Dipaksa Berjilbab, Siswa Non-Muslim ini Pindah Sekolah

Bupati Banyuwangi berjanji tindak tegas sekolah yang menerapkan aturan diskriminatif.
Yovinus Guntur
2017.07.17
Surabaya
170717_ID_Jilbab_1000.jpg Suasana belajar hari pertama sekolah di SMP Negeri 3 Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur, 17 Juli 2017.
Yovinus Guntur/BeritaBenar

Mengenakan seragam Sekolah Dasar – baju putih dengan rok merah, NWA mendatangi kantor Bupati Banyuwangi di Jawa Timur, Senin, 17 Juli 2017.

Anak perempuan berusia 12 tahun itu datang bersama ayahnya, Timotius Purno Ribowo, memenuhi undangan Bupati Abdullah Azwar Anas, untuk sarapan bersama.

NWA terlihat akrab dengan sang Bupati. Ia juga tersenyum ceria, meski baru beberapa hari lalu mengalami tindakan diskriminasi saat mendaftar di SMPN 3 Genteng, Banyuwangi.

“Waktu itu saat mau membayar uang seragam, panitia PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru) bilang kalau SMPN 3 Genteng, tidak menerima siswa non-Muslim,” kata Purno, seorang non-Muslim, menceritakan pengalamannya saat mendaftarkan putrinya untuk tahun ajaran 2017–2018 di SMP tersebut.

Mendapat respons seperti itu, Purno mengadu ke Dinas Pendidikan Banyuwangi dan pihak SPMN 3 Genteng diharuskan menerima NWA sebagai siswa.

Instruksi itu dijalankan panitia PPDB SMPN 3 Genteng, namun NWA wajib mengenakan jilbab dan harus mengikuti aktivitas yang ada, termasuk kegiatan keagamaan.

Merasa kembali mendapat tindakan diskriminasi, Purno memutuskan NWA untuk mundur dari SMPN 3 Genteng.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Sekolah SMPN 3 Genteng, Teguh Lumekso, ketika dikonfirmasi mengatakan seragam berjilbab memang sudah menjadi aturan sekolah.

Ia berkilah, regulasi sekolah sudah mengatur tentang seragam berjilbab. Sedangkan untuk siswi non-Muslim, belum ada aturan soal seragam.

“Ini adalah sekolah negeri dan bisa menerima siswa dari semua golongan, tapi regulasinya, sekolah kita menggunakan seragam berjilbab,” tegasnya kepada BeritaBenar.

Sanksi tegas

Terkait kasus itu, Anas berjanji akan memberikan tindakan tegas kepada Kepala SMPN 3 Genteng. Ia mengatakan tidak ada sekolah yang boleh menerapkan peraturan diskriminatif. Dalam kasus ini, pihak sekolah dinilai ceroboh.

Bupati Banyuwangi itu menjelaskan, aturan seragam jilbab diterapkan atas inisiatif pimpinan SMPN 3 Genteng. Pemberlakuan aturan ini dinilai berpotensi mendiskriminasi pelajar yang beragama bukan Islam.

”Ternyata aturan itu inisiatif dari pimpinan sekolahnya. Terus terang saya kecewa. Kalau berjilbab untuk pelajar Muslim tidak masalah, tapi ini mau diterapkan secara umum tanpa melihat latar belakang agama siswa,” tegasnya.

Anas menambahkan, penerapan aturan ini bakal menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi kinerja kepala sekolah. Ia sudah memerintahkan Kepala Dinas Pendidikan untuk melakukan pengusutan lebih lanjut.

Anas juga meminta maaf secara langsung pada NWA dan Purno. Ia berjanji memperhatikan kelanjutan pendidikan NWA yang memiliki minat seni menari.

Sang bupati juga berjanji akan menyediakan beasiswa pada NWA untuk meringankan beban orang tuanya yang berprofesi sebagai tukang tambal ban.

Pengaruh psikologis

Direktur Lembaga Pelayanan Psikologi (LPP) Geofira Riza Wahyuni menyayangkan peraturan seragam jilbab di SMPN 3 Genteng. Menurutnya, sebagai sekolah bersifat umum, peraturan yang ada seharusnya mampu mengakomodir seluruh siswa.

Apalagi tindakan diskriminasi yang dialami siswa akan mempengaruhi kondisi psikologisnya, seperti tidak percaya diri, menarik diri dari pergaulan, dan akan dikucilkan teman-temannya, katanya.

“Jika ini terjadi, akan terjadi persoalan di masa depan siswa,” kata Riza kepada BeritaBenar.

Perempuan yang juga aktif di Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak (SPPA) Jawa Timur itu berharap guru dimana NWA kini bersekolah agar memiliki kesiapan dalam menghadapi perkembangan psikis siswi tersebut.

Riza menegaskan, pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Satgas PPA di Banyuwangi untuk memastikan keamanan dan kenyamanan NWA di sekolahnya.

“Kasus seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi, apalagi Indonesia bukan negara agama,” pungkasnya.

Pelajaran berharga

Purno menceritakan, peristiwa yang dialami putrinya adalah sebuah pelajaran berharga bagi Indonesia, terutama di lembaga pendidikan berstatus negeri. Dia berharap peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi, karena Indonesia adalah negara Pancasila.

Meski mengalami diskriminasi, NWA mengatakan tetap akan berteman dengan siapapun, termasuk mereka yang beragama Islam.

Purno telah menasihati putrinya agar tidak sakit hati atas perlakuan yang pernah diterimanya.

“Saya menjelaskan tentang seni kehidupan kepada anak saya, dimana kadang kita senang dan kadang terpuruk,” tuturnya.

Apa yang dinasihatkannya itu tampaknya telah menjadi kenyataan. Jika kemarin NWA mendapat diskriminasi, hari ini ia duduk semeja dengan orang nomor satu Banyuwangi menikmati jamuan “istimewa”, dengan pecel rawon khas Banyuwangi dan sayur tombol atau sayur nangka muda berkuah santan.

“Senang rasanya bisa sarapan bareng Pak Bupati,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Tidak itu saja. NWA mendapatkan dispensasi kebijakan dari Dinas Pendidikan di Banyuwangi, sehingga ia kini tercatat sebagai salah satu siswi di SMPN 1 Genteng. SMP ini adalah salah satu sekolah favorit di kabupaten itu, dan lebih populer dari sekolah yang sebelumnya sempat menolaknya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.