Rupiah Terpuruk, Pengusaha Makanan Mulai Kelimpungan
2018.09.04
Jakarta

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terpuruk ke level terendah mendekati posisi terburuk saat krisis moneter pada 1998, mengkhawatirkan berbagai pihak termasuk para pengusaha makanan dan minuman.
Dalam perdagangan Selasa, 4 September 2018, rupiah bertengger di level Rp14.920 dan sempat menyentuh Rp15.000 per dolar AS pada sore hari di sejumlah spot valuta asing.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman, Adhi S. Lukman menyatakan bahwa depresiasi rupiah terhadap dolar AS membuat banyak anggotanya kelimpungan, tapi mereka belum berencana menaikkan harga jual.
"Beberapa waktu lalu saya pernah sampaikan bahwa yang akan kami lakukan adalah melakukan efisiensi,” katanya kepada BeritaBenar.
“Kemudian kami melakukan evaluasi apakah akan ada penggantian bahan baku dari yang impor menjadi bahan baku lokal. Tapi ini butuh waktu panjang, kemungkinan tercepat adalah mengganti kemasan dan ukuran."
Adhi mengaku dampak nilai tukar rupiah atas dolar yang terus merangkak membuat margin pelaku industri makanan dan minuman tergerus antara 3 hingga 5 persen.
"Ya tergantung bahan baku yang mereka gunakan, kalau banyak impor otomatis margin yang tergerus semakin tinggi," ujarnya.
Dia berharap pelemahan rupiah terhadap dolar tak akan berlangsung lama dan meminta pemerintah segera melakukan langka-langkah konkret dan nyata, antara lain membatasi impor barang konsumsi terutama yang sudah tersedia di dalam negeri.
"Cuma ya masalahnya itu, kita terikat dengan WTO. Paling tidak, jalan keluarnya adalah menaikkan pajak penghasilan impor, hal itu masih bisa dilakukan," imbuhnya.
Hal lain, sarannya, adalah pemerintah segera membenahi regulasi dan memprioritaskan kebijakan nasional bagi industri makanan dan minuman sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi.
"Langkah cepat, tentu kita harus permudah kebijakan impor yang paling cepat dengan memberikan subsidi bunga untuk ekspor. Kredit ekspor dengan biaya murah ini pernah dilakukan pada zaman Orde Baru," kata Adhi.
Saran pengamat
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Chatib Basri, mengatakan langkah paling cepat untuk mengatasi pelemahan rupiah saat ini adalah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Ia menjelaskan, langkah itu pernah dilakukan pemerintah pada 2013 lalu di mana impor minyak ternyata sangat menekan defisit transaksi berjalan dan akhirnya berdampak ke rupiah.
"Karena harga BBM yang ada jarak dengan BBM asing membuat banyak penyelundupan, sehingga volume impor tetap tinggi. Dan untuk atasi itu kenaikan BBM perlu dilakukan," ujar Chatib yang pernah menjadi Menteri Keuangan pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sedangkan, Josua Pardede, pengamat ekonomi dari Permata Bank, mengatakan defisit transaksi berjalan pada kuartal kedua membuat melebar ke product domestic bruto dan hal itu menjadi faktor yang membuat rupiah cenderung frontal.
"Langkah pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan perlu kita apresiasi, tapi jangan lengah. Koordinasi dengan semua sektor harus dilakukan, langkah cepat adalah sektor pariwisata bagaimana meningkatkan jumlah wisatawan sehingga hal ini bisa membuat rupiah bertahan," katanya kepada BeritaBenar.
Sisi lain, tambahnya, Bank Indonesia (BI) harus melakukan intervensi ganda di pasar obligasi dan valas sehingga diharapkan akan membantu sentimen negatif.
"Sejauh ini memang BI sudah melakukan intervensi, tapi dalam jangka pendek sebaiknya ajak para eksportir supaya yang punya dolar agar memarkirkan devisa ekspornya untuk parkir di dalam negeri," saran Josua.
Intervensi BI
Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengakui pihaknya telah melakukan berbagai langkah, yang salah satunya mengintensifkan intervensi BI di pasar valas. Malah BI telah mengeluarkan Rp7,1 triliun beli Surat Berharga Negara (SBH).
"Kita beli SBN di pasar sekunder, kita hampir semua beli yang dijual oleh asing. Kita juga buka lelang swap hampir US$400 juta," katanya kepada wartawan.
Untuk tahun 2019, Perry yakin tekanan atas rupiah akan lebih rendah dibanding tahun ini sebab tekanan dari eksternal mulai berkurang, dimana salah satunya adalah kenaikan suku bunga AS lebih sedikit dibandingkan pada 2018.
Perry menegaskan, demi menjaga proyeksi itu benar-benar bisa terealisasi, pihaknya akan berkoordinasi dengan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan, supaya ekonomi domestik tetap stabil dan mendapat sentimen positif dari investor global.
Salah satunya dengan menjaga neraca perdagangan, pembayaran, dan jasa atau defisit neraca transaksi berjalan melalui berbagai program pengurangan impor dan mendorong sektor pariwisata, supaya dapat terus ditekan rendah di bawah tiga persen terhadap Produk Domestik Bruto, katanya.
"Ini terus dilakukan untuk kurangi defisit current account deficit yang mudah-mudahan tidak lebih dari dua persen terhadap PDB. itu menjadi faktor positif nilai tukar rupiah ke depan. Itu faktor positif karena CAD lebih rendah dibanding tahun ini," tuturnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan untuk mengurangi tekanan atas rupiah, pemerintah akan membenahi defisit transaksi berjalan dengan membatasi atau mengurangi 500 komoditas impor.
Saat berbicara di depan anggota DPR, Sri menyebutkan melemahnya nilai tukar rupiah atas dolar didorong kondisi global seperti kebijakan normalisasi moneter dan kenaikan suku bunga AS dan perang dagang dengan China, sehingga telah berimbas negatif pada banyak negara.
"Mohon maaf, bila dikatakan alasannya faktor eksternal, faktanya memang begitu. Karena itu, APBN 2019 kami desain untuk mengantisipasi gejolak itu," ujar Sri.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan pemerintah sudah membuat daftar proyek infrastruktur yang kemungkinan ditunda pengerjaannya dan akan diumukan dalam dua atau tiga hari ke depan.