Indonesia Dikritik Dunia Terkait Sampah Plastik

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan sampah plastik 70 persen tahun 2025 dan berharap peran serta semua pihak.
Zahara Tiba
2017.06.27
Jakarta
170622_ID_waste_1000.jpg Tumpukan sampah di Pantai Loji, Sukabumi, Jawa Barat, Agustus 2016.
Afriadi Hikmal/BeritaBenar

Perjalanan Dede Suryana bersama beberapa temannya saat menyusuri sebuah pantai di Pulau Jawa, April 2010 silam, ternyata membawa cerita besar yang membuka mata dunia.

Peselancar ombak nomor satu Asia asal Cimaja, Sukabumi, Jawa Barat, mengayuh papan surfing, bertekad mengambil ombak pertama, sementara peselancar lain memilih menunggu ombak-ombak berikutnya.

Begitu berhasil menemui keseimbangan di ombak pertama, pria berusia 31 tahun ini langsung memasuki “terowongan ombak” yang membawa sampah yang hanyut ke laut, kebanyakan sampah plastik.

Zak Noyle, rekannya yang merupakan fotografer olahraga selancar ombak asal Hawaii, Amerika Serikat (AS), mengabadikan momen tersebut.

Foto itu yang membuka mata komunitas internasional tentang pencemaran laut oleh sampah, khususnya plastik. Foto ini mendunia setelah menjadi cover beberapa media massa di Eropa dan Australia.

“Miris memang. Di satu sisi, saya senang foto saya jadi cover. Tapi di sisi lain laut di Indonesia tercemar sampah berat, terutama plastik. Padahal Indonesia surganya surfing,” kata Dede kepada BeritaBenar, Senin, 19 Juni 2017.

Dede mengakui bahwa sampah plastik di laut cukup mengganggu ketika dia mulai menekuni olahraga surfing, awal 2000-an. Biasanya sampah-sampah meningkat ketika peralihan musim.

“Tiap tahun kelihatannya semakin banyak. Mungkin karena bertambahnya penduduk,” ujarnya.

Tak hanya di Jawa, dia juga banyak menemukan sampah plastik di laut beberapa daerah lain, termasuk Bali, rumah keduanya sekaligus surga para peselancar lokal dan asing.

Sebagai inisiatif, Dede sering mengingatkan nelayan untuk tidak membuang sampah ke laut dan membawa pulang sampah mereka. Ternyata tidak mudah.

“Mereka bilang 'cuma satu kok'. Kalau terus-terusan dilakukan pasti banyak. Padahal mereka sering mengeluh banyak sampah kalau sedang memancing,” ujarnya.

Inisiatif Dede lain dimulai dari rumah, dengan cara membedakan sampah organik dan yang bisa didaur ulang. Lagi-lagi dia menemui kesulitan.

“Tukang sampah malah menyuruh saya menyatukan. Katanya nanti ada petugas memisahkan sampah,” jelasnya.

“Seharusnya kita bisa meniru luar negeri. Ada hari-hari buang sampah dengan tema tertentu, misalnya hari buang sampah organik, hari buang sampah yang bisa didaur ulang.”

Komitmen pemerintah

Pencemaran sampah plastik di laut di Indonesia sempat menjadi sorotan dunia di Konferensi Kelautan di Markas Besar Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, AS, beberapa waktu lalu.

Ocean Conservancy menyebutkan, Indonesia adalah produsen polutan plastik kedua terbesar setelah China.

Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), konsumsi plastik di Indonesia per kapita sudah mencapai 17 kilogram per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi mencapai 6 hingga 7 persen per tahun.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Tuti Indrawati Mintarsih, mengatakan pemerintah sudah melakukan langkah-langkah untuk mengurangi sampah plastik, termasuk membuat peraturan mengenai kantung plastik berbayar.

“Sebentar lagi akan ditandatangani peraturan menteri. Tahun kemarin sudah ujicoba,” katanya kepada BeritaBenar.

Pemerintah Indonesia, tambahnya, juga sudah membuat komitmen untuk menurunkan sampah plastik hingga 70 persen tahun 2025.

KLHK, ujar Tuti, juga mengundang produsen makanan dan minuman untuk mendiskusikan cara pengurangan pemakaian plastik sebagai kemasan produk, dan upaya mendaur ulang sampah-sampah tersebut.

“Kami meminta mereka agar packaging-nya didesain dengan sedikit menggunakan plastik atau kalau bisa diubah yang lebih ramah lingkungan,” ujarnya.

“Kita juga sudah membuat edaran ke hotel dan restoran untuk mengurangi plastik. Laundry di hotel kan menggunakan kantung plastik.”

Selain itu, ada sejumlah kampanye yang melibatkan masyarakat, baik lokal maupun turis untuk membersihkan sampah di pantai. Upaya ini diakui Tuti tak mudah mengingat Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dengan garis pantai terpanjang di dunia.

Ocean campaigner Greenpeace, Arifsyah Nasution, mengapresiasi komitmen pemerintah ketika isu sampah plastik tidak lagi menjadi pekerjaan rumah Indonesia, namun juga global.

“Pendekatan yang dilakukan untuk memastikan komitmen Indonesia perlu mendapat perhatian di tingkat global. Saya pikir ini jalan yang memang perlu ditempuh oleh pemerintah, terutama komitmen mengurangi sekitar 70 persen sampah laut. Perlu kita lihat lagi proyeksinya, apakah cukup atau tidak,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Pemerintah, menurutnya, harus menegakkan amanat yang tercantum dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah, yaitu UU Nomor 18 tahun 2008.

“Terutama pasal 15 yang menjelaskan bahwa peran produsen sangat penting dalam extended responsibility. Di pasal ini, ketika kita membahas tentang produsen, sebenarnya juga tersimpan mandat untuk mengedukasi konsumen,” jelasnya.

Greenpeace juga menyambut baik rencana pemerintah menerapkan cukai plastik, yang pernah dilontarkan ketika Ocean Summit di Bali, Februari lalu.

“Harusnya ada progress, tapi kita lihat belum (kelihatan). Masih sebatas komitmen. Kita ingin lihat kapan realisasinya, tidak hanya sekadar komitmen di tingkat global,” tegasnya.

Greenpeace, lanjut Arifsyah, melihat potensi bahaya sampah plastik ketika produk kemasan ini mulai banyak digunakan sekitar tahun 1970an. Namun isu ini mulai menguat pada awal 2000-an dan semakin kronis.

“Penelitian terakhir membuktikan partikel plastik sudah masuk ke sistem rantai makanan. Jadi, ikan-ikan yang kita konsumsi sudah terpapar sampah plastik, sudah masuk ke sistem. Akhirnya balik lagi ke kita,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.