Di Masa Kepemimpinan Kedua, Jokowi akan Tetap Tangguh Lawan Terorisme
2019.04.19

Ada banyak hal yang harus dirayakan pasca Pemilu Indonesia 17 April lalu.
Sebanyak 80 persen lebih dari sekitar 190 juta pemilih ikut berpartisipasi, tidak hanya untuk memilih presiden tapi juga 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan 20.000 anggota legislatif di tingkat propinsi, dan kabupatem/kota. Kekhawatiran akan banyaknya Golput tidak menjadi kenyataan.
Sebanyak 810.000 tempat pemungutan suara (TPS) disiapkan KOmisi Pemilihan Umum (KPU) di negara dengan sekitar 17.000 pulau itu. Walaupun terdapat kekurangan disana-sini, Pemilu ini berjalan dengan cukup baik, sangat berbeda dengan di negara tetangganya, Thailand, dimana komisi penyelenggara pemilu negara Gajah Putih itu tidak kompeten dan penuh keberpihakan dalam pemungutan suara di sana pada Maret 2019.
Meskipun kubu oposisi, Prabowo Subianto mengklaim kemenangan, hasil hitung cepat semua lembaga survei kredibel menunjukkan kubu petahana Presiden Joko “Jokowi” Widodo unggul antara 54 – 56 persen suara. Jumlah tersebut kurang dari 60 persen dari apa yang ditargetkan, baik untuk menyamai apa yang telah dicapai pendahulunya dan untuk memberikan mandat terhadap kebijakan-kebijakan yang diagendakannya, namun Jokowi menang dengan margin yang cukup sehingga legitimasinya tidak diragukan.Kebijakan-kebijakan dan pengesahan undang-undang kemungkinan akan lebih sulit karena jumlah kursi koalisi Jokowi di parlemen mengecil, dari 61,25 persen menjadi 53,94 persen kursi di DPR.
Namun apakah arti terpilihnya kembali Jokowi bagi keamanan Indonesia?
Dalam jangka waktu dekat, Prabowo akan tetap menolak untuk menerima hasil Pemilu, dan telah menginstruksikan para pendukungnya untuk mengatur barisan dalam memberikan tekanan pada pemerintah. Prabowo melakukan hal yang sama pada tahun 2014, tetapi tidak mampu untuk mempertahankan demonstrasi massa. Dia menerima keputusan Mahkamah Agung yang menolak bandingnya, hal yang mungkin akan terjadi lagi pada bulan Mei setelah adanya pengumuman resmi hasil Pemilu dari KPU.
Pasangan Prabowo, Sandiaga Uno yang jelas mengincar kembali posisi pada tahun 2024, tidak hanya tidak mendukung klaim Prabowo tentang kecurangan dalam pemilihan umum, tetapi juga tampak sangat tidak nyaman dengan Prabowo yang menyuruh pendukungnya untuk menentang hasil Pemilu 2019.
Terorisme
Dalam jangka menengah, pemilu 2019 akan memiliki dampak beragam pada keamanan Indonesia.
Terkait kontra-terorisme, Jokowi telah meningkatkan kekuatan pasukan elit anti-terorisme, Densus-88, yang akan ditugaskan di 34 provinsi. Pada saat yang sama, undang-undang kontra-terorisme yang disahkan setelah pemboman Surabaya pada Mei 2018 memberikan kekuatan lebih pada aparat keamanan untuk melawan militan Islam. Undang-undang tersebut juga memberi militer peran formal dalam melawan terorisme, yang telah diterapkan di Sulawesi Tengah, ketika para militan mencoba untuk menghidupkan kelompok mereka kembali di sekitar Poso. Terpilihnya kembali Jokowi berarti kesinambungan dalam kebijakan dan personel penanggulangna terorisme.
Meskipun demikian, pemboman bunuh diri baru-baru ini yang dilakukan oleh seorang wanita dan anaknya setelah penangkapan suaminya, menunjukkan bahwa Jamaah Ansharut Daulah (JAD) tetap merupakan kelompok militan yang mengakar kuat. Pihak berwenang menemukan 300 kilogram bom atau bahan-bahan peledak yang menunjukkan bahwa JAD siap untuk melakukan gelombang serangan baru.
Selain itu, Indonesia masih berjuang dengan apa yang harus dilakukan terhadap warga Indonesia yang akan kembali setelah kalahnya kelompok Negara Islam (ISIS) di Suriah dan Irak.
Intoleransi
Sementara perburuan untuk militan pro-ISIS akan terus berlanjut, yang harus diperhatikan juga adalah berkembangnya intoleransi di masyarakat yang menciptakan suburnya militansi.
Sementara partai Nahdlatul Ulama yang moderat, PKB, dengan perolehan suara 9,25 persen - memenangkan suara terbanyak di antara partai berbasis agama lainnya, PKS yang pro –Ikhwanul Muslimin memperoleh 8,68 persen, perolehan yang lebih besar dari tahun 2014. Partai Islam lainnya, termasuk PPP (4,62 persen), PAN (6,67 persen), dan Bulan Bintang (0,67 persen) berpotensi menentang inisiatif pemerintah atau menjadi hambatan dalam menggolkan kebijakan publik. Di satu sisi, partai-partai ini, dibedakan oleh ego dan beberapa ideologi, tidak selalu bisa bekerja sama dengan baik pada masa lalu. Di sisi lain, ketika ada bagian penting dari kebijakan publik yang pro-Islam yang mereka inginkan, mereka bisa bekerja sama cukup efektif. Dan ini bisa mengarah pada lebih banyak diterbitkannya undang-undang yang mengancam masyarakat sekuler dan agama minoritas.
Sebuah survei baru-baru ini oleh akademisi Marcus Mietzner dan Burhanuddin Muhtadi menunjukkan meningkatnya intoleransi di Indonesia. Saat ini, 54,6 persen Muslim Indonesia tidak mau diperintah oleh non-Muslim; dan 60 persen pada tingkat presiden. Ini adalah peningkatan 12 persen sejak peristiwa intoleransi gerakan anti-Ahok pada akhir 2016.
Bahkan pemilihan Jokowi atas Ma'ruf Amin sebagai calon wakilnya, merupakan indikasi akan hal ini. Amin, sebagai kepala MUI, mengeluarkan fatwa yang sangat tidak toleran terhadap komunitas LGBTQ dan agama minoritas. Diskriminasi terhadap non-Muslim, dan sekte Muslim minoritas tidak akan mereda, bahkan di bawah pemerintahan Jokowi periode keduanya ini, ketika ia mungkin tidak lagi harus memuaskan keinginan kelompok Islam ini.
Keengganan Jokowi untuk membela Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, mantan gubernur DKI Jakarta yang beragama Kristen dan keturunan Tionghoa yang didakwa melakukan penistaan agama, dan kemudian ditumbangkan oleh demonstrasi kelompok Islam yang menyebut diri mereka Gerakan 212- telah mencoreng tradisi Bhinneka Tunggal Ika, Persatuan dalam Keberagaman.
Kesenjangan wilayah
Pemilu juga menunjukkan adanya kesenjangan wilayah yang jelas. Sementara Bali dan daerah-daerah yang lebih sekuler atau lebih beragam memberikan suara sangat besar untuk Jokowi, daerah-daerah yang lebih konservatif dan Islamis seperti Sulawesi Selatan, Banten, Jambi, Riau, Sumatra Barat, dan Jawa Barat memberikan suara mereka untuk Prabowo.
Wilayah-wilayah ini telah menjadi pusat rekrutmen militansi Islam, baik Jemaah Islamiyah atau pengelompokan bagi mereka yang setuju dibangunnya khilafah. Jika penduduk di daerah-daerah ini merasa bahwa suara mereka dalam Pemilu telah dicuri - seperti yang diklaim Prabowo – maka rekrutmen untuk kelompok-kelompok militan maupun tekanan pada pemerintah untuk tidak menindak mereka akan membesar.
Kenyataan yang menunjukkan Jokowi tangguh terhadap terorisme dalam masa jabatan pertamanya, umumnya karena ia melihat terorisme sebagai ancaman terhadap pembangunan ekonomi, yang selalu menjadi prioritasnya. Ini tidak akan berubah dalam masa jabatan keduanya. Prioritasnya tetap pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Selama ini ia telah tidak mau melawan kelompok Islam yang membentuk konteks politik dan sosial Indonesia.
Pemilu ini, apakah itu Prabowo yang berusaha menarik kelompok Islam dan para pendukung Gerakan 212, atau Jokowi yang memilih seorang kyai konservatif di belakang fatwa yang sangat anti pluralisme, mempertegas bahwa Islam konservatif adalah pemenang dalam Pemilu ini, yang membentuk narasi dan parameter dalam penentuan kebijakan publik.
Zachary Abuza adalah profesor di National War College di Washington dan penulis buku “Forging Peace in Southeast Asia: Insurgencies, Peace Processes, and Reconciliation.” Opini yang diungkapkannya di sini adalah pandangan pribadinya dan tidak mencerminkan posisi dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, National War College, atau BeritaBenar.