Cegah banjir, pemerintah berencana bangun tanggul di pantura

Aktivis pertanyakan Prabowo yang dinilai tiba-tiba peduli pesisir dengan keterlibatannya soal "giant sea wall".
Tria Dianti dan Arie Firdaus
2024.01.10
Jakarta
Cegah banjir, pemerintah berencana bangun tanggul di pantura Sebuah keluarga mengungsi dari rumahnya menggunakan ban sebagai pelampung setelah kediaman mereka kebanjiran akibat hujan lebat di Jakarta, 1 Januari 2020.
Bay Ismoyo/AFP

Pemerintah berencana meneruskan pembangunan tanggul laut raksasa di sepanjang pantai utara Jawa untuk mencegah wilayah pesisir tenggelam akibat banjir rob, kata dua menteri pada Rabu (10/1).

Wilayah pesisir Jawa yang merupakan tempat tinggal bagi lebih dari 50 juta penduduk telah mengalami penurunan tanah hingga 25 centimeter per tahun karena eksploitasi pemanfaatan air tanah yang berlebihan dan pembangunan perkotaan, kata Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.

Hal tersebut menjadikan wilayah ini lebih rentan terhadap banjir rob, intrusi air asin dan kekurangan air, terutama di wilayah pesisir.

Giant sea wall (tembok laut raksasa) ini sangat diperlukan karena untuk mencegah penurunan permukaan tanah. Kita akan segera lanjuti dan karena sudah masuk program strategis nasional maka langkah berikutnya adalah mewujudkan pembangunan giant sea wall,” kata Airlangga dalam sebuah seminar terkait hal tersebut di Jakarta.  

Menurut dia, penurunan permukaan air tanah di pantai utara (pantura) Jawa adalah antara 1-25 centimeter per tahun sementara kenaikan permukaan air laut 1-15 centimeter per tahun yang menyebabkan banjir rob sekitar 5-200 centimeter.

“Dipastikan wilayah utara seperti Jakarta, Pekalongan dan Semarang banjir,” kata dia.

Ia memperkirakan estimasi kerugian akibat banjir rob tiap tahunnya mencapai Rp2,1 triliun per tahun atau Rp10 triliun per tahunnya dalam satu dekade ke depan jika tidak ditanggulangi.

Untuk Jakarta dan sekitarnya, proyek ini diperkirakan menelan biaya Rp164,1 triliun dan akan dilaksanakan dalam tiga tahap: membangun tanggul pesisir dan sungai sepanjang 120 km  pada tahun 2030, membangun tanggul laut adaptif di sisi barat dan timur Jakarta pada tahun 2040, dan menutup tanggul laut dengan waduk pada 2050.

Sementara itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga hadir dalam kesempatan itu memperkirakan proyek ini secara keseluruhan akan menghabiskan biaya sekitar $50-60 miliar atau setara Rp930 triliun dengan waktu penyelesaian pembangunan sekitar 40 tahun ke depan.

“Misal dibangun 3-4 tahun ke depan, kita nggak akan melihat giant sea wall selesai dibangun. Berhasil terwujud sekitar 25, 30 hingga 40 tahun yang akan datang,” kata Prabowo.

Oleh karenanya, ujar dia, pihaknya sepakat membentuk task force untuk mempercepat kajian pembangunan ini.

“Proyek ini harus segera dimulai untuk mengatasi masalah geologi yang ada mulai dari penurunan permukaan tanah, arus yang kuat dari utara hingga naiknya permukaan laut di pesisir utara,” katanya.

Wacana pembangunan tanggul raksasa sejatinya berawal dari 2010 dengan membentuk pulau-pulau kecil atau yang dikenal reklamasi Jakarta yang menjadi cikal bakal tanggul laut raksasa di wilayah pesisir Jakarta.

Di tengah pelaksanaannya, proyek ini mendapatkan sejumlah penolakan, utamanya dari Anies Baswedan yang kala itu sedang berkampanye menjadi Gubernur DKI Jakarta. Anies ketika itu menyebut Ibu Kota tidak membutuhkan tanggul laut tapi tanggul pantai.

Setelah ia menjabat, Anies akhirnya meminta pemerintah pusat untuk mengkaji ulang proyek tanggul raksasa. Saat ini, tanggul pantai di pesisir Jakarta baru terbangun 13 kilometer dari total rencana 46 kilometer yang saat ini menjadi bagian awal dalam program yang disebut National Capital Integrated Coastal Development.

Seorang anak berjalan di atas tanggul laut raksasa yang dibangun untuk melindungi ibu kota dari banjir di tengah naiknya permukaan air laut di Jakarta, 12 Juli 2019. [Bay Ismoyo/AFP]
Seorang anak berjalan di atas tanggul laut raksasa yang dibangun untuk melindungi ibu kota dari banjir di tengah naiknya permukaan air laut di Jakarta, 12 Juli 2019. [Bay Ismoyo/AFP]

Telah berlangsung lama

Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dwi Sarah mengatakan penurunan level air tanah di Jakarta telah berlangsung sejak 1975. Sementara penurunan level air tanah di Semarang berlangsung sejak 1980, dan di Pekalongan sejak 1985.

“Angka penurunannya berkisar antara 5- 25 centimeter. Bahkan sudah ada amblesan di kota Jakarta Bekasi, Cirebon dan Sidoarjo,” kata dia.

Berdasarkan data, tahun 2007-2009 tercatat sudah terjadi amblesan di Jakarta 5-15 centimeter. Sedangkan di kabupaten Bekasi dan Bekasi dan sekitarnya, sudah ada amblesan dengan laju 2-3 centimeter per tahun.

“Bisa dibayangkan pastinya banjir rob terus masyarakat yang di pesisir itu setiap hari,” ujarnya.

Menurut dia, kondisi permukaan pantura Jawa tersusun oleh alluvial muda yang belum terkompaksi sehingga rentan terhadap amblesan tanah secara alamiah. Ini menyebabkan laju amblesan di Pantura Jawa cukup tinggi berkisar 1-10 centimeter per tahun.

“Strategi mitigasi jangka panjang yang diterapkan di kota besar yang mengalami amblesan tanah dengan laju tinggi seperti Shanghai, Tokyo, Bangkok berhasil menghentikan laju amblesan tanah. Mitigasi yang dilakukan di pantura Jawa perlu ditingkatkan lagi berkesinambungan dan sinergis,” kata Sarah.

Sementara itu, Insinyur pembuatan tanggul dari PT. Witteveen Bos Indonesia dari Belanda, Victor J Coenen mengatakan meskipun tanggul laut ini bisa mencegah suatu kota tenggelam, diakuinya ada beberapa dampak negatif dari pembangunan antara lain bisa mematikan kehidupan komunitas masyarakat pesisir.

“Selain itu air laut juga menjadi kotor karena tertahan oleh tanggul di bagian lagoon dan harus dibersihkan secara berkala, meskipun tentunya akan bisa menahan hantaman ombak. Ini hanya salah satu cara saja (mencegah tenggelam),” kata dia.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (tengah) berbicara ke awak media didampingi Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri), Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (kedua dari kanan) dan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono (kanan) usai acara seminar terkait pembangunan  tanggul laut raksasa, di Jakarta, 10 Januari 2024. [Tria Dianti/BenarNews]
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (tengah) berbicara ke awak media didampingi Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri), Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (kedua dari kanan) dan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono (kanan) usai acara seminar terkait pembangunan tanggul laut raksasa, di Jakarta, 10 Januari 2024. [Tria Dianti/BenarNews]

Dipertanyakan

Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, mempertanyakan motif pembahasan ulang pembangunan dan pelibatan Prabowo dalam pembahasan proyek great sea wall itu.

Sepanjang lima tahun menjabat menteri pertahanan, Elisa menilai Prabowo tidak memiliki rekam jejak kepedulian terhadap wilayah pesisir utara Jawa yang tenggelam, baik di Jakarta maupun Semarang.

“Mengapa baru sekarang? Kenapa ujug-ujug peduli pesisir? Seperti ada udang di balik batu,” kata Elisa kepada BenarNews.

Ia pun melihat Prabowo tidak memahami akar masalah wilayah pesisir utara Jawa dapat tenggelam kala menyebut pembangunan giant sea wall untuk mengatasi fenomena kenaikan permukaan laut dan abrasi.

“Belagak mau ikut campur soal ketahanan iklim, tapi tidak mampu memahami akar masalah. Perubahan iklim bukan penyebab utama. Yang utama adalah land subsidence, sementara ia (Prabowo) sama sekali tidak bicara bagaimana hentikan subsidence,” ujar Elisa.

Koalisi organisasi lingkungan hidup dan sosial, Maleh Dadi Segoro, menolak rencana membuat tanggul pantura.

“Kami menilai bahwa pemerintah kembali gagal memahami akar masalah dari penyebab mengapa ada bagian pantura Jawa yang tenggelam,” kata koalisi dalam pernyataan tertulis.

Koalisi mengatakan tanggul laut akan mempersempit dan menutup ruang tangkap nelayan serta mematikan mangrove dan ekosistem pesisir. 

Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menambahkan penyebab utama wilayah pesisir utara Jawa tenggelam adalah penyedotan air tanah secara tidak terkendali karena keterbatasan pasokan sistem penyediaan air bersih bagi warga dan kebutuhan air yang tinggi untuk gedung-gedung serta industri.

Perihal lain adalah beban kendaraan berat dan truk logistik yang lalu lalang yang menambah beban dan mempercepat pemadatan tanah aluvial yang ada di pesisir utara.

“Mengapa tidak memilih atau memadukan pendekatan yang lebih ramah lingkungan seperti restorasi kawasan pesisir pantura Jakarta dan reforestasi mangrove sebagai benteng alami meredam banjir rob, tsunami, dan ancaman tenggelam yang berbiaya lebih murah dan mudah?” kata Nirwono kepada BenarNews.

“Pembangunan giant sea wall harus dikaji ulang terkait pendanaannya dan efektivitas.” kata dia.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.