Pengungsi Rohingya Senang Berpuasa Ramadhan Dengan Tenang di Aceh

Oleh Nurdin Hasan
2015.06.23
150623_ID_NURDING_ROHINGYA_RAMADAN_700.jpg Para pengungsi Rohingya sedang berdoa usai melaksanakan shalat Dhuhur di kamp pengungsian Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh bagian Timur, Minggu, 21 Juni 2015.
BeritaBenar

Muhammad Husen (29) berusaha keras menahan airmata saat mengenang sulitnya menjalani ibadah puasa Ramadhan tahun lalu bersama istri dan keempat anaknya di sebuah desa dekat Kota Maungdaw, Myanmar.

Husen harus pulang ke rumah secara sembunyi-sembunyi untuk menikmati makanan khas Muslim Rohingya saat berbuka puasa yakni kacang kuda rebus digoreng dengan bawang dan kunyit, karena dia dicari-cari polisi Myanmar.

“Saya hanya bisa pulang ketika Maghrib saja jika situasi betul-betul aman. Kalau tak aman, saya berbuka puasa di tempat persembunyian,” kata Husen saat diwawancara BeritaBenar di lokasi penampungan di Desa Blang Ado, Kabupaten Aceh Utara, Senin, tanggal 22 Juni.

Setelah berbuka puasa bersama istrinya, Beliatar dan anak-anak, Husen melanjutkan shalat maghrib berjamaah.

Usai shalat, ia pergi lagi untuk melaksanakan shalat tarawih. Kadang-kadang pulang menjelang makan sahur.

Husen adalah seorang pengungsi Muslim Rohingya yang terdampar di perairan Aceh tanggal 10 Mei lalu bersama sekitar 580 manusia perahu lain, termasuk perempuan dan anak-anak serta ratusan pencari kerja Bangladesh.

Sebelum dipindah ke Desa  Blang Ado, 15 Juni, 315 pengungsi Rohingya ditampung di Tempat Pendaratan Ikan Kuala Cangkoi, Aceh Utara.

Sedangkan, migran Bangladesh ditempatkan di bekas kantor imigrasi Lhokseumawe sambil menunggu deportasi.

Di Blang Ado, pengungsi Rohingya ditempatkan di dua bangunan Balai Latihan Kerja milik Pemerintah Aceh Utara.

Di samping gedung, sedang dibangun sejumlah barak kayu oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT), sebuah lembaga kemanusian lokal.

Barak-barak itu akan menjadi tempat tinggal pengungsi Rohingya selama mereka berada di Aceh.

Pembangunan barak hampir sejenis juga sedang dikerjakan di Kuala Langsa, Kota Langsa dan Bayeun, Kabupaten Aceh Timur.

Di kedua lokasi tersebut juga ditampung ratusan pengungsi Rohingya dan warga Bangladesh yang diselamatkan nelayan Aceh, tanggal 15 dan 20 Mei lalu.

Senang berpuasa di Aceh

Sehari-hari, Husen sangat sibuk. Dia jadi penghubung antara pengungsi Rohingya dan relawan kemanusiaan karena bisa berbicara bahasa Melayu dan dianggap sebagai koordinator pengungsi.

Setiap ada masalah di antara pengungsi, Husen jadi tempat relawan berkonsultasi.

Husen mengaku, dia mampu berbicara bahasa Melayu karena pada 2008 merantau ke Malaysia untuk bekerja sebagai buruh bangunan selama lima tahun.

Tahun 2013, dia pulang ke kampungnya untuk menjenguk istri dan anak-anak.

Ramadhan tahun lalu, dia berada di kampung halamannya. Meski situasi tidak begitu aman, Husen mengaku bahagia bisa berpuasa bersama istri dan anak-anaknya meski terpaksa harus pulang ke rumah secara sembunyi-sembunyi.

“Kalau Rohingya sudah pergi dari kampung, lalu pulang jenguk keluarga pasti dicari-cari oleh polisi,” katanya.

Menurut Husen, semua pengungsi Rohingya sangat senang bisa menjalankan ibadah puasa Ramadhan di Aceh, tanpa perasaan takut dan khawatir seperti yang dialami di negaranya.

“Kami sangat senang berpuasa di Aceh, karena ini negara Islam. Orang Aceh sangat baik dan suka membantu kami. Mereka telah menganggap pengungsi Rohingya bagai saudara. Setiap hari, mereka antar makanan untuk kami,” kata Husen.

“Kondisinya sangat berbeda dengan di Myanmar. Sejak rusuh tahun 2012, Rohingya dilarang shalat berjamaah di masjid. Muslim Rohingya dilarang azan memakai loud speaker. Kami juga tak boleh baca Al-Qur’an pakai pengeras suara seperti di Aceh.”

Husen mengaku ia bersama ratusan pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh itu hendak pergi ke Malaysia. Tetapi, takdir berkata lain. Mereka terhempas ke perairan Aceh setelah mengarungi perjalanan laut sangat mengerikan selama tiga bulan.

“Syukur Alhamdulillah, kami diselamatkan Allah berada di negara Muslim, Indonesia. Kami bahagia berpuasa di sini karena bebas beribadah tanpa perasaan takut seperti di Myanmar,” katanya.

Setiap petang, pengungsi berbaris mendapatkan jatah makanan berbuka puasa yang disiapkan relawan Tagana Dinas Sosial Aceh Utara di dapur umum. Warga Aceh juga datang memberikan penganan untuk berbuka puasa.

Ungkapan bahagia bisa berpuasa di Aceh juga dituturkan Rabya Khatun (25).

Dia lari dari desanya dekat Kota Sittwe di kawasan Rakhine bersama empat anaknya dan adiknya, Februari lalu.

“Saya akan menamatkan baca Al-Qur’an seperti setiap tahun saat saya berpuasa di kampung,” kata Rabya, seraya menambahkan dia juga akan memperbanyak ibadah seperti shalat tarawih dan tahajjud.

Rabya mengatakan sangat ingin memasak sendiri, karena makanan dari dapur umum agak kurang cocok di lidah pengungsi Rohingya yang suka rasa pedas.

“Saya mau masak kue piazu yaitu kacang yang ditumbuk setengah hancur. Kemudian dicampur bawang merah dan cabe sebelum digoreng. Itu makanan khas kami ketika berbuka puasa,” katanya, sambil tersenyum.

Mengantar makanan berbuka puasa

Kebaikan warga Aceh membantu pengungsi Rohingya seperti tak terbendung.

Setiap petang, ratusan warga datang ke lokasi penampungan. Mereka membawa makanan berbuka puasa dan uang untuk diserahkan kepada pengungsi Rohingya.

“Saya membawa sedikit kue-kue khas Aceh untuk makanan mereka berbuka puasa,” kata Maryani (38), seorang ibu rumah tangga asal Desa Kuala Cangkoi. Ia mengaku sudah cukup akrab dengan beberapa anak dan remaja Rohingya ketika mereka ditampung di desanya.

“Kalau diizinkan saya ingin sekali mengajak beberapa anak untuk bisa berbuka puasa di rumah saya. Setelah selesai shalat tarawih, kami antar balik ke sini. Tetapi setelah saya tanya pada petugas, kami tak boleh membawa mereka ke rumah,” katanya.

Maryani berharap kepada Pemerintah Indonesia agar memberikan kesempatan bagi Muslim Rohingya tinggal dan bekerja di Aceh.

Husen berharap bisa bekerja di Aceh. Sebelum Ramadhan, dia menghubungi istrinya. Ia minta istrinya pergi ke Bangladesh untuk mengurus paspor “ilegal” dan datang ke Aceh.

“Istri saya bilang dia tak punya uang. Saya tak tahu apa dia sudah ke Bangladesh atau belum karena sejak lima hari lalu saya coba telepon tapi tak tersambung,” tuturnya.

“Saya selalu berdoa kepada Allah agar di bulan Ramadhan yang suci ini diberi sebuah keajaiban untuk bisa merayakan Idul Fitri bersama istri dan anak-anak saya di Aceh.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.