Kisah di Balik Aksi Bentrok Polisi-Teroris di Penjara Mako Brimob

Pakar terorisme, Rohan Gunaratna, mengungkapkan kejadian kerusuhan Mako Brimob dan pertanyaan besar untuk mencegah berulangnya peristiwa serupa.
Komentar oleh Rohan Gunaratna
2018.05.25
180524-ID-Brimob-1000.jpg Keterangan Foto : Ratusan petugas polisi berjaga di luar rumah tahanan yang terletak di dalam Kompleks Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, dimana terjadi bentrok antara narapidana teroris dan petugas pada 10 Mei 2018.
AP

Setelah 155 narapidana (napi) mengambil alih penjara Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, pada 8-10 Mei lalu, para pemimpin kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS memerintahkan para pengikutnya di dalam tahanan bertempur hingga ajal menjemput mereka.

Namun rencana untuk membuat Mako Brimob menjadi medan pertempuran berdarah tersebut berhasil digagalkan oleh polisi.

Meski demikian, ISIS dinilai mampu memanfaatkan insiden bentrokan tersebut dengan melakukan tiga fase dari empat tahap standar strategi yang pernah mereka lakukan dalam serangan di Paris tahun 2015 dan Dhaka 2016: menggiring lalu membunuh para sandera, menyebarluaskan propaganda, memprovokasi agar aparat keamanan terlibat dalam aksi bentrokan, dan menyerang hingga mati sebagai martir.

Meski 800 orang dari 40 ribuan petugas Brimob telah mengepung rutan tersebut dan menanti perintah untuk menyerbu ke dalam, para napi sama sekali tak gentar. Sukses mengambil alih kendali di dalam rutan, termasuk merebut 26 pucuk senjata serta 300 amunisi. Para napi yang terkait ISIS itu melukai tujuh anggota polisi, menganiaya hingga tewas lima lainnya dan menyandera seorang petugas Detasemen Khusus 88 Antiteror.

ISIS juga menyerukan kepada para simpatisannya di seluruh Indonesia untuk menyerbu markas Brimob dan bergabung dengan yang lainnya untuk bertempur membebaskan pemimpin mereka, Aman Abdurrahman, yang ditahan di dekat gedung provos Brimob.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian lalu mengutus tim penanggulangan terorisme untuk bertemu dengan Aman. Setelah sempat menolak, Aman akhirnya setuju dan meminta para napi untuk tidak menciptakan “kerusuhan di dalam kandang singa”.

Perintah Aman tersebut mampu mengakhiri drama penyanderaan tersebut dengan damai dan menenangkan para napi, yang telah berbaiat atau memperbarui sumpah setia mereka kepada Abu Bakr al-Baghdadi untuk bertempur hingga titik darah penghabisan. Semuanya menyerah, sementara satu napi lainnya tewas dalam insiden itu.

Persayaratan yang diberikan oleh para napi yang menyerah tersebut adalah tidak aka nada investigasi terhadap napi sehubungan dengan tewasnya kelima aparat dan para napi akan diperlakukan “layaknya manusia dan bukan binatang”.

Konteks insiden

Nusakambangan, yang dikenal sebagai pulau eksekusi, merupakan penjara bagi napi terorisme dalam jumlah besar. Namun, rutan Brimob di Kelapa Dua menjadi tempat dimana sejumlah tersangka teroris ditahan, yakni mereka yang tengah diselidiki atau tengah menjalani sidang.

Terletak persis di dalam markas Brimob, rutan tersebut ditempati sejumlah napi terorisme yang paling berbahaya saat ini. Mereka antara lain pemimpin ISIS di Indonesia, Abu Qutaibah; Young Farmer, napi yang ditahan saat tengah membuat alat peledak berbahan radioaktif tinggi yakni Thorium di Bandung pada Agustus 2017; dan Anggi Indah Kusuma, tokoh propaganda ISIS yang dideportasi dari Hong Kong beserta bayinya yang baru berusia setahun.

Rutan yang dikelola bersama Brimob dan Densus 88 ini belakangan diketahui menampung terlalu banyak napi teroris dan berisiko seperti yang dihadapi oleh penjara bagi para teroris lainnya.

Iwan Sarjana, petugas polisi yang disandera oleh para napi, menjelaskan pola pikir umum para tahanan dan terdakwa kasus terorisme.

"Mereka murka, tidak senang, dan siap berperang dengan polisi. Setiap kali seorang anggota polisi berjalan melewati sel tahanan, mereka akan mengata-ngatai. Biasanya dikatai 'thogut' [setan]," kata Iwan kepada Dwi Ridlo Wancoko dari Jawa Pos.

8 Mei

Awal bentrokan tersebut dimulai pada pukul 19.20 WIB tanggal 8 Mei silam, dimana seorang napi protes makanan yang dibawa salah seorang sanak keluarga mereka telat diantarkan ke sel oleh petugas. Kejadian tersebut lantas dimanfaatkan oleh seorang pentolan ISIS, Wawan, yang memulai kerusuhan dengan mengata-ngatai “penjaga penjara, anjing!”

Setelah para napi berhasil menjebol sel masing-masing pada pukul 20.20, mereka menyerang bangunan di sebelahnya, dimana ruang investigasi berada, dan menyandera para petugas di dalamnya.

Tujuh petugas termasuk seorang penyidik perempuan berhasil melarikan diri dalam keadaan luka-luka, namun enam lainnya ditangkap dan diseret ke dalam sejumlah sel. Lima di antaranya dianiaya hingga tewas.

Iwan dipukuli, diikat dengan mata tertutup dan dicambuk dengan rantai besi. Air mendidih disiram dan dituang ke punggungnya.

"Saya berteriak, namun masih mencoba bertahan. Sakitnya luar biasa, tapi saya percaya ini akan segera berakhir," ujar Iwan.

Para napi lalu merangsek ke ruangan yang menyimpan sejumlah barang bukti dan mengambil sejumlah senjata, amunisi dan bahan peledak, serta kembali berbaiat kepada sang “khalif”. Pada titik ini, 40 persen dari para napi itu ingin bertempur.

Masih belum mengetahui bahwa sejumlah rekan mereka telah dibantai oleh para napi, polisi terus memaksa para napi untuk membebaskan para petugas Densus 88 pada pukul 21.15.

Polisi juga sempat menawarkan untuk merawat dua tersangka teroris Ibrahim dan Wawan yang terluka akibat bentrok dengan petugas, namun tidak ada jawaban. Polisi lantas mengancam menyerang rutan, namun para napi juga tidak mau menyerah.

Awalnya, arahan para pentolan ISIS ini sempat dituruti oleh para napi.

"Selama hampir tiga jam dialog, tidak ada hasil yang didapatkan," kata seorang petugas Densus 88 yang berupaya untuk memulai dialog dengan para napi.

Awalnya mereka bersikeras untuk berperang. Namun pada akhirnya mereka mulai menyadarai situasi sesungguhnya. Kebanyakan petugas Densus 88, terutama yang sudah berpengalaman, memperlakukan mereka dengan manusiawi. Para napi pun menyesal atas perbuatan keji yang mereka lakukan yang merenggut nyawa sejumlah petugas.

Meski sejumlah pentolan ISIS berusaha meyakinkan baha aksi mereka itu benar, sejumlah napi sadar bahwa mereka telah bertindak tanpa berpikir lebih lanjut akibat dari perbuatan mereka. Sementara itu, pasokan makanan, air dan listrik ke dalam rutan telah diputus.

9 Mei

Pada pukul 01.30 WIB tanggal 9 Mei dini hari, perwakilan napi Abu Umar meminta izin meninggalkan rutan dan bertemu dengan Aman Abdurrahman. Permintaan Abu Umar untuk bertemu pimpinan ISIS ini pun disampaikan kepada sejumlah pejabat kepolisian.

Ketika mereka bertemu Abu Umar, mereka mengatakan bahwa "lima petugas Densus 88 telah tewas, satu masih disandera dan seorang napi tewas ditembak, dan satu napi lainnya terluka".

Kenyataannya, para petugas ini dianiaya hingga tewas, dan jika saja Ibrahim mendapat perawatan tepat waktu, nyawanya dapat diselamatkan. Kapolda Metro Jaya meminta para napi untuk menyerah dan menyerahkan senjata yang mereka miliki.

Pada pukul 08.15 pagi, Abu Umar kembali meminta polisi untuk menormalkan situasi, dengan cara bertemu dengan “Ustad Aman Abdurrahman untuk mendengar nasihatnya” terkait dengan bentrok tersebut, dan menyediakan perawatan medis bagi mereka yang terluka. Setelah mendengar permintaan Abu Umar, Densus 88 sepakat untuk mengevakuasi jenazah mereka yang tewas, para tahanan wanita, kedua orang napi yang terluka serta seorang bayi.

Namun, Densus 88 tak serta merta merespons permintaan mereka dengan cepat. Hingga menjelang sholat dzuhur, jenazah mereka yang tewas berhasil dievakuasi. Para tahanan perempuan dan bayi belum juga dibebaskan. Pada pukul 15.35 WIB, polisi terus mendesak para napi untuk melepaskan sandera dan sepakat untuk merawat para teroris yang terluka.

Pada pukul 20.15 WIB, para napi meminta untuk berdiskusi lagi untuk menyampaikan permintaan mereka untuk bertemu dengan “Ustaz Aman” dan mendengar keputusannya. Abu Umar pun berjanji untuk melepaskan para sandera, namun batal dilaksanakan menyusul kekhawatiran akan polisi menyerang para napi begitu sandera dilepaskan.

Pada pukul 22.30 W IB, Densus 88 kembali mendesak para napi bahwa polisi segera menyerang mereka. Abu Umar kembali meminta bertemu aparat. Para napi mengatakan saat keinginan mereka bertemu “Ustaz Aman” melalui sambungan telepon dikabulkan, mereka akan segera melepaskan petugas yang menjadi sandera. Setelah mereka berdiskusi dengan Aman, Iwan dibebaskan pada pukul 23.15 WIB dan langsung dilarikan ke rumah sakit.

10 Mei

Pada pukul 01.30 WIB dini hari, aparat Densus 88 kembali mengeluarkan peringatan bahwa mereka akan menyerang secepatnya.

Pada pukul 02.40 WIB, Abu Umar meminta bertemu kembali, kali ini mengatakan mereka akan menyerah dan menyerahkan senjata.

Pukul 05.30 WIB, Abu Umar meminta bertemu untuk membahas teknis penyerahan senjata. Pukul 06.45 WIB, para tahanan meninggalkan penjara dan menyerah. Sebanyak 26 pucuk senjata dan 300 pak amunisi diserahkan dengan cara ditinggalkan di dalam penjara.

Pertanyaan besar yang tersisa

Menangani ancaman ISIS butuh keahlian tersendiri secara mendalam. Tidak ada pemecahan masalah yang mudah atau hasil yang menggembirakan, tidak ada kalah atau menang. Sejumlah pertanyaan besar pun tersisa.

Apakah mereka yang terlibat dalam insiden tersebut akan menjadi ikon dan dipuja-puja sebagai pahlawan di kalangan para teroris dan ekstremis?

Kehormatan di dalam lingkungan ISIS diukur dari lamanya seorang pemimpin atau anggota berada dalam tahanan dan jumlah pertempuran yang mereka hadapi. Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah pengkultusan di kalangan teroris ini dan apakah mereka akan memimpin gelombang baru kekerasan terorisme?

Para petugas Densus 88 telah berkorban banyak bagi Indonesia dengan bertempur melawan tokoh-tokoh teroris terkeji yang pernah ada. Haruskah sebaiknya para penyidik yang bekerja di rutan-rutan dimana para napi teroris ditahan diberi perlindungan ekstra, dipersenjatai lebih lengkap dan dilatih untuk melawan?

Tak seperti kelompok teroris lainnya, ISIS mampu menguasai keahlian menjebol penjara. Keahlian ISIS ini meningkat sejak 2003. Haruskan protokol dan prosedur manajemen penjara kembali ditinjau? Haruskah lingkungan di luar penjara yang menampung napi teroris diawasi oleh militer?

Para pemimpin tertinggi ISIS seperti Abu Bakr al-Baghdadi dan Aman Abdurrahman adalah residivis. Bagaimana penjara-penjara yang menampung para tokoh utama teroris sebaiknya diamankan dan dikelola? Mengingat para napi di rutan Kelapa Dua memiliki telepon genggam, haruskah ada langkah-langkah terobosan dengan cara pemeriksaan ketat bagi para pengunjung dan petugas yang memasuki lingkungan rutan?

Saat ini, upaya umum terbaik adalah untuk menerapkan sejumlah upaya rehabilitasi setelah seorang terdakwa teroris dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Bukankah seharusnya pemerintah menerapkan langkah rehabilitasi tersebut dimulai dari saat penangkapan dan penyelidikan, dan bukan menunggu hasil sidang?

Lebih lanjut, proses rehabilitasi sendiri sifatnya sukarela dan bukan kewajiban. Jika para tahanan teroris tidak direhabilitasi, mereka berpotensi sebagai ancaman, menularkan ide-ide mereka kepada yang lain dan dipuja-puja sebagai pahlawan. Banyak anggota ISIS yang dibebaskan kembali membuat ulah dan kembali ditangkap. Mengingat ancaman yang mampu dilakukan para residivis teroris, bukankah seharusnya rehabilitasi diwajibkan dan pembebasan terdakwa tergantung pada situasi yang ada?

Kesimpulan

Aksi penyanderaan ini dipastikan akan menjadi bahan pembelajaran para ahli di seluruh dunia kedepannya, termasuk bagaimana Indonesia menghadapi drama ini dan kegagalan aparat mengendus potensi ancaman serangan di Surabaya dan Riau. Drama penyanderaan tersebut dan serangan-serangan yang terjadi setelahnya hanya akan diketahui oleh aparat yang terlibat dalam pengamanan, sementara implikasinya akan dirasakan oleh Indonesia dan wilayah di sekitarnya.

Bukti tersebut menunjukkan bahwa ISIS telah mencengkeram kawasan Asia Tenggara.

Gelombang baru ekstremisme dan terorisme di kawasan ini membutuhkan kerjasam intelijen yang lebih kuat antara aparat penegak hukum, milter dan badan-badan keamanan nasional. Di tingkat nasional, bilateral dan regional, ada beragam kerjasama yang sudah disepakati.

Namun mengingat berkembang pesatnya ancaman dan ekspansi ISIS di kawasan ini, pemerintah negara-negara di Asia Tenggara diimbau untuk mempertimbangkan kembali sistem keamanan mereka yang sudah ada. Penyanderaan Marawi yang terjadi pada bulan Mei hingga Oktober 2017, sejumlah serangan di Indonesia di bulan Mei 2018, dan ancaman adanya serangan-serangan serupa baik yang terinspirasi oleh ISIS maupun dari ISIS sendiri membutuhkan kerjasama yang lebih erat di dalam pemerintahan tiap negara dan antarnegara.

Rohan Gunaratna adalah profesor di Bidang Ilmu Keamanan di Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam di Universitas Teknologi Nanyang dan Kepala Pusat Internasional Penelitian Kekerasan Politik dan Terorisme di Singapura. Opini sepenuhnya milik penulis dan bukan BeritaBenar.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.