Dua Otak Pembunuhan Salim Kancil Terancam Hukuman Mati

Heny Rahayu
2016.02.18
Surabaya
160218_ID_SalimKancil_1000 Para tersangka dibawa ke mobil tahanan polisi setelah menjalani persidangan perdana di Pengadilan Negeri Surabaya, 18 Februari 2016.
Photo: Benar

Pengadilan Negeri (PN) Surabaya,  Jawa Timur, pada hari Kamis 18 Februari 2016 mulai menggelar sidang kasus pembunuhan terhadap Salim Kancil dan penganiayaan Tosan – dua petani yang juga aktivis anti-penambangan di Kabupaten Lumajang  – dengan menghadirkan 35 tersangka.

Dalam sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa dua orang tersangka – Hariyono dan Madasir alias Abdul Holek – dengan pasal berlapis yang terancam hukuman mati karena mereka bertindak sebagai otak pembunuhan Kancil dan penganiayaan Tosan.

Hariyono adalah Kepala Desa non-aktif Selok Awar Awar, Kecamatan Pasirian, Lumajang. Sedangkan Madasir menjabat Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Selok Awar Awar.

JPU M. Naimullah mendakwa keduanya dengan pasal pembunuhan berencana, kekerasan yang menyebabkan maut, penganiayaan berat, dan merampas nyawa orang lain. Hariyono juga dijerat terlibat kasus penambangan ilegal dan tindak pidana pencucian uang dengan ancaman hukuman 20 tahun.

“Dakwaan itu akumulasi, sehingga hukuman dua perkara nanti ditambahkan atau diakumulasi,” ujar Naimullah kepada wartawan usai persidangan.

Kasus tewasnya Kancil dan penganiyaan Tusan juga menyeret 33 orang terdakwa lain yang disidangkan di dua ruang sidang berbeda. Ruang sidang Cakra disidang majelis hakim pimpinan Jihad Alkharuddin, sementara di ruang Candra, majelis hakim diketuai Sigit Susanto. Sidang dilakukan secara maraton dalam 14 berkas berbeda.

Persidangan meliputi empat berkas pembunuhan, satu berkas pengancaman, dua berkas pembunuhan dan penganiayaan Salim dan Tosan, tiga berkas pembunuhan Salim, empat berkas percobaan pembunuhan terhadap Tosan, tiga berkas perkara tambang ilegal, satu berkas tambang dan TPPU serta satu berkas perusakan.

Ke-33 tersangka didakwa beragam, tergantung peran dan tanggungjawab mereka dengan ancaman hukuman maksimal antara lima sampai tujuh tahun penjara.

Sedangkan dua orang tersangka anak di bawah umur belum diajukan ke persidangan dan tak ditahan. Keduanya ikut terlibat dalam penganiayaan yang menyebabkan Salim tewas dan Tosan Luka Serius pada 26 September 2015.

Pembunuhan terencana

Naimullah, yang juga Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Lumajang dalam surat dakwaan menyebut para terdakwa melakukan penganiayaan dan pembunuhan terencana.

Aksi itu direncanakan secara matang oleh Hariyono dan Madasir. Rencana pembunuhan dilakukan setelah Salim sebagai Koordinator Forum Masyarakat Peduli Pesisir hendak berunjukrasa untuk menolak penambangan pasir ilegal yang dilakukan Hariyono.

Bahkan Madasir juga mengancam akan menghabisi Salim dan Tosan jika tambang pasir ditutup. Ancaman disampaikan secara langsung kepada kedua korban.

Setelah mendapat ancaman, Salim dan Tosan melaporkan ancaman pembunuhan kepada Kepolisian Resor Lumajang dan Kepolisian Sektor Pasirian. Malam sebelum penganiayaan dan pembunuhan, mereka yang ditugasi membantai Salim dan Tosan dilaporkan  mengisi ilmu kekebalan kepada seorang tokoh di Probolinggo.

Awalnya mereka mengeroyok Tosan di rumahnya. Mereka memukul dan melindas Tosan dengan motor hingga mengalami luka berat. Setelah dikeroyok, Tosan tak bergerak dan disangka tewas. Lantas, Tosan ditinggal tergeletak di tengah jalan desa di depan lapangan sepak bola.

Selanjutnya mereka mendatangi rumah Salim. Dia sempat dipukuli dan dibonceng ke Balai Desa setempat. Di Balai Desa, Salim disetrum, dipukul dan dibacok. Bahkan Salim diseret di jalan raya dan ditinggalkan di jalan dengan kondisi tewas, tertelungkup dan tangan terikat ke belakang.

Tak ajukan eksepsi

Sejumlah aktivis Walhi Jawa Timur menggelar aksi teaterikal di luar Pengadilan Negeri Surabaya, 18 Februari 2016. (BeritaBenar)

Menanggapi dakwaan itu kuasa hukum Hariyono, Ade Erwiyanto menyatakan pihaknya tak mengajukan eksepsi. Hal itu dilakukan supaya persidangan dapat segera tuntas dan para terdakwa mendapat keadilan.

“Apalagi mereka telah menjalani penahanan sejak tiga bulan lalu. Masih dakwaan, kita mengikuti persidangan sesuai mekanisme. Langsung pembuktian dengan memanggil saksi,” katanya.

Ketua Majelis Hakim Jihad Alkharuddin memutuskan akan melanjutkan sidang pada Kamis pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan para saksi. Sejumlah saksi telah mendapat perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi  dan Korban (LPSK) karena mereka ketakutan dan nyawanya terancam.

Menambang pasir secara ilegal

JPU lain, Dodi Ghozali Emil dalam dakwaannya menyatakan Hariyono mulai menambang pasir di pesisir Watu Pecak dengan dalih mengelola wisata pantai. Dia melakukan penambangan tanpa punya ijin usaha tambang maupun ijin tambang rakyat.

Pasir pantai Watu Pecak dijual seharga Rp 270 ribu per truk. Rinciannya Rp 110 ribu per truk untuk membayar eskavator selebihnya masuk kantong Hariyono. Rata-rata setiap hari terjual sekitar 150 truk pasir. Sehingga setiap hari total terjadi transaksi sebesar Rp 40 juta lebih.

Hariyono setiap hari memperoleh uang sebanyak  Rp 29 juta dari transaksi penambangan ilegal. Dalam setahun menambang, dia memperoleh pendapatan kotor sampai Rp 3,4 miliar, kata Dodi.

Uang hasil penjualan pasir oleh Hariyono digunakan membayar tim 12 pimpinan Madasir untuk mengamankan proses penambangan sebesar Rp 240 juta. Selebihnya untuk biaya  kegiatan desa seperti bersih desa, membayar pajak bumi bangunan seluruh warga dan membangun gapura.

Unjuk rasa

Puluhan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur menggelar aksi teatrikal di depan PN Surabaya selama persidangan. Tetabuhan perkusi mengiringi aksi Walhi yang menggambarkan penambang liar di Lumajang telah merusak lingkungan dan tewasnya Kancil.

Direktur Walhi Ony Mahardika menyatakan kejahatan atas Kancil dan Tosan merupakan rangkaian sejarah panjang mafia tambang pasir ilegal. Salim menyuarakan penolakan tambang pasir sejak lama, karena pertambangan tak menyejahterakan rakyat, melainkan merusak lahan pertanian warga.

“Salim juga berkirim surat menolak tambang kepada pimpinan DPRD dan Bupati Lumajang. Tapi tidak ada tanggapan. Mereka bahkan diintimidasi dan ancaman kekerasan,” kata Ony.

Dia menuding aparat penegak hukum tak membongkar jaringan mafia penambangan. Berdasarkan hasil invetigasi Walhi Jawa Timur, pelaku penambang pasir liar mencapai ratusan, namun mereka tak tersentuh aparat kepolisian.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.