Puger Mulyono: Saya Ingin Memberikan Hak Mereka Selama Masih Hidup
2016.12.26
Solo

Bocah 3 tahun itu langsung menggelayut manja saat Puger Mulyono (42) memasuki rumah kontrakan di kawasan Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, pada suatu siang.
Anak perempuan itu telah menganggap Puger sebagai ayahnya sejak ia ditemukan dua tahun lalu di sebuah hutan daerah Kediri, Jawa Timur.
“Waktu saya temukan ia sekarat di hutan, tinggal tulang berbalut kulit. Saat darahnya diambil pun tidak keluar lagi, harus ditransfusi dulu dan didiamkan satu jam,” kenang Puger.
Pria yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang parkir di Kota Solo sudah empat tahun menampung anak-anak yang ditelantarkan keluarga mereka karena mengidap HIV/AIDS.
Ada 15 anak yang diasuhnya pada 2012-2015. Kini, tinggal 11 anak karena seorang di antaranya meninggal dunia dan tiga lagi akhirnya diterima kembali oleh keluarga mereka.
Inisiatif Puger menjadi pengasuh anak-anak positif AIDS muncul setelah ikut pelatihan pendampingan anak-anak pengguna narkoba dan pengidap HIV/AIDS.
Kemudian ia menceritakan idenya kepada rekan-rekannya di Mitra Alam, organisasi non-pemerintah yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.
Setelah mendapat dukungan beberapa teman, Puger mengasuh seorang anak positif AIDS yang ditolak keluarganya sendiri dan juga pihak medis karena sudah stadium 3.
“Saya rawat mereka yang ditolak oleh semuanya. Saya pikir kenapa harus takut, saya tak punya kewajiban menyembuhkan mereka. Saya hanya ingin memberikan hak mereka selama masih hidup,” ujar Puger saat ditemui BeritaBenar, Senin, 19 Desember 2016.
Dia mulai mengasuh anak positif AIDS sejak November 2012, yaitu seorang bocah 4 tahun yang sudah yatim piatu dan tidak diterima oleh anggota keluarga karena penyakit tersebut.
Lalu, Puger dan teman-temannya membuka diri mengasuh anak-anak bernasib sama dengan sang bocah itu. Mereka menyewa rumah di Bumi Laweyan, Surakarta, yang dibayar dengan hasil penjualan motor Yunus, seorang rekan Puger.
Diskriminasi
Setelah punya rumah kontrakan, satu-persatu anak-anak pengidap AIDS datang atau dijemput karena tak diterima keluarga.
Maret 2016, ada seorang anak terserang Pneumonia. Akibatnya anak-anak lain tertular. Dampaknya luar biasa, seluruh anak harus transfusi darah karena HB mereka drop. Satu anak meninggal dunia sebelum ditransfusi.
“AIDS menyerang kekebalan tubuh, kadar gula darah di atas 400 padahal normalnya 100. Juga sering mengalami luka seperti penderita diabetes, mereka mudah tertular penyakit. Penyakit yang ringan saja, efeknya fatal,” tutur Puger.
Dia mengaku masih harus belajar banyak dan mengenal kondisi anak-anak asuhannya, tak hanya fisik tapi juga psikis karena mereka mengalami berbagai bentuk diskriminasi dari lingkungan.
Hal itu menjadi tantangan bagi Puger untuk membuat mereka tetap semangat menjalani hidup di tengah suramnya masa depan.
“Ada salah satu anak 14 tahun penasaran dia sakit apa, dan kenapa harus makan obat dan vitamin terus. Juga kenapa kakek-neneknya yang dulu sayang mengantarkan ke sini dan sekarang tidak pernah datang lagi. Ketika dia tahu penyebabnya karena penyakit yang dideritanya, dia sangat kecewa,” tutur Puger.
“Dia down, tidak mau makan, tidak mau minum obat, tidak mau berobat juga, dia ingin mati dan sulit sekali mendongkrak lagi semangat hidupnya.”
Setelah Yayasan Lentera Surakarta dibentuk, bantuan mulai masuk, di antaranya dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan Dinas Sosial Surakarta.
Salah satu bantuan berupa rujukan pengobatan rutin bulanan anak-anak ini. Setiap bulan, mereka harus disuntik obat penekan virus dan setiap hari harus mengonsumsi obat-obatan dan vitamin sesuai kondisi kesehatan.
Stigma
Seorang pengelola KPA Solo, Tommy Pranoto, menyatakan, stigma masyarakat terhadap penderita AIDS belum diketahui sejauh mana. Saat sosialisasi tentang HIV/AIDS, mereka seakan sudah paham dan masyarakat mengaku tidak keberatan.
“Di sini lebih pada psikologi massa. Saat satu orang tidak suka, yang lainnya ikut-ikutan. Kita sudah sosialisasikan penularan penyakit ini tidak semudah mereka bayangkan,” jelasnya.
Akibat pemahaman setengah-setengah, banyak warga yang menolak kehadiran Yayasan Lentera saat hendak mengontrak rumah di lingkungan mereka. Malah, rumah bantuan dari Pemerintah Kota tidak bisa digunakan karena warga sekitar menolak.
“Kita mengalah saja, anak-anak tak kita perbolehkan main di luar, karena warga takut,” ujar Purwanti, seorang pengasuh Yayasan Lentera.
Penolakan yang kadang membuat beban anak-anak semakin berat, ketika pihak sekolah tahu mereka menderita AIDS, biasanya mereka langsung dikeluarkan.
Puger memang tak memberitahu kondisi anak-anak saat mendaftar ke sekolah. Tapi dia mengaku sudah siap kalau ada orang memberitahukan pada pihak sekolah.
“Biasanya dikeluarkan dan sudah bolak-balik terjadi, tapi tak apa-apa,” ujarnya.
Ia tak berharap banyak. Menurutnya, pendidikan adalah nomor sekian karena yang utama adalah bagaimana memperpanjang umur anak-anak asuhannya.
“Dalam hidup yang penuh kegelapan, setidaknya mereka mendapatkan cinta dan kasih sayang,” pungkas Puger.