Ketika Taksi Konvensional Terusik Jasa Transportasi Daring

Zahara Tiba
2016.03.24
Jakarta
160324_ID_taxi_1000 Pengemudi taksi melakukan aksi unjuk rasa untuk memprotes jasa transportasi Uber dan aplikasi telepon genggam lainnya di Jakarta, 22 March 2016.
AFP

Unjuk rasa besar-besaran pengemudi taksi dan beberapa angkutan umum lain untuk memprotes keberadaan jasa transportasi berbasis aplikasi telepon genggam seperti Grab Car dan Uber di Jakarta, Selasa, 22 Maret 2016, berakhir ricuh.

Bentrok terjadi di beberapa lokasi. Sejumlah sopir yang tetap beroperasi mengalami luka-luka karena dipukul pengunjuk rasa. Kepolisian Daerah Metro Jaya menahan sekitar 80 pengunjuk rasa yang dinilai dalang di balik kerusuhan.

Para pengemudi mengajukan beberapa tuntutan terkait resistensi mereka terhadap keberadaan jasa transportasi daring (dalam jaringan/ online). Mereka mendesak pemerintah agar memblokir aplikasi Grab dan Uber serta menghentikan layanan jasa transportasi daring.

Ketiadaan izin usaha dinilai para pengemudi menjadikan perusahaan penyedia jasa transportasi daring lolos dari kewajiban membayar pajak, sementara perusahaan-perusahaan taksi konvensional rutin membayarnya.

Tetap beroperasi

Namun protes itu tidak berpengaruh bagi seorang pengemudi Grab Car, Muhamad Nur, yang memilih tetap beroperasi seperti biasa. Ia menilai unjuk rasa para sopir taksi salah sasaran.

"Tidak jelas siapa yang mereka protes. Apakah aplikasi penyedia jasa transportasi online, para sopirnya atau pemerintah," ujar Nur saat ditemui BeritaBenar di Jakarta, Rabu, 23 Maret 2016.

Menurut dia, seharusnya para pengemudi taksi konvensional melayangkan protes  pada perusahaan mereka karena tak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman melalui perkembangan teknologi.

Nur lalu berbagi kisahnya ketika masih menjadi pengemudi taksi Express. Dia menilai perusahaan terlalu acuh terhadap keluhan yang dilayangkan para sopir.

"Saya pernah protes kebijakan dan pelayanan perusahaan. Misalnya soal perbaikan pemesanan armada oleh penumpang atau reparasi jok mobil, tapi perusahan tidak peduli. Padahal itu demi kenyamanan penumpang. Mereka cuma menuntut setoran saja," ujar Nur.

Dia menambahkan sejumlah kebijakan lain yang dinilainya memberatkan pengemudi taksi.

“Misalnya penjualan sparepart mobil. Sopir beli di perusahaan. Harga sparepart yang mereka jual makin lama makin mahal. Sparepart KW3 dijual seharga sparepart asli, atau tiga kali lipat dari harga asli. Itu ngawur,” tegasnya.

Setelah hampir sepuluh tahun bergabung, Nur akhirnya hengkang dari Express dan bergabung dengan Grab Car. Dia mengaku banyak keuntungan diperoleh, termasuk bantuan Grab Car dalam mengurus cicilan satu mobil Datsun miliknya.

“Di Grab ada juga sistem bonus jika mencapai jumlah penghasilan tertentu. Sehari saya bisa dapat Rp500 ribu tanpa dipotong setoran ke perusahaan,” jelas Nur.

Karena itu, ia tak mempermasalahkan jika para rekan pengemudi taksi konvensional masih akan melanjutkan unjuk rasa di kemudian hari.

“Rejeki sudah diatur oleh Allah dan bisa didapat di mana saja,” tuturnya.

Publik tetap inginkan layanan online

Unjuk rasa ribuan sopir malah mendapat cibiran dan kecaman dari publik tanah air, termasuk pengguna jasa layanan transportasi daring seperti Tirzah Jessica Sihotang.

“Unjuk rasa kemarin itu konyol, karena banyak sopir taksi yang beroperasi dipaksa ikut. Yang menolak justru mendapat kekerasan. Banyak mereka ingin tetap mencari rezeki. Apalagi saya dengar banyak demonstran dibayar untuk ikut aksi,” ujar Tirzah kepada BeritaBenar.

Seharusnya, tutur Tirzah, para pengemudi taksi berunjuk rasa ke perusahaan masing-masing, dan bukan penyedia jasa transportasi daring atau pemerintah.

“Kalau merasa tersaingi, perusahaan harusnya membuat inovasi untuk mengimbangi kemajuan teknologi,” kata dia.

Karyawan swasta sebuah perusahaan di Jakarta itu mengaku lebih memilih Grab Car karena selain murah, juga tepat waktu dan kemudahan yang disediakan. Malah, para pelanggan bisa memprotes apabila pelayanan tidak maksimal.

“Tarif yang dikenakan penyedia jasa transport online pasti. Sudah ada deal di awal, sudah tahu harus bayar berapa. Lokasi antar jemput juga jelas. Taksi konvensional sering menolak penumpang,” ungkap Tirzah.

Alasan kepastian tarif yang pasti juga membuat Maggie Nuansa Mahardika tetap memilih akan menggunakan jasa transportasi online tersebut.

“Saya kecewa mencari taksi di pinggir jalan karena sering menolak. Kalau pesan via telepon, ada minimal tarifnya yang cukup mahal. Ruginya banyak dan belum tentu dapat. Kalau pakai Grab, ada pilihan Grab Car atau Grab Taxi,” ujarnya.

Sejumlah pengemudi taksi melampiaskan kemarahan mereka saat menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta, 22 Maret 2016. (Zahara Tiba/BeritaBenar)

Berbeda pendapat

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menjanjikan penyelesaian masalah transportasi daring akan segera tuntas.

“Dalam waktu beberapa saat akan selesai, jadi tidak hiruk-pikuk lagi, dan masih bisa menikmati layanan dengan baik, lebih nyaman dan terjangkau,” katanya seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Rudiantara juga menegaskan bahwa pihaknya tidak akan memblokir aplikasi layanan transportasi daring seperti dituntut sejumlah perusahaan angkutan umum melalui Kementerian Perhubungan.

“Bagaimana pun (aplikasi online) tidak bisa di-stop. Justru harus kita memanfaatkan untuk proses yang lebih efisien,” tambahnya.

Pernyataan Rudiantara itu didukung Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang menyebutkan melarang penerapan aplikasi dalam sistem transportasi sama dengan menghambat perkembangan zaman.

"Masa kita mau menghindari pertumbuhan zaman aplikasi. Saya tanya sama kamu, mau enggak kamu saya paksa karena SMS enggak laku, kamu enggak boleh pakai WA (WhatsApp), BBM, Telegram. Bisa enggak kamu maksa? Ada berapa orang yang minta sambungan telepon rumah sekarang, hampir enggak ada," tegas pria yang akrab dipanggil Ahok seperti dikutip Okezone.com.

Tapi, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan konsisten melarang layanan transportasi daring untuk beroperasi, hingga semua persyaratan dalam aturan pemerintah dapat dipenuhi perusahaan-perusahaan tersebut.

"Ini perusahaan ilegal, harus dihentikan dulu," tuturnya saat diwawancara stasiun televisi SCTV, Selasa petang, 22 Maret 2016.

Menurut Jonan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mewajibkan semua kendaraan umum memiliki lisensi dan uji KIR.

Dia juga menegaskan, perusahaan wajib memiliki badan hukum baik berbentuk perseroan terbatas, koperasi atau yayasan.

"Entah sistem reservasinya mau online atau apa, semua harus menaati undang-undang," pungkas Jonan.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.