14 Anak Pengidap HIV/AIDS di Solo Terancam Putus Sekolah

Tawaran pemerintah untuk menyekolahkan mereka secara informal dinilai hanya akan semakin mengucilkan anak-anak itu.
Kusumasari Ayuningtyas
2019.02.13
Solo
190213_ID_HIV_KIDs-1000.jpg Dua anak yang dikeluarkan dari sekolah sedang menjaga balita pengidap HIV/AIDS saat bermain di Shelter Yayasan Lentera, Solo, Jawa Tengah, 13 Februari 2019.
Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar

Sebanyak 14 anak usia 6 hingga 12 tahun di Solo, Jawa Tengah, terancam putus sekolah setelah dikeluarkan dari tempat mereka belajar karena anak-anak malang itu mengidap HIV/AIDS.

Puger Mulyono dari Yayasan Lentera, yang menjadi wali 14 anak itu menyatakan Dinas Pendidikan Kota Solo hingga kini belum memberikan solusi setelah anak asuhnya dikeluarkan dari sekolah mereka atas tuntutan wali murid yang takut anak mereka terkena virus HIV/AIDS.

Puger mengatakan dinas pendidikan setempat hanya memintanya mengalah dan menawarkan anak-anak tersebut menempuh pendidikan informal.

“Belum ada solusi, bohong kalau sudah ada solusi, belum ada kepastian apakah anak-anak ini nanti mau sekolah lagi, kalau informal saya tidak mau, kalau saya mau sudah dari dulu,” ujar Puger kepada BeritaBenar, Rabu, 13 Februari 2019.

Puger merespons pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Kota Solo, Etty Retnowati, yang mengatakan sudah ada sekolah yang bersedia menerima anak-anak itu, tetapi dia tidak ingin nama sekolah itu dipublikasikan.

“Tapi ini kita sudah cari solusi, sudah ada sekolah yang ke kantor dan kita sedang cari tahu teknisnya,” kata Etty.

Etty berencana mengumpulkan perwakilan sekolah di Solo bersama Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Surakarta untuk mendiskusikan masalah itu.

“Kita sudah komunikasikan, kita carikan solusi, dan Yayasan Lentera sudah kita beritahu soal ini,” ujarnya saat dikonfirmasi.

Puger Mulyono menggendong balita pengidap AIDS di Yayasan Lentera Solo, Jawa Tengah, 13 Februari 2019. (Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)
Puger Mulyono menggendong balita pengidap AIDS di Yayasan Lentera Solo, Jawa Tengah, 13 Februari 2019. (Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)

Sebelumnya tidak bermasalah

Puger mengatakan anak asuhnya tersebut tidak pernah menghadapi penolakan di sekolah sebelumnya.

“Di SD (Sekolah Dasar) sebelumnya tidak masalah. Tapi, ketika SD ini di-regrouping, baru seminggu mereka disuruh keluar,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Sebelumnya, anak-anak itu bersekolah di sebuah SD di Laweyan, Solo, selama beberapa tahun terakhir dengan tingkatan terendah kelas 1.

Tak pernah ada penolakan dari pihak sekolah maupun orangtua murid meski mereka tahu mereka dari Yayasan Lentera – lembaga swadaya masyarakat yang menampung anak-anak penderita HIV/AIDS setelah dibuang keluarga mereka.

Tapi ketika SD tersebut digabungkan, beberapa wali murid dari SD yang baru keberatan dan meminta komite sekolah untuk mengambil tindakan.

Karwi, Pelaksana Tugas Kepala SDN Purwotomo, Solo, mengaku bahwa pihaknya telah melakukan sosialisasi HIV/AIDS bahwa virus itu tidak menular dengan melibatkan KPA Surakarta dan Puskesmas setempat.

“Tetapi orang tua siswa tetap menolak. Intinya, orang tua siswa lainnya itu takut kalau anaknya nanti tertular HIV/AIDS,” katanya kepada wartawan.

Puger sudah menduga ini akan terjadi karena stigma negatif yang disandang anak-anak asuhnya.

“Saya memilih mengalah, saya tidak mungkin memaksakan kehendak, hasilnya nanti belum tentu baik untuk anak-anak,” ujarnya.

Sejak dikeluarkan dari sekolah sepekan lalu, ke-14 anak tidak bersekolah dan berada di tempat penampungan.

“Saya kuatir kalau kondisi mental buruk nanti berpengaruh pada kondisi fisik yaitu drop, mereka demam saja bisa jadi kondisi kritis,” tutur Puger.

Saat ini, Yayasan Lentera mengasuh 34 penderita AIDS, dimana 15 orang berusia 15-21 tahun, 14 lainnya 6-12 tahun, dan sisanya masih balita.

Mereka ditampung di Shelter Yayasan Lentera di areal Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti, Solo.

Bukan pilihan tepat

Anggota Komisi 8 DPR RI, Endang Maria Astuti, menyayangkan keputusan pihak sekolah yang langsung mengeluarkan 14 anak penderita HIV/AIDS hanya karena ada keberatan dari para wali murid.

Seharusnya, menurut Endang, pihak sekolah memberikan pengertian kepada para orangtua murid yang mungkin tidak paham mengenai proses penularan HIV/AIDS.

“Pihak sekolah harus mensosialisasikan bahwa HIV/AIDS ini tidak menular hanya dengan bergaul dengan teman-temannya,” ujarnya saat dihubungi.

Dia berharap Kementerian Pendidikan dan Kementerian Kesehatan segera turun tangan dan memanggil pihak sekolah agar 14 anak itu kembali bersekolah.

Endang juga merekomendasikan perlu trauma healing karena kembali ke sekolah lama atau masuk sekolah baru akan ada dampak tertentu bagi kondisi kejiwaan anak-anak itu.

“Anak-anak ini nanti bisa down, bisa jadi introvert,” ujarnya.

Terkait pendidikan informal yang sempat ditawarkan Pemerintah Kota Solo, menurutnya, itu bukan solusi karena justru akan membuat anak-anak tersebut merasa terkucilkan.

“Anak dengan HIV/AIDS harus diperlakukan seperti anak biasa dan justru masyarakat yang harus diedukasi,” ujarnya.

Siti Hikmawati, Komisioner Komisi Perlindungan Anak juga tidak setuju jika pendidikan informal diambil sebagai solusi setelah anak-anak penderita HIV/AIDS ditolak sekolah formal.

Menurutnya, anak-anak usia SD sangat perlu bersosialisasi dengan anak-anak sebayanya untuk memunculkan kecerdasan di dalam dirinya.

“Kami akan mencari tahu dan mendalami seperti apa background mereka agar kami bisa memberikan rekomendasi yang tepat untuk mereka,” pungkas Siti.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.