Kemenhub Longgarkan Aturan Penerbangan

Rekor kasus harian COVID-19 tembus 1000 orang hari ini, kasus tertinggi tetap di Jakarta.
Arie Firdaus
2020.06.09
Jakarta
200609_ID_Transition_1000.jpg Seorang anggota TNI berjaga di Stasiun MRT Bundaran HI, Jakarta, 5 Juni 2020, hari pertama dilonggarkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah masih mewabahnya penyebaran COVID-19.
Afriadi Hikmal/BenarNews

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melonggarkan aturan bepergian bagi masyarakat yang akan menggunakan pesawat terbang komersil, di tengah laporan kasus positif harian tertinggi COVID-19 di Indonesia pada Selasa (9/6).

Kementerian mengizinkan moda tersebut membawa penumpang hingga 70 persen dari kapasitas angkut --sebelumnya hanya 50 persen, serta mencabut kewajiban menunjukkan hasil tes Polymerase Chain Reaction (PCR) bagi seluruh calon penumpang.

Calon penumpang penerbangan domestik kini cukup menunjukkan hasil tes cepat (rapid test) atau surat keterangan bebas influenza dari dokter rumah sakit atau Puskesmas setempat jika tidak memiliki fasilitas tes PCR di wilayahnya.

"Kami mengharapkan masyarakat tetap produktif, namun tetap aman," kata Menteri Perhubungan Budi Karya dalam konferensi pers virtual, seraya menambahkan bahwa kebijakan ini telah didiskusikan dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan Kementerian Kesehatan.

Budi meminta masyarakat tetap menerapkan protokol kesehatan kala bepergian seperti menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan kala bepergian nanti, meski aturan telah dilonggarkan.

"Pengendalian transportasi yang dilakukan tetap menitikberatkan pada aspek kesehatan," lanjut Menteri Budi.

Mayoritas maskapai Indonesia berhenti beroperasi sejak pertengahan Mei. Hanya maskapai pelat merah Garuda Indonesia yang tetap terbang, kecuali ke daerah yang dikategorikan zona merah penyebaran virus.

Sementara maskapai Lion Air baru akan kembali beroperasi pada Rabu (10/6).

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra berharap kebijakan ini dapat meningkatkan jumlah penumpang yang telah berkurang signifikan sejak wabah menyebar di tanah air sejak Maret.

"Dengan adanya aturan tersebut dapat meningkatkan sentimen masyarakat untuk terbang, karena naik pesawat adalah urusan perasaan," kata Irfan, dilansir laman Kontan.

Ahli epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono menaggapi negatif kebijakan ini dengan mengatakan bahwa pemerintah semestinya memprioritaskan keamanan dan kesehatan masyarakat terlebih dahulu sebelum berbicara soal produktivitas.

"Menurut saya itu keliru. Semestinya aman dulu, baru produktif. Pelonggaran begini justru berpotensi meningkatkan kasus COVID-19 karena potensi interaksi antarmanusia meningkat," kata Pandu.

Kasus harian tertinggi

Dalam data yang dilansir Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto, Indonesia mencatat kasus positif harian tertinggi pada hari ini yakni sebanyak 1.034 kasus, sejak pertama kali diumumkan pada 2 Maret lalu.

Penambahan kasus positif harian tertinggi sebelumnya terjadi pada 6 Juni yakni 993 kasus, disusul 23 Mei sebanyak 949 kasus, dan 21 Mei sejumlah 973 kasus.

"Penyebaran (hari ini) tidak merata (seluruh provinsi). Terbanyak di DKI Jakarta yaitu sebanyak 232 kasus baru. Lalu Jawa Timur dengan 220 kasus baru, dan Sulawesi Selatan dengan 180 kasus baru," kata Yurianto.

Dengan penambahan ini, total kasus positif di Indonesia kini berjumlah 33.076.

Adapun tujuh provinsi, terang Yurianto, tidak mendapati kasus baru COVID dalam 24 jam terakhir yaitu Aceh, Bengkulu, Jambi, Kepulauan Riau, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Korban meninggal pada hari ini dilaporkan pula bertambah 40 orang sehingga menjadi 1.923 jiwa.

Menyusul pandemi COVID-19 yang belum teratasi, World Bank dalam laporan 'Prospek Ekonomi Global' edisi Juni setebal lebih dari 150 halaman memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh di kisaran nol persen pada 2020 atau terburuk sejak krisis 1998.

Ramalan ini terjun bebas dibanding realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 (year on year) yang sebesar 5,02 persen.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini, disebut World Bank, terjadi akibat kebijakan karantina wilayah secara masif untuk mencegah penyebaran virus. Walhasil aktivitas ekonomi terkoreksi, mengubah pasar keuangan global secara drastis, dan membuat anjlok harga komoditas negara eksportir seperti Indonesia, Malaysia, Mongolia, Laos, Papua Nugini, dan Timor Leste.

Prediksi World Bank ini lebih buruk ketimbang ramalan International Monetary Fund (IMF) pada April 2020 yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,5 persen.

Termasuk perkiraan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Rabu (1/4) yang mengatakan skenario terburuk perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh 0,4 persen pada tahun ini.

Sementara untuk 2021, World Bank memprediksi ekonomi Indonesia dapat berbalik dan tumbuh ke level 4,8 persen.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.