Tolak Kasasi, MA Tambah Hukuman Aktivis Lingkungan
2018.11.20
Jakarta

Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan Hari Budiawan alias Budi Pego (38), seorang aktivis lingkungan asal Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur yang divonis bersalah meyebarkan ajaran Komunisme dalam aksi protes terhadap perusahaan tambang.
Majelis hakim MA bahkan menambah besaran hukuman terhadap Budi menjadi empat tahun, dari semula 10 bulan penjara yang dijatuhkan peradilan tingkat pertama dan kedua.
"Menolak permohonan kasasi terdakwa, memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur tanggal 16 Maret 2018 dan Pengadilan Negeri Banyuwangi tanggal 23 Januari 2018," demikian mengutip amar putusan Mahkamah Agung.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama empat tahun."
Tapi, hakim MA tak memerinci pertimbangan menolak kasasi dan menambah hukuman Budi Pego.
Juru bicara MA, Suhadi saat dikonfirmasi BeritaBenar beralasan bahwa segala keputusan merupakan buah pertimbangan masing-masing hakim.
"Itu independensi majelis hakim," ujarnya singkat.
Penolakan kasasi Budi Pego diputus Mahkamah Agung dalam sidang pada 16 Oktober 2018.
Tapi seperti dikatakan Hari Kurniawan selaku kuasa hukum Budi Pego, pemberitahuan baru sampai ke tangan Budi pada Jumat pekan lalu, 16 November 2018.
"Kami menyayangkan putusan itu," kata Hari ketika dihubungi BeritaBenar, Rabu, 19 November 2018.
Hari pun memastikan bahwa pihaknya akan menempuh langkah hukum lanjutan dalam waktu dekat.
"Rencana akan mengajukan PK (peninjauan kembali)," ujar Hari lagi.
"Tapi teknisnya, besok kami koordinasi dengan Budi Pego dan kawan-kawan."
Menolak tambang emas
Budi Pego sebelumnya diseret ke meja hijau setelah dinilai menyebarluaskan ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme -- paham yang dilarang di Indonesia -- lewat salah satu spanduk protes terhadap tambang emas yang beroperasi di kampung halamannya di Banyuwangi, Jawa Timur, pada April 2017.
Kepada BeritaBenar di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta pada Juli lalu, Budi menyangkal segala tudingan tersebut.
Menurutnya, dakwaan yang dialamatkan kepadanya adalah kekeliruan dan rekayasa.
Musababnya, ia tak pernah membuat spanduk protes berisi Komunisme, Leninisme, dan Marxisme -- seperti yang dituduhkan.
"Polisi dan anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) tahu semua spanduk kami, karena mereka mendampingi kami saat membuat dan menempelkan spanduk," terang Budi, ketika itu.
"Bahkan memotret setiap spanduk yang kami tulis. Sangat aneh."
Keganjilan semacam itu, lanjut Budi, hanya satu dari beberapa keanehan yang pernah didapatnya sepanjang perlawanan terhadap perusahaan tambang, PT Bumi Suksesindo (BSI).
Di lain waktu, setelah ditetapkan sebagai tersangka, ia meminta polisi menunjukkan spanduk yang berisi ujaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme itu kepada dirinya.
Namun alih-alih diperlihatkan, ia ditolak dengan alasan yang disebutnya sangat klise.
"Mereka bilang spanduk itu menjadi alat bukti yang sedang diburu. Saya dijerat hanya dengan foto yang menunjukkan spanduk yang tak pernah saya buat," tambahnya.
‘Ancaman HAM’
Aktivis dari YLBHI Asfinawati menyesalkan putusan hakim Mahkamah Agung yang malah memperberat hukuman Budi Pego.
"Ini ancaman nyata bagi perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia," katanya.
"Khususnya bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam perlindungan lingkungannya."
Menambah hukuman bagi masyarakat pengaju kasasi bukan kali ini saja dilakukan hakim Mahkamah Agung.
Beberapa waktu lalu, majelis hakim MA juga menambah hukuman terhadap Baiq Nuril, seorang guru korban pelecehan seksual kepala sekolahnya.
Dari semula vonis bebas yang dijatuhkan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, MA justru meningkatkan hukuman menjadi enam bulan penjara dan denda Rp500 juta.
Nuril dinilai terbukti bersalah mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan seperti termaktub di Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Hakim MA harus mengevaluasi hukuman ini," kata Asfinawati.
Adapun juru bicara MA Suhadi tak mau berkomentar soal penilaian yang menyebut keputusan hakim tersebut telah mengancam perlindungan hak asasi manusia.
"Adil atau tidak, itu penilaian publik. Tapi keputusan hakim harus dihormati," pungkas Suhadi.