Rachmawati akan Ajukan Praperadilan atas Tuduhan Makar
2016.12.06
Jakarta

Seorang dari delapan tersangka makar yang ditangkap polisi, Jumat lalu, Rachmawati Soekarnoputri akan mengajukan praperadilan atas dugaan makar yang dijeratkan padanya.
Adik kandung mantan presiden Megawati Soekarnoputri ini juga akan mengajukan laporan ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) terkait penangkapannya.
“Selain mengajukan praperadilan, ada rencana juga melapor ke Propam atas proses penangkapan dan pemeriksaannya,” ujar Teguh Santosa, juru bicara Rachmawati kepada BeritaBenar, Selasa, 6 Desember 2016.
Menurutnya, Rachmawati mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari polisi sejak ditangkap pukul 5:00 dinihari, Jumat, 2 Desember lalu, di kediamannya tanpa sempat sarapan.
Selama pemeriksaan, tambah Teguh, Rachmawati juga dibentak-bentak petugas yang menginterogasinya dan hanya makan sekali siang hari hingga dibebaskan, Jumat malam.
Teguh mengatakan saat ini kondisi Rachmawati (66), yang ada keterbatasan fisik harus di kursi roda dan tekanan darah tinggi, sudah membaik.
“Statusnya tetap tersangka. Dia tak ditahan karena polisi tidak menemukan alasan untuk menahannya,” jelas Teguh.
Rachmawati ditangkap atas dugaan pelanggaran pasal 107 junto 110 dan junto 87 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), berkaitan dengan makar. Bila terbukti, dia terancam hukum maksimal 15 tahun.
Enam tersangka makar lain adalah mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) TNI Kivlan Zein, mantan staf ahli Panglima TNI Brigjen (Purn) Adityawarman Thaha, aktivis Ratna Sarumpaet, ketua Gerakan Solidaritas Sahabat Cendana Firza Huzein, politisi Partai Gerindra Eko Suryo Santjojo dan aktivis buruh Alvin Indra.
Mereka telah dilepaskan dari tahanan Markas Komando Brimob di Depok, Jawa Barat, bersama musisi yang juga calon wakil walikota Bekasi, Ahmad Dhani Prasetyo, setelah ditahan kurang dari 24 jam. Ahmad Dhani dijerat dengan pasal penghinaan presiden.
Mantan politisi dan aktivis Sri Bintang Pamungkas yang dijadikan tersangka kasus makar bersama Rizal Kobar dan Jamran yang dikenakan pasal 28 Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hingga kini masih ditahan.
Penangkapan mereka dilakukan beberapa jam sebelum dimulainya Aksi Bela Islam III yang dikenal sebagai Aksi 212. Aksi di seputaran Monumen Nasional (Monas) itu digelar untuk menuntut penahanan Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama atas kasus dugaan penistaan agama.
Janggal
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa menilai janggal bila mereka yang dituduhkan makar dilepaskan dari tahanan.
“Bila ditetapkan sebagai pelaku makar, artinya mereka sangat berbahaya bagi negara, tapi ini malah dilepaskan,” ujar Alghiffari kepada BeritaBenar.
Menurutnya, bukti surat, dokumen persiapan rapat dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintah belum cukup kuat dijadikan alat bukti tuduhan makar.
“Bisa dikatakan makar kalau ada kekerasan atau rencana melakukan kekerasan. Kalau hanya ucapan, itu bagian dari kebebasan berekspresi,” ujarnya, sambil menambahkan tuduhan makar bersifat sangat politis dan multitafsir tergantung penguasanya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga banyak diserang dengan ucapan untuk menurunkan pemerintahannya, tapi mereka tak pernah dituduh melakukan upaya makar.
Tuduhan makar hanya dikenakan untuk aktivis separatis Republik Maluku Selatan yang mengibarkan bendera RMS dan Papua yang mengibarkan bendera Bintang Kejora serta Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Itu pun menurut kami juga salah,” ujar Alghiffari.
Bukti baru
Tapi, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengatakan sudah menemukan bukti baru terkait dugaan makar yang dituduhkan kepada para tersangka.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Pol. Martinus Sitompul mengatakan polisi menemukan bukti transfer yang diduga untuk mendanai rencana makar.
“Kami akan menelusuri aliran dananya,” ujar Martinus kepada BeritaBenar.
Dalam rapat dengan Komisi III DPR RI, 5 Desember, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menjelaskan polisi mendapat informasi intelijen bahwa ada sejumlah kelompok mau manfaatkan Aksi 212 untuk kepentingan politik mereka sendiri.
Caranya, membajak massa Aksi 212 untuk digiring ke gedung DPR/MPR, menduduki gedung secara paksa dan akhirnya mendesak sidang istimewa untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah.
“Menduduki DPR secara paksa, apapun alasannya, bagi Polri, adalah inkonstitusional,” ujar Tito.
Dia menambahkan kelompok ini punya upaya kuat untuk mengkooptasi massa 212 yang dimotori sejumlah ulama tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI).
Menurut Tito, para ulama tersebut mengatakan tidak ada niat menduduki DPR karena tuntutan mereka hanya proses hukum kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok.
“Kelompok itu akan memanfaatkan tumpahan massa, dengan menggunakan sekelompok pemuda tertentu yang sudah dibayar, disiapkan untuk menggiring massa yang lepas dari Monas untuk dibawa ke DPR,” ungkap Tito.
Para tersangka makar, tambahnya, sengaja ditangkap pagi sebelum aksi dimulai agar tak ada waktu untuk memprovokasi massa dan menghindari isu tersebut menjadi liar di media sosial, bila ditangkap dua atau tiga hari sebelumnya.
Terkait penangkapan dua purnawirawan jenderal TNI AD, Tito mengatakan polisi sudah berkomunikasi dengan TNI dan detasemen intel, dan polisi militer mendampingi polisi saat menangkap mereka.
Dalam pernyataan tertulis, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Wuryanto menjelaskan penangkapan Kivlan dan Adityawarman sudah benar karena keduanya telah pensiun dan kembali menjadi warga sipil sehingga penangkapan mereka sesuai prosedur.
“Sebelum dilakukan penangkapan, Polri selalu melakukan koordinasi dan komunikasi serta saling tukar menukar informasi dengan TNI. Pada prinsipnya, TNI mendukung apa yang dilakukan oleh Polri,” ujar Wuryanto.