2018, Tahun Bencana Paling Mematikan

Rendahnya kesadaran bencana dan hoaks ikut mempersulit penanggulangan.
Ami Afriatni
2018.12.19
Jakarta
181219_ID_Disaster_1000.jpg Dalam foto tertanggal 26 Oktober 2018 ini memperlihatkan sejumlah orang bekerja di jembatan yang rusak di Palu, Sulawesi Tengah, akibat gempa dan tsunami yang mengguncang wilayah tersebut pada 28 September 2018.
AFP

Bencana yang terjadi sejak Januari hingga Desember menewaskan 4.231 orang dan 9,9 juta lainnya harus mengungsi atau terdampak, sehingga 2018 menjadi tahun bencana paling mematikan dalam 12 tahun terakhir, demikian laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Kepala BNPB, Willem Rampangilei, dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu, 19 Desember 2018, mengatakan jumlah bencana tahun ini mencapai 2.350 kejadian.

Tren bencana itu, menurut dia, dipastikan meningkat baik intensitas maupun frekuensinya ke depan, karena sejumlah faktor.

“Kerusakan lingkungan yang terus-menerus, daerah aliran sungai yang kritis, climate change, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, tata ruang, dan perilaku masyarakat yang belum sadar bencana,” katanya.

Bencana dengan jumlah korban jiwa terbanyak sebelumnya terjadi tahun 2006 ketika lebih dari 6000 orang tewas akibat gempa bumi mengguncang Yogyakarta.

Selain bencana alam, tahun ini masyarakat Indonesia juga dikejutkan dengan jatuhnya pesawat Lion Air di perairan Karawang, Jawa Barat, yang menewaskan 189 penumpang dan awak pada 29 Oktober lalu.

Dari sederetan bencana terjadi, gempa bumi melanda Nusa Tenggara Barat (NTB) awal Agustus dan Sulawesi Tengah (Sulteng) akhir September lalu menyebabkan korban jiwa terbanyak.

Sebanyak 2.101 orang meninggal akibat gempa Sulteng dengan magnitudo 7,4, sementara gempa 7 skala Richter yang mengguncang NTB mengakibatkan korban jiwa 564 orang.

“Gempa di Sulteng unik. Kita tak pernah mengalami bencana sedemikian rupa. Ada gempa, tsunami, likuifaksi dan longsor. Apakah tsunaminya disebabkan likuifaksi atau apa, ini masih dikaji masyarakat internasional,” ungkap Willem.

Selain gempa, banjir, dan tanah longsor juga menyumbang korban jiwa. Banjir dan longsor yang terjadi di tiga kabupaten di Sumatera Utara mengakibatkan 27 orang meninggal dunia.

Tak hanya memakan korban, bencana juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Gempa di NTB menyebabkan kerusakan dan kerugian sebesar Rp17,13 triliun dan Sulteng lebih dari Rp18,5 triliun.

Di Sulteng, sebelum terjadi bencana pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 6,24 persen. Tetapi, setelah gempa dan tsunami, pertumbuhan ekonomi menjadi 1,75 persen.

“Kemiskinan di Sulteng meningkat 14,42 persen atau 438.610 jiwa. Masyarakat yang hampir miskin jadi miskin karena bencana meski pemerintah telah bekerja keras. Dengan perbaikan ekonomi pasca-pemulihan, pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa terjadi dalam tiga tahun ke depan,” ujar Willem.

Pembangunan kembali

Pemerintah kini tengah membangun kembali daerah-daerah yang terdampak gempa di kedua provinsi itu.

Biaya yang dibutuhkan pun sangat besar. Sulteng membutuhkan Rp22 triliun, sementara NTB Rp12 triliun sepanjang pemulihan, sementara total anggaran yang tersedia saat ini baru sekitar Rp19 triliun dari pendanaan APBN dan bantuan luar negeri.

“Indonesia membutuhkan tambahan 15 triliun,” imbuh Willem.

Untuk di NTB, Willem mengatakan semua kerusakan telah diverifikasi dan pemerintah tengah membangun rumah-rumah warga yang rusak.

”Targetnya dalam enam bulan, rumah-rumah bisa dibangun kembali. Fasilitas sosial dan umum bisa digunakan kembali. Sesuai instruksi Presiden, kegiatan belajar mengajar dan pelayanan kesehatan tak boleh terganggu,” ujar Willem.

Dia menambahkan bahwa pemerintah kini tengah fokus menyusun masterplan untuk relokasi pemukiman warga dan pembangunan di wilayah yang tak dilewati sesar gempa.

“Daerah relokasi tak boleh rawan bencana. Ada empat titik. Nanti akan di-SK-kan gubernur. Saat ini BNPB hanya bisa menetapkan data rumah rusak,” katanya.

Sadar bencana

Kedepan, BNPB berharap pendidikan sadar bencana terus diintensifkan mengingat lebih dari 100 juta orang tinggal di daerah rawan bencana.

“Targetnya ada empat; kurangi korban jiwa, masyarakat terdampak, kerusakan infrastruktur kritis, dan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi,” papar Willem.

Hal ini mendesak dengan ditemukannya kembali 214 sumber gempa baru, sehingga total sesar aktif di seluruh Indonesia yang teridentifikasi mencapai 295.

“Belum ada satu pun alat untuk mendeteksi gempa. Kita hanya tahu peta sesar. Indonesia sendiri berada di pertemuan tiga lempeng besar dunia,” ujarnya.

Untuk ancaman bencana lain, Willem berharap masyarakat dapat mengubah budaya terkait bencana.

“Jika sebelumnya budaya respons, sekarang harus budaya sadar bencana agar selalu siap siaga, paham mitigasi bencana. Kedepan tidak bisa tidak, pembangunan harus berbasis pada analisis risiko bencana agar dampak bisa diminimalisir,” ujarnya.

Ancaman hoaks

Seakan tak cukup dengan sederet masalah seputar bencana, pemerintah dan masyarakat juga harus menghadapi kendala lain, yakni kabar bohong alias hoaks yang dinilai sangat merugikan.

Willem mencontohkan hoaks yang beredar di masyarakat mengenai erupsi Gunung Agung di Bali awal Juli.

“Ada hoaks yang menyebutkan akan ada erupsi besar seperti 1963. Akibatnya, wisatawan berkurang,” ujar Willem.

Begitu juga hoaks seputar gempa Sulteng.

“Ada hoaks yang menyebutkan akan ada gempa lebih besar. Ini kan menimbulkan rasa teror di masyarakat,” katanya.

Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, berkali-kali membantah hoaks terkait bencana di akun media sosial miliknya, termasuk kabar bohong tentang gempa susulan berkekuatan 8.1 Skala Richter di Sulteng.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.