ASEAN Literary Festival Ikut Bahas Isu Penistaan Agama
2017.08.02
Jakarta

ASEAN Literary Festival kembali digelar. Acara yang dihelat di kawasan bersejarah Kota Tua, Jakarta Barat, pada 3-9 Agustus 2017 itu, bertepatan dengan perayaan 50 tahun Persatuan Negara-Negara Asia Tenggara ke-50, mengusung tema besar “Beyond Imagination”.
Tema dalam Festival Sastra ASEAN keempat itu menekankan pada kebebasan berekspresi dengan mengangkat sejumlah isu yang berpengaruh dalam masyakat di Asia Tenggara.
“Tentang blasphemy law, radikalisme, hoax, teknologi. Bagaimana penulis menggunakan tulisannya untuk mengunggah, untuk mengkritik sesuatu. Pertanyaan blasphemy law belum pernah kita singgung sebelumnya, seperti yang terjadi terhadap Ahok,” ungkap pendiri ASEAN Literary Festival, Okky Madasari, kepada BeritaBenar, Rabu, 2 Agustus 2017.
Kasus yang menjerat Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama bermula dari pidato mantan Gubernur Jakarta itu menyitir surat Al-Maidah ayat 51 ketika berkunjung di Kepulauan Seribu, September 2016, yang lantas berkembang menjadi kasus penistaan agama. Pada akhir tahun 2016 hingga awal 2017, ribuan Muslim berdemonstrasi di Jakarta dan daerah-daerah lain di Indonesia untuk menuntut diadilinya Ahok.
Ahok akhirnya divonis dua tahun penjara karena menurut hakim terbukti menistakan agama, keputusan yang menuai pro dan kontra, dan banyak dinilai berbagai kalangan sebagai bukti semakin kuatnya Islam konservatif di Indonesia.
Festival tahun lalu hampir batal karena ada penolakan dari sejumlah pihak yang tidak setuju pembahasan terkait LGBT dan peristiwa ’65. Acara pun berlangsung di bawah pengawasan ketat kepolisian.
“Kita juga siap dengan kemungkinan akan terjadi tahun ini, karena ada diskusi blasphemy law. Kita siap jika ada yang mau demo. Cuma kita berharap polisi adil, polisi bisa melindungi hak kita. Jangan seperti tahun lalu, polisinya ikut takut,” kata Okky yang juga seorang novelis.
Selain diskusi, katanya, acara yang dihadiri peserta dari 10 negara ASEAN serta sejumlah negara Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Asia ini juga diisi kegiatan seperti panggung sastra, bazar, talkshow, dan workshop yang menghadirkan pembicara dari sejumlah negara.
Semangat baru
Feby Indirani, salah satu penulis yang akan menjadi pembicara dalam kegiatan tersebut mengatakan melalui tema tahun ini, festival ini bisa membawa semangat baru dalam dunia sastra.
“Imajinasi adalah salah satu hal terpenting untuk membuat kita bertumbuh dan mencapai apapun. Tanpa imajinasi, niscaya karya sastra yang lahir tidak akan segar dan memiliki nilai gugah untuk pembaca,” ujarnya penulis yang baru saja merilis kumpulan cerita berjudul “Bukan Perawan Maria” kepada BeritaBenar.
Feby berharap acara kali ini membawa publik satu langkah lagi lebih dekat pada sastra yang bermutu tinggi baik di Indonesia maupun ASEAN.
Karya terbaru Feby terdiri dari 19 cerita, adalah kisah bersumber pada pengalaman sehari-hari Islam sebagai tradisi dan agama di Indonesia, yang rata-rata dikemas secara surealistik, dengan sejumlah premis yang cenderung fantastis.
“Ada seekor babi betina yang ingin masuk Islam, ada seorang perempuan yang kehilangan hidungnya tapi merasa terselamatkan karena ia memakai niqab dalam kesehariannya. Ada seorang pemuda yang cukup percaya diri ketika memasuki alam kubur karena yakin mampu menjawab semua pertanyaan malaikat dengan bahasa Arab yang sudah dikuasainya, ada malaikat yang lelah dan ingin cuti, ada iblis yang mau pensiun dini karena merasa tak lagi punya tantangan dalam pekerjaannya. Dan masih banyak lagi,” papar Feby.
Jemput bola
Penikmat sastra yang juga jurnalis, Abdul Qowi Bastian, menilai acara tahun ini lebih masif dibanding tahun lalu, karena lebih banyak tema, diskusi dan seminar yang dibahas, serta pembicaranya.
Dengan dipilihnya Kota Tua, salah satu pusat sejarah dan wisata di Jakarta, Qowi menilai panitia semakin gencar mempromosikan sastra kepada masyarakat luas.
“Akan banyak pengunjung di sana walaupun tidak tertarik dengan sastra. Istilahnya panitia menjemput bola ke publik. Sastra yang selama ini sedikit terkesan ekslusif, kini membuka mata mereka yang secara tidak sengaja di lokasi,” ujar Qowi.
Terkait perkembangan sastra Indonesia saat ini, Qowi menilai semakin banyak penulis muda yang produktif.
“Cuma masalahnya adalah bagaimana mereka bisa merangkul pembaca-pembaca baru yang tidak tertarik. Bahwa mereka aktif bukan hanya menulis buku, tapi dengan kegiatan sosial, merangkul orang yang tidak berminat dalam menulis buku dari kegiatan lain,” paparnya.
Qowi juga menilai penulis-penulis saat ini juga sudah mulai berani masuk ke ranah lebih serius, seperti sosial dan politik.
“Itu mampu membuka mata anak-anak muda yang sebelumnya benar-benar buta politik,” ujarnya.
Untuk tantangan ke depannya, festival ini diharapkan terus mengangkat isu-isu yang dekat dengan publik.
“Salah satu yang menjadi passion-nya adalah kaum termarjinalkan seperti Ahmadiyah atau transgender. Itu jarang dibahas. (Okky) memberikan suara bagi mereka dan banyak juga isu lain, seperti itu seperti 1965, perempuan, dan agama,” pungkas Qowi.