Komisi I DPR Setujui Hibah 14 Pesawat Nirawak dari AS
2020.02.26
Jakarta

Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberi restu kepada Kementerian Pertahanan untuk menerima hibah 14 unit pesawat nirawak (drone) ScanEagle dan penambahan fitur pada tiga unit helikopter Bell 412 dari Amerika Serikat, Rabu (26/2/2020).
Hibah yang sudah ditawarkan sejak tahun 2014 ini rencananya akan digunakan TNI Angkatan Laut untuk membantu pengawasan keamanan di perairan, termasuk untuk mencegah masuknya lagi kapal Cina secara ilegal di Laut Natuna, Kepulauan Riau.
“Kami menyetujui pemerintah menerima hibah dari AS berupa 14 unit Scan Eagle UAV dan upgrade Helicopter Bell 412 Equipment sebanyak tiga unit,” kata Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, di Jakarta, Rabu.
Hibah ini merupakan bentuk bantuan keamanan yang diatur dalam Undang-undang Pengendalian Ekspor Senjata Amerika Serikat dan merupakan bagian dari paket bantuan senilai $47,9 juta kepada Indonesia, Filipina, Malaysia dan Vietnam yang diumumkan tahun lalu.
Merujuk Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 18 Tahun 2013, keputusan penerimaan hibah dari luar negeri memerlukan pertimbangan politis dan strategis dan dilaporkan secara berjenjang kepada menteri dan pihak pemerintah.
“Intinya drone ScanEagle ini akan digunakan untuk pengawasan, termasuk untuk di (laut) Natuna. TNI AL nanti yang lebih pasti akan menggunakan,” kata Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Sementara, hibah penambahan fitur Helikopter Bell 412 bernilai total US $6,3 juta. Rencananya helikopter bakal digunakan untuk patroli maritim serta integrasi ISR (intelligence, surveillance, and reconnaissance).
Belasan ScanEagle Unmanned Aircraft Systems (UAV) yang dihibahkan A.S. bernilai total U.S. $28,3 juta. Drone ScanEagle dikembangkan dan dibangun oleh Insitu Inc., anak perusahaan The Boeing Company. UAV bekerja mengandalkan kemampuan pesawat miniatur SeaScan Insitu yang dikembangkan untuk industri perikanan komersial.
Drone ScanEagle dapat beroperasi di atas 15.000 kaki (sekitar 4.572 meter) dan mampu bertahan di medan perang hingga 20 jam. Di kawasan Asia Tenggara, drone ScanEagle sudah dipakai oleh Angkatan Laut Singapura. Drone ini juga pernah digunakan oleh Angkatan Darat Australia dalam misi perdamaian di Irak.
Drone hibah pertama
Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan Indonesia belum memiliki peralatan tempur dengan spesifikasi seperti drone ScanEagle.
Oleh karenanya, keputusan menerima hibah dari Amerika Serikat bisa dipahami terlebih dalam beberapa waktu terakhir Indonesia mendapatkan tantangan keamanan perbatasan di laut.
“Belakangan, kebutuhan akan adanya drone dengan kemampuan yang dimiliki ScanEagle ini dirasa cukup kuat, terutama terkait dengan potensi-potensi konflik di perbatasan dan perairan,” kata Khairul kepada BeritaBenar, Rabu.
“Dalam spesifikasi yang sejenis (drone ScanEagle), kita belum punya,” tambahnya.
Sampai saat ini, TNI mengoperasikan enam jenis drone untuk kebutuhan patroli pengintaian. Keenamnya antara lain Microdrone MD4-1000, Rajawali 350, Aerostar TUAV, Hugin 1000 AUV (drone bawah laut), Super Drone, dan CH-4.
Untuk tipe terakhir, TNI pernah memamerkannya dalam agenda HUT ke-74, Oktober 2019. CH-4 merupakan drone buatan China Aerospace Science and Technology Corporation (CASC). Indonesia diketahui baru memiliki satu unit CH-4.
CASC membuat 13 tipe drone dan CH-4 adalah seri yang paling besar. Merujuk situs Military Factory, CH-4 sanggup melesat 350 km/jam dengan ketinggian hingga 14.440 meter.
Pada perjalanannya, Indonesia juga mengembangkan drone buatan lokal. Drone Medium Altitude Long Endurance (MALE) Black Eagle adalah prototipe pertama yang dikembangkan konsorsium yang terdiri dari BPPT, Kementerian Pertahanan, TNI AU, PT DI, PT Len, dan ITB pada 2019.
Kendati demikian, konsorsium belum mengumumkan harga penjualan satu unit drone MALE berikut waktu rilisnya.
Bantah tekanan Sukhoi
Kepala Staf Presiden Moeldoko memastikan penerimaan hibah dari AS tidak berhubungan dengan rencana pembelian Sukhoi Si-35 dari Rusia.
“Kita kan punya skema kerja sama. Dalam skema itu, hibah. Biasalah, bukan hal yang baru. Tidak ada interest-nya, kepentingan-kepentingan tertentu. Hal yang biasa dalam hubungan baik kedua negara,” kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Moeldoko menjamin, pemerintah tidak akan meloloskan penerimaan hibah jika pihak A.S. memberikan persyaratan tertentu. “Tidak ada. Tidak ada. Kalau ada permintaan kita gak mau, ngapain,” kata Moeldoko.
Pernyataan sama juga diungkapkan Wakil Menteri Pertahanan Wahyu Trenggono. Menurutnya, Indonesia tidak mengeluarkan uang sepeser pun di dalam proses pembelian hibah tersebut.
“Enggak. Dia menawarkan saja. Kemudian kita lihat bagus dan perlu, ya sudah kita ambil. Gratis kok, kan sudah melalui persetujuan DPR,” kata Wahyu.
Indonesia telah menyepakati pembelian 11 unit Sukhoi SU-35 buatan Rusia dengan skema imbal beli yang dikoordinasikan Kemhan dan Kementerian Perdagangan.
Kesepakatan itu diwujudkan dalam penandatanganan nota kesepahaman antara PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dengan BUMN Rusia, Rostec, pada 2018.
Dalam kesepakatan dengan Rusia, nilai pembelian 11 unit SU-35 yang harus dibayarkan Indonesia adalah US $1,14 miliar atau setara Rp15,3 triliun.
Sebagai imbalnya Rusia wajib membeli sejumlah komoditas ekspor, salah satunya karet, dari Indonesia sebesar 50 persen dari pembelian tersebut, atau senilai US $570 juta.
Kendati tinggal selangkah lagi, perjalanan Sukhoi ke Indonesia juga terkendala kebijakan A.S., sehingga sementara ditangguhkan.
Presiden AS Donald Trump pada Agustus 2017 telah menandatangani Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA). Regulasi itu mengatur soal sanksi kepada negara yang membeli alutsista dari Rusia.
Sebelum berangkat ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tidak menjawab detail terkait progres rencana pembelian Sukhoi dari Rusia juga tekanan dari AS.
“Insya Allah. Doain ya,” katanya singkat di kantor Kementerian Koordinator Bidang Investasi dan Maritim, Jumat (21/2/2020).
Jajaki alutsista dengan UEA
Dalam kunjungan kerja ke UEA, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto kembali menjajaki peluang kerja sama alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang dibutuhkan Indonesia.
“Hal ini perlu dilakukan untuk mencapai target pemenuhan alutsista sesuai dengan Minimum Essential Force Indonesia,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Humas) Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Totok Sugiharto, dalam siaran persnya, Senin.
Belum jelas alat-alat apa yang diincar Indonesia. Namun, Prabowo dan Menteri Pertahanan UEA Mohammed Ahmed Al Bowardi telah menandatangani kerja sama pertahanan sebagai tindak lanjut dari Letter of Intent (LOI) yang ditandatangani di Bogor, Jawa Barat, Juli 2019.
Kerja sama pertahanan RI-UEA meliputi pembangunan pesawat ringan dengan PT Dirgantara, pertukaran perwira di berbagai level dan pertukaran informasi guna keamanan wilayah dan kawasan.