memastikan kaum minoritas sadar akan hak-hak fundamentalnya, Dio yang merupakan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 2016 bersama rekan-rekannya membuat buku panduan tentang informasi hukum dan kontak bagi kelompok rentan.
Sandya Institute juga aktif melakukan kegiatan untuk menanggulangi ekstremisme kekerasan dengan “menanamkan nilai-nilai kebhinekaan kepada pemuda, membuat narasi-narasi keagamaan yang ramah terhadap minoritas, yang menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Indonesiaan,” papar Dio.
Pengungsi
Masalah pengungsi, juga menjadi perhatian khusus penerima penghargaan International Academy for Leadership Scholarship di Jerman ini. Dio bersama rekannya menginisiasi Sunrise Refugee Learning Center Program.
“Indonesia sekarang sedang menghadapi krisis pengungsi internasional. Ada lebih dari 13,800 pengungsi dari negara perang seperti dari Timur Tengah dan Afrika Utara serta Myanmar yang sekarang terlantar di Indonesia dengan hak yang terbatas,” katanya kepada BeritaBenar.
Pusat pembelajaran untuk pengungsi tersebut sempat mendidik lebih dari 100 pengungsi dari Afghanistan, Irak, Suriah dan Ethiopia dengan pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan keahlian dasar untuk beradaptasi dengan budaya Indonesia.
Namun program itu terpaksa “tutup sementara karena kami punya keterbatasan funding. Jadi sekarang sedang mencari funding untuk melanjutkan center tersebut,” ujarnya seraya menambahkan masalah dana dan keberadaan sukarelawan selalu menjadi tantangan.
“Kami bekerja sama dengan UNHCR, yang sangat supportive ke kami, tapi kami juga mengharapkan support dari masyarakat luas agar awareness-nya itu ada di masyarakat.”
Tantangan
Tantangan tidak hanya terbatas pada pendanaan atau kurangnya sukarelawan karena intimidasi sudah menjadi bagian dari hidupnya, walaupun Dio bukan berasal dari kelompok minoritas.
“Bahkan saya sendiri sebagai Muslim yang berpandangan lebih terbuka, juga sering mendapatkan cemoohan, ancamanan-ancaman. Kalau saya tidak berpendapat tentang agama secara strict atau saklek saya juga mendapatkan ancaman,” aku Dio.
Pemuda yang mengidolakan Abdurrahman “Gus Dur” Wahid dan mantan Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-Moon menyatakan tantangan ini semua tidak seberapa dibanding rekan-rekannya sesama penerima penghargaan dari Departmen Luar Negeri AS tersebut.
Dio dan ke-9 rekannya adalah gambaran pemuda-pemudi tangguh yang tidak mengalah pada tantangan.
Seperti misalnya aktivis dan jurnalis foto Zina Salim Hassan Namu (21), seorang Yazidi, yang secara langsung melihat genosida kaum perempuan suku tersebut oleh kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), atau Tanzil Ferdous (24), aktivis hak-hak perempuan dari Bangladesh yang mengadvokasi pengungsi Rohingya.
“Saya belajar untuk sabar dan tetap yakin walaupun menghadapi berbagai tantangan, dari Sara di Irak, yang walaupun bekerja di lingkungan paling sulit di dunia, dia tetap bersemangat,” kata Dio mengacu pada Sara Abdullah Abdulrahman (21), penerima penghargaan dari Irak yang bekerja untuk mempromosikan perdamaian di negara yang dirundung konflik tersebut.
“Mereka telah mengajari saya begitu banyak hal yang akan saya ingat selama sisa hidup saya,” kata Dio mengenai rekan-rekannya, para penerima Emerging Young Leaders Award, program yang dimulai tiga tahun lalu pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama.
Simpati tidak cukup
Dio berpesan kepada Pemerintah Indonesia agar lebih aktif bekerja dengan masyarakat sipil, terutama pemuda.
“Karena kami memiliki peran yang vital dan kami juga memiliki ide-ide baru dan inovatif agar pemerintah memberikan kepercayaan kepada NGO (Non-Governmental Organizations) terutama yang fokus pada counter violence extremism dan human rights advocacy,” kata Dio.
Ia mengaku telah memiliki segudang rencana sepulangnya ke tanah air dari program di Amerika yang akan berakhir 12 Mei nanti.
Memfokuskan pada penghargaan terhadap nilai-nilai kebhinekaan tanpa saling mendiskriminasi, ia ingin merangkul berbagai kelompok untuk ikut membangkitkan kesadaran tentang hak-hak kaum minoritas.
“Kita harus lebih aktif dalam mengadvokasi kelompok minoritas. Simpati tidak cukup harus ada aksi,” pungkasnya.