Polisi Pastikan Santoso Tewas
2016.07.19
Jakarta & Palu

Pimpinan kepolisian Indonesia memastikan, bahwa seorang dari dua terduga militan yang tewas dalam kontak senjata di pegunungan Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng) adalah Santoso alias Abu Wardah.
Kepastian itu diketahui berdasarkan hasil identifikasi luar oleh keluarga dan beberapa saksi serta sidik jari. Hal itu dikatakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Kapolda Sulteng Brigjen (Pol) Rudy Sufahriadi dan Kepala Operasi Tinombala 2016 Komisaris Besar Leo Bona Lubis, Selasa, 19 Juli 2016.
Santoso adalah pemimpin kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT), yang disebut-sebut telah berbaiat pada Negara Islam Suriah dan Irak (ISIS). Dia paling dicari oleh pasukan keamanan Indonesia karena terlibat serangkaian pembunuhan terhadap personel polisi dan TNI juga warga sipil. Sedangkan satu korban lain terindentifikasi sebagai Mukhtar – anak buah Santoso.
“Hasilnya identik. Untuk memastikannya adalah melalui sidik jari, hasilnya saya dapat identik dengan sidik jari yang pernah (ada saat) ditahan sehingga kita simpulkan 100 persen yang bersangkutan (Santoso),” kata Tito kepada wartawan di Istana Negara, Jakarta.
Kapolri menambahkan hasil pengenalan tanda fisik terdapat tahi lalat di dagu. Begitu juga keterangan saksi dan anggota MIT yang ditangkap. Mereka menyebutkan kalau korban yang telah dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Palu adalah Santoso.
“Dalam keadaan utuh, kita lihat badannya mukanya keliatan utuh, wajah utuh. Tanda-tanda tubuhnya yang khas seperti punya tahi lalat dan lainnya keliatan sama (dengan Santoso),” ujar Tito.
Meski sudah memastikan yang tewas adalah Santoso dalam kontak senjata di hutan Tambarana pada Senin sore, 18 Juli 2016 tersebut, Tito, Rudi, dan Leo menyebutkan tes DNA tetap akan dilakukan agar akurasi tidak diragukan lagi.
Menurut Kapolri, sisa anak buah Santoso yang diperkirakan berjumlah 19 orang masih menjadi ancaman. Tito menyerukan mereka yang masih bertahan di hutan agar turun gunung. Dia mengaku siap memediasi dan kalau diperlukan dapat melalui para tokoh untuk selanjutnya menjalani proses hukum.
Kapolda Sulteng, Brigjen Rudy yang juga ditemui wartawan di Istana Negara mengaku pihaknya mendapat ucapan terima kasih dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo karena Operasi Tinombala yang digelar sejak Januari lalu berjalan baik dan “targetnya juga bagus”.
Kronologi baku tembak
Rudi menyatakan baku tembak yang menewaskan Santoso dan Mukhtar berawal saat tim Alfa 29 dari TNI melakukan patrol di kawasan Tambarana. Kemudian, pasukan TNI dari kesatuan Raider Konstrad memergoki lima orang yang terdiri dari tiga pria dan dua perempuan.
“Saat patroli didapat lima orang bersenjata yang berjarak antara 20 hingga 30 meter. Mereka melihat. Ketika hendak didekati, terjadi kontak tembak yang mengakibatkan dua orang dari mereka tertembak,” katanya.
Tiga orang lainnya melarikan diri. Pria yang berhasil kabur itu ialah Basri alias Bagong. Sedangkan dua perempuan adalah Jamiatun Muslimayatun- istri Santoso, dan Murni Usman yang merupakan istri Basri.
“Basri pernah saya tangkap ketika saya Kapolres di Poso, dan sedang jalani hukuman, sisa hukuman satu tahun lagi, (dia) melarikan diri dari penjara di Ampana,” jelas Rudi. Basri melarikan diri dari penjara pada April 2013. Saat itu ia dihukum karena terlibat dalam mutilasi tiga siswi SMU Kristen di Poso dan kasus pidana lainnya.
Leo yang juga Wakapolda Sulteng menyebutkan keberadaan kelima militan MIT sudah dipantau sebelumnya.
Namun keberadaan mereka dalam hutan menyulitkan tim Satgas Tinombala bergerak. Belum lagi jarak lokasi persembunyian Santoso harus ditempuh dengan berjalan kaki tiga- empat jam.
"Jadi yang lari pasca baku tembak saat ini sedang dikejar ke titik pelarian yang telah dipetakan Satgas kami di lapangan," ujarnya kepada wartawan di Palu.
Meski pucuk pimpinan MIT telah tewas, tambah Leo, Satgas Operasi Tinombala tidak akan menghentikan operasi pengejaran dan penangkapan terhadap sisa kelompok militan tersebut.
Kabag Humas Polda Sulteng, AKB Hari Suprapto menambahkan situasi di Poso secara umum tetap aman terkendali. "Kami tetap melakukan langkah-langkah antisipasi,” katanya.
LPS-HAM menyayangkan
Direktur Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulawesi Tengah, Moh Affandi menyayangkan tindakan yang diambil Satgas Operasi Tinombala 2016 dengan menembak mati Santoso.
"LPS-HAM secara kelembagaan menyayangkan kalau orang yang jadi target nomor satu negara harus tewas diujung senjata aparat," katanya kepada BeritaBenar.
"Kalau targetnya harus mati bagaimana pengungkapan teror yang sudah terjadi di Indonesia khususnya Poso," jelas Affandi.
Ia berharap Basri dan Ali Kalora atau anggota lain jangan ditembak mati, tapi ditangkap hidup agar bisa mengungkap serangkaian aksi teror dan jaringan MIT di Indonesia.