Keluarga korban tragedi Kanjuruhan klaim pengadilan tak transparan
2023.01.17
Malang, Jawa Timur

Usai menabur bunga, Devi Athok Yulfitri (43) duduk tepekur di pusara kedua putri dan mantan istrinya di Pemakaman Umum Desa Sukolilo, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang pada Selasa (17/1).
Laki-laki itu kehilangan dua putrinya, Natasya Deby Ramadhani (16) dan Nayla Deby Anggraeni (13) serta ibu mereka Debi Asta (34), yang meninggal dalam tragedi di stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022.
Pada malam naas itu, polisi menyemprotkan gas air mata di stadion tersebut untuk merespons massa yang rusuh dan turun ke lapangan usai kekalahan tim Arema FC Malang melawan Persebaya Surabaya. Aksi penyemprotan yang sejatinya dilarang peraturan FIFA itu, menyebabkan penonton di stadion panik, sesak napas dan berjejal untuk ke luar lapangan yang akhirnya memakan total korban jatuh lebih dari 700 orang termasuk 135 orang meninggal.
Devi mengaku pesimistis keluarga korban bisa mendapat keadilan dengan persidangan perdana yang dilangsungkan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya sehari sebelumnya.
“Sidang di Surabaya, kita tidak boleh datang. Bahkan tidak bisa hadir dalam teleconference. Media tidak boleh mengekspos. Ada apa? Mana keadilan? Kenapa tertutup? Ini bukan perkara asusila, ini tragedi,” kata Devi.
Dia menanyakan alasan majelis hakim yang melarang media menyiarkan langsung persidangan dan dijaga ketat aparat Kepolisian. Bahkan, Aremania dilarang hadir.
“Kalau terbuka, kita bisa mengawal dan melakukan kontrol. Keluarga korban dipersulit masuk ke ruang sidang, ini bukti jika persidangan dagelan dan setingan. Inilah wajah peradilan Indonesia,” ujarnya.
Devi mengaku turut diperiksa dan dimintai keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan perkara tersebut. Namun, dia tak dapat undangan dalam persidangan.
Devi mengungkapkan bahwa kedua putri dan bekas istrinya berada di tribun berdiri dan tak ada tanda bekas injakan atau pukulan.
“Mereka diracun dengan gas air mata!” katanya.
Untuk membuktikan penyebab kematian, Devi mengajukan ekshumasi atau pembongkaran makam untuk autopsi untuk kedua jenazah putrinya. Autopsi dilangsungkan pada Sabtu, 5 November 2022 oleh Tim Kedokteran Forensik.
“Sampai sekarang saya belum dapat hasil autopsi,” kata Devi Athok.
Warga Desa Krebet Senggrong, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang akan terus berjuang untuk mendapat keadilan, terang Devi. Ia mengaku sempat mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban karena intimidasi dan tekanan dari aparat kepolisian.
“Semoga hakim punya hati nurani dan memberi keputusan yang seadil-adilnya,” ujar Devi.
KontraS: Penjagaan sidang berlebihan
Polisi menurunkan 1.600 anggotanya lengkap dengan senjata laras panjang dan perisai tameng di luar PN Surabaya untuk mengamankan jalannya persidangan.
Sebuah kendaraan taktis juga diterjunkan untuk menjaga persidangan guna mencegah kehadiran Aremania ke persidangan, kata Kepala Bagian Operasional Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Toni Kasmiri seperti dikutip Suarasurabaya.net.
Sekretaris Jenderal Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andy Irfan Junaedi menilai pengamanan persidangan berlebihan, tidak sebanding dengan proses persidangan yang cenderung tertutup.
“Bahkan keluarga korban tidak bisa masuk. Polisi over acting,” kata Andy.
Andy mempertanyakan pengamanan yang ketat walaupun persidangan berlangsung daring.
Hanya jaksa, hakim dan penasihat hukum yang hadir langsung di persidangan. Sementara lima terdakwa mengikuti persidangan melalui teleconference.
Kelimanya adalah ketua panitia pelaksana pertandingan Abdul Haris, petugas keamanan Suko Sutrisno, Komandan Kompi 3 Brimob Polda Jatim Ajun Komisaris Hasdarmawan, Kepala Bagian Operasional Polres Malang Komisaris Polisi Wahyu Setyo Pranoto, dan Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Polisi Bambang Sidik Achmad.
“(Ini) Mengamankan siapa? Tidak ada relevansinya dan ancaman dari apa?” tanya Andy.
Andy mengeluhkan ruang sidang yang hanya mampu menampung maksimal 30 orang sedangkanPN Surabaya tidak memberi sarana tambahan seperti layar televisi di luar sidang untuk publik atau menyiarkan secara langsung melalui media sehingga masyarakat tidak bisa mengawasi profesionalisme peradilan.
“Sidang tertutup sehingga publik semakin ragu. Ini persidangan beneran atau sandiwara?” tanya Andy.
Ketua Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK) Imam Hidayat juga mempertanyakan keputusan persidangan dilakukan secara tertutup.
“Kami bertemu Kepala KSP (Kantor Staf Presiden), Menkopolhukam (Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan) yang berjanji akan mengawal kasus ini. Agar diusut tuntas untuk rasa keadilan korban,” ujarnya.
Imam menilai penyidik Polda Jatim bekerja secara amatir dan tidak serius, sehingga berkas perkara dengan tersangka bekas Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita tak bisa dilimpahkan ke pengadilan lantaran jaksa menilai belum lengkap syarat materiilnya.
“Ada kepentingan besar, polisi tidak bisa melawan,” ujar Imam.
Semula persidangan pada awalnya akan digelar di PN Kepanjen Malang. Namun, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Malang berkirim surat ke Mahkamah Agung agar persidangan dialihkan di PN Surabaya, kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Mia Amiati.
“Faktor keamanan menjadi alasan lantaran Malang merupakan basis Aremania,” kata Mia.
Dakwaan untuk ketiga polisi
Walaupun terdapat lima terdakwa, Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya membacakan dakwaan untuk tiga terdakwa polisi yakni Hasdarmawan, Wahyu Setyo Pranoto dan Bambang Sidik Ahmad.
Dalam dakwaan di Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Surabaya disebutkan Hasdarmawan memerintahkan sejumlah personel Brimob menembakkan gas air mata ke penonton, seperti dibacakan JPU Rully Mutiara.
Rully menyampaikan bahwa terdakwa memerintahkan saksi Bhayangkara Satu Teguh Febrianto menembakkan gas air mata ke arah depan gawang sebelah selatan. Sedangkan saksi Bhayangkara Satu Sanggar menembak gas air mata ke arah lintasan lari belakang gawang sebelah selatan.
“Kemudian terdakwa memerintahkan anggotanya menembakkan gas air mata yang ketiga dengan mengatakan “penembak selanjutnya persiapan menembak” selanjutnya terdakwa mengeluarkan perintah menembak,” tulis Rully dalam surat dakwaannya.
Sehingga enam personel Brimob menembakkan gas air mata ke arah penonton, kata Rully.
Terdakwa bersalah karena lalai dan tidak mempertimbangkan "risiko" memerintahkan anggotanya menembakkan gas air mata, tambah Rully. Sebagai bentuk kecerobohan dan ketidak hati-hatian, sehingga menimbulkan kematian 135 orang.
Sedangkan terdakwa Wahyu Setyo Pranoto membiarkan penembakan gas air mata. Sehingga banyak personel yang menembak gas air mata, kata Rully.
Rully menambahkan terdakwa Bambang Sidik Achmad turut memerintahkan anggotanya menembakkan gas air mata ke arah penonton. Bambang lantas meninggalkan lokasi dan mengawal pemain Persebaya menumpang kendaraan taktis.
Ketiga terdakwa didakwa melanggar Pasal 359 dan Pasal 360 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), ancaman maksimal lima tahun penjara atau pidana kurungan paling lama satu tahun, kata dia.