Dalam Dua Pekan, 51 Tewas Akibat Serangkaian Aksi Teror
2018.05.23
Jakarta

Sedikitnya 51 orang terdiri dari 31 terduga teroris, tujuh polisi, dan 13 warga sipil tewas serta puluhan lainnya mengalami luka-luka akibat serangkaian aksi teror yang melanda Indonesia dalam dua pekan terakhir.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan rangkaian teror yang dimulai dengan kerusuhan di Mako Brimob Depok, bom bunuh diri di Surabaya, peledakan bom di Sidoarjo, dan penyerangan markas polisi di Pakanbaru, saling terhubung.
"Ini dilakukan kelompok Jamaah Ansarut Daulah (JAD) yang memiliki afiliasi dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) di Suriah," jelasnya kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 22 Mei 2018.
Ia mengatakan dalam kurun waktu 13 hingga 21 Mei, polisi menangkap 60 terduga teroris, dan menembak mati 14 orang terduga teroris lainnya karena melawan petugas saat hendak ditangkap.
Data Divisi Hubungan Masyarakat (Divhumas) Polri menyebutkan bahwa dari operasi yang dilakukan di beberapa tempat di Jawa Timur, polisi menembak mati empat terduga teroris dan menangkap 27 orang lainnya.
Di Banten dan DKI Jakarta, polisi menciduk 14 orang, dan menembak mati dua terduga teroris.
Di Jawa Barat, empat orang tewas dan empat lainnya ditangkap.
Polisi juga menangkap empat orang di Sumatera Selatan.
Di Riau, polisi menangkap lima orang, dan menembak mati empat terduga saat mereka menyerang Mapolda setempat, 16 Mei lalu. Dalam insiden tersebut, seorang polisi tewas.
Sedangkan di Sumatera Utara, menurut Polri, enam terduga teroris ditangkap. Tetapi, sumber lain menyebutkan, terdapat satu terduga teroris ditembak mati.
"Ada barang bukti disita baik bom siap pakai maupun materi bahan peledak lainnya dan kemudian baterai, switch dan lain-lain," kata Tito.
Tetapi sebanyak 10 pelaku aksi bom bunuh diri di Surabaya pada Minggu dan Senin, 13 dan 14 Mei, serta tiga pelaku peledakan bom di sebuah rumah susun di Sidoarjo tidak termasuk dalam data Polri tersebut.
Sedangkan, 13 sipil yang tewas adalah korban serangan bom bunuh diri yang dilakukan enam orang berasal dari satu keluarga terhadap tiga gereja di Surabaya.
Korban sipil bertambah satu orang setelah Satpam yang menghadang mobil pelaku bom bunuh diri di depan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya menghembus nafas terakhir pada Jumat pekan lalu.
Data Polri itu juga tidak memasukkan hasil operasi penangkapan yang dilakukan setelah insiden kerusuhan di Mako Brimob yang menewaskan lima polisi dan seorang narapidana terorisme.
Menurut catatan BeritaBenar, usai insiden Mako Brimob berakhir yang ditandai dengan menyerahnya 155 narapidana, polisi menembak mati dua terduga teroris di dua lokasi terpisah di Jawa Barat dan seorang polisi tewas ditikam.
Polisi juga menangkap tiga terduga teroris – termasuk dua perempuan berusia 18 dan 21 tahun yang diciduk di sekitar Mako Brimob pada 12 Mei 2018 karena diduga hendak melakukan penusukan terhadap polisi.
Penyelidikan
Setelah berakhirnya kerusuhan di Mako Brimob, 10 Mei lalu, 145 narapidana dan tahanan terorisme dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Namun 10 hari kemudian, sebanyak 56 dari mereka dipindahkan lagi ke Rutan Gunung Sindur di Bogor, Jawa Barat.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Ham, Sri Puguh Budi Utami mengatakan pemindahan mereka untuk memudahkan persidangan yang sedang berjalan.
"Tidak semua ditempatkan di Gunung Sindur. Lima puluh enam di Gunung Sindur dan dua tahanan wanita dititipkan di Polres Jakarta Utara," katanya kepada BeritaBenar.
Alasan mereka tidak langsung dibawa di Rutan Gunung Sindur usai kerusuhan di Mako Brimob, katanya, karena situasi kacau seperti saat itu yang paling dinilai siap adalah di Nusakambangan.
Berdasarkan data Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), jelas Sri, ke-56 tahanan tersebut harus menjalani jadwal persidangan.
"Soal keterkaitan dalam kasus Mako Brimob belum tahu, perlu pendalaman, tergantung penyidikan," katanya.
Kadiv. Humas Mabes Polri, Irjen. Pol. Setyo Wasisto mengatakan bahwa penyidik Densus 88 masih melakukan penyelidikan secara intensif atas kasus kerusuhan Mako Brimob.
"Belum. Masih penyidikan. Mereka statusnya dalam proses persidangan. Mereka berada dalam sel untuk kasus sebelum rutan Mako Brimob," katanya.
Lapas maximum security
Tito mengusulkan penambahan Lapas dengan maximum security untuk menempatkan para tahanan dengan resiko tinggi seperti mereka yang terkait terorisme atau narkoba.
"Ini diperlukan karena nantinya kalau ada penegakan hukum akan berujung pada Lapas maximum security dan treatmennya tidak sama dengan napi lain kalau tidak napi lain akan terpengaruh," ujarnya.
Menanggapi hal itu, pakar intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta mengatakan pemindahan diperlukan karena kebanyakan narapidana terorisme masih berbahaya.
"Tidak masalah lokasinya tapi bagaimana supaya narapidana lain tidak terkontaminasi oleh mereka atau melakukan aksi seperti di Mako Brimob,” katanya.
“Tempat yang tepat untuk mereka memang ditempatkan di Lapas yang sistemnya one man one cell, dan maximum security."
Tapi, peneliti Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), Adhe Bhakti menilai hal itu tidak diperlukan.