Menanamkan Toleransi Sejak Dini Lewat Mewarnai
2018.01.15
Malang

Alief Ahmad, seorang murid Madrasah Ibtida’iyah Bantur di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tekun mewarnai gambar dalam buku.
Matanya tajam menatap gambar berisikan masjid, gereja, vihara, dan pura.
Dia antusias, mewarnai dan mencerna setiap gambar di buku bertemakan keberagaman dan toleransi.
Bersama 46 bocah TK dan SD, Alief duduk meriung beralas tikar di Kampung Ceria Galeri Kreatif, sebuah komunitas edukasi di Malang, Sabtu sore, 6 Januari 2018.
“Buku gambar ini sangat cocok, dan pesannya mudah dipahami anak-anak,” kata pegiat literasi Kampung Ceria Galeri Kreatif, Muzaki.
“Kami ikut senang, buku gambar itu sangat mengedukasi buat adik-adik,” ujarnya.
Tak hanya mewarnai, anak-anak juga diajak memelihara keberagaman, saling menghargai perbedaan suku, dan agama.
Muzaki mengaku sebelumnya pernah mendapat lembaran gambar untuk mewarna. Namun, murid TK dan SD kurang antusias karena tidak mengeksplorasi keseharian mereka.
“Tapi setelah menerima buku mewarnai ini, adik-adik senang karena mereka bisa mewarnai sambil belajar,” katanya.
“Belajar perdamaian, toleransi, dan juga mendapat banyak pengetahuan dari buku mewarnai itu.”
Buku tersebut merupakan karya para ilustrator duta damai Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT).
Media melaporkan Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA) mendapati indikasi benih-benih intoleransi berdasarkan aspek keagamaan telah mengontaminasi anak usia dini yang terjadi hampir di semua provinsi. Seperti misalnya, munculnya fenomena anak-anak yang mengolok temannya yang berbeda agama dengan sebutan kafir.
"Kasusnya sama seperti bullying, tetapi kini verbalnya didasari identitas keagaaman. Itu mengkhawatirkan sekali," kata Arist Merdeka Sirait, ketua Komnas PA, seperti dikutik di laman cnnindonesia.com.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan terdapat peningkatan kasus anak yang terpapar terorisme dari 180 kasus pada 2015 menjadi 256 kasus pada 2016.
Pada 2017 ditemukan sejumlah video viral ujaran kebencian yang dilakukan anak-anak. Salah satunya adalah video yang diduga direkam saat pawai obor dalam rangka menyambut Ramadan di Jakarta, yang memperlihatkan anak-anak menyanyikan lagu “ Bunuh… bunuh si Ahok!” - mengacu pada mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang kini mendekam di penjara karena vonis penistaan agama.
Mudah terpapar radikalisme
Koordinator duta damai Ngalam di Malang, Viki Maulana, menyatakan pendekatan buku gambar mewarnai itu efektif menangkal radikalisme sejak usia dini. Selama ini, tak banyak lembaga dan komunitas yang menggarap segmen anak-anak.
Dalam buku tersebut, di antaranya terdapat gambar enam rumah ibadah dan tokoh agama yang akrab bersama, juga gambar keberagaman adat dan suku di Indonesia.
“Juga diselingi angka-angka, gambar kelinci, dan super hero agar tak membosankan,” katanya.
Siswa juga dikenalkan huruf dan angka karena sasaran buku gambar ini murid TK sampai kelas 2 SD.
Buku itu telah dicetak 300 eksemplar, didistribusikan ke komunitas dongeng, Forum Komunitas Taman Baca Malang Raya.
“Semua biaya percetakan ditanggung BNPT. Jika responnya bagus, akan dicetak lagi. Awalnya target 1.000 eksemplar,” ujar Viqi.
Buku itu didistribusi di sekitar Malang, Sidoarjo, Madura, Makassar, dan Surabaya.
Ke depan, katanya, melatih guru TK dan komunitas guna mendongeng tentang perdamaian dan toleransi.
Selain itu, disiapkan buku mendongeng dalam bentuk buku maupun video tutorial. Para duta damai juga tengah menyusun komik perdamaian yang melibatkan 100 ilustrator.
Kebudayaan
Penasihat Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi dan Pancasila (UKP PIP) Romo Benny Susetyo menyebut siasat kebudayaan efektif menangkal paham radikalisme, termasuk menggali potensi dan kearifan lokal melalui penggunaan media komik, buku gambar dan kesenian tradisional.
“Para pegiat dan pakar teknologi informasi bisa menciptakan permainan dan aplikasi berbasis budaya dan kesenian yang mengangkat tema keberagaman dan perdamaian,” ujarnya dalam Rembug Budaya bertema “Merawat Kebhinekaan dan Menangkal Radikalisme dalam Bingkai Pancasila” di Malang, belum lama ini.
Salah satunya, kesenian Ludruk khas Jawa Timur bisa diefektifkan untuk kampanye perdamaian. Apalagi Ludruk merupakan kesenian yang dalam sejarahnya digunakan untuk melawan penjajah Belanda.
Ketua Umum Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) NU, Kiai Haji Agus Sunyoto, menyebut pihaknya telah meneliti perubahan pergeseran budaya sejak dua tahun lalu.
Untuk itu, NU merumuskan strategi kebudayaan yang diserahkan kepada Lesbumi. Strategi kebudayaan Sapta Wikrama artinya tujuh kekuatan. Salah satu strateginya mengembalikan pengetahuan leluhur zaman dulu melalui pendidikan.
Pegiat Ludruk Kendo Kenceng, Sigit Priyo Utomo mengaku jika dalam menggarap sebuah lakon suasana keberagaman dan toleransi kental terlihat.
Salah satu poin lakon di Kendo Kenceng biasanya menggarap situasi rukun dan toleransi yang dibangun dari berbagai interaksi sehari-hari.
Ia mencontohkan tokoh Besut dalam lakon Rumah Gila dan Maniso mengangkat tema toleransi.
Sayangnya jarang kelompok Ludruk yang menggarap tema atau lakon rumit apalagi tak populer dan diminati masyarakat.
“Lebih banyak yang menggarap sekadar banyolan atau lawakan,” tuturnya.