Joey Alexander, Akankah Mengukir Sejarah Pemenang Grammy Termuda?
2016.02.12
Washington DC

Mendengarkan alunan jazz dalam dentingan piano yang begitu memukau, orang tidak akan menyangka bahwa pianis yang memainkannya masih sangat belia.
Usianya mungkin bisa terbilang muda, 12 tahun, namun keterampilannya bermain piano dalam alunan jazz sudah seperti seorang veteran jazz. Penikmat musik di Amerika, di negara mana pianis muda asal Bali ini kini menetap, begitu terpukau akan bakatnya, sehingga karyanya mendapat penghargaan dua nominasi dalam Grammy Award 2016. Ini membuatnya menjadi salah satu musisi termuda yang berhasil mendapatkan kehormatan itu. Dan jika ia menang, pianis berbakat ini akan tercatat sebagai penerima Grammy termuda. Bagi Indonesia ia telah menorehkan sejarah, sebagai warga Indonesia pertama yang masuk nominasi dalam ajang tahunan industri musik paling bergengsi di Amerika. Tidak hanya itu, Joey juga dipercaya menjadi salah satu musisi yang tampil dalam acara pada Senin (15/2) malam waktu Amerika itu, bersama sejumlah artis top kelas dunia lainnya.
Kepada BeritaBenar, ia mengatakan bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendukungnya, atas apa yang telah diperolehnya.
Belajar sendiri
Lahir di Bali pada 25 Juni 2003 dari pasangan Denny Sila dan Fara Urbach Sila, Josiah Alexander Sila kecil yang dikenal sebagai Joey Alexander tumbuh mendengarkan musik-musik jazz koleksi sang Ayah. Bakat musiknya mulai terlihat pada usia enam tahun, ketika ia diberikan sebuah keyboard oleh orangtuanya untuk menyalurkan energi sang putra yang tidak pernah habis. Joey kecil adalah seorang anak yang hiperaktif.
Namun apa yang dilakukan Joey pada keyboard mungilnya itu, membuat tercengang sang orangtua yang pecinta musik. Hanya dengan mendengarkan album jazz koleksi sang Ayah, ia mampu memainkan pada keyboardnya lagu “Well, You Needn’t” dari Thelonious Monk, pianis jazz kawakan Amerika,
Melihat bakat sang putra, Denny mendatangkan pelatih musik untuk mengajarkan Joey. Namun latihan tersebut tidak berlangsung lama, karena sang instruktur mengajarkan piano klasik, sementara sang anak didik ingin lebih bebas berkreasi. Permainan piano klasik tidak memungkinkan hal itu. Ide kreatifnya lebih tersalurkan dalam jazz. Pada usia tujuh tahun ketika itu, Joey memilih untuk mengasah kemampuannya secara otodidak didampingi sang Ayah.
Namun bukan berarti memainkan irama jazz adalah hal yang gampang baginya.
“Jazz adalah musik yang sulit,” kata Joey kepada New York Times, "dan kita harus bekerja dengan keras namun juga menikmati permainan kita: itu yang paling penting.”
Peran orangtua
Peran kedua orangtua sangat besar dalam membantu Joey meraih potensinya. Namun tidak seperti anggapan yang sering terlihat pada orang tua dengan anak yang mempunyai bakat khusus dimana orang tua sering diperlihatkan mendorong keras sang anak, pada kasus Joey adalah sebaliknya. Joey-lah yang “mendorong” Ayah dan Ibunya.
Untuk mendukung minat sang anak, Denny dan Fara memutuskan meninggalkan bisnis wisata mereka di Bali dan pindah ke Jakarta untuk memungkinkan Joey mengasah bakatnya bersama musisi terkemuka Indonesia. Pada usia 8 tahun Joey meyakinkan dirinya untuk mendedikasikan masa kecilnya pada dunia jazz, terinspirasi oleh musisi jazz Amerika, Herbert Hancock yang berkunjung ke Jakarta saat itu. Terpukau pada penampilan Joey, Herbert mengatakan bahwa ia yakin akan kemampuan Joey.
Pada tahun 2014, dibantu oleh beberapa musisi jazz Amerika Joey dan keluarga pindah ke New York.
Ketika BeritaBenar menanyakan jika mereka memiliki harapan khusus melihat semua pencapaian Joey dalam usia yang sangat muda, sang Ibu berkata, “Saya ingin menjaga pertumbuhan Joey sebagai seorang anak dan agar Joey tetap takut akan Tuhan.”
Dunia pun mengenalnya
Tidak menunggu lama hingga nama Joey Alexander dikenal dunia. Dalam usia 9 tahun ia memenangi Grand Prix 2013 Master-Jam Fest, untuk kompetisi semua umur di Ukraina. Ia juga tampil di berbagai ajang jazz bergengsi yang merupakan impian musisi jazz dunia, seperti Jazz di Lincoln Center Gala, Festival Jazz Internasional di Montreal Kanada dan Festival Jazz New Port di Amerika. Ia juga tampil di depan banyak tokoh dunia seperti Bill Clinton. Pada Oktober lalu permainannya membawakan lagu Bengawan Solo memukau Presiden Jokowi dalam kunjungan kenegaraan sang presiden ke Amerika.
‘Anak ajaib’ yang sederhana
Kemampuannya bermain piano di atas rata-rata tidak hanya untuk usianya yang terbilang muda namun juga untuk pemain jazz pada umumnya, menyebabkan banyak menyebutnya sebagai anak ajaib, anak genius, child prodigy. New York Times memuat berita tentang Joey pada halaman satu dengan headline, "Joey Alexander, an 11-Year-Old Jazz sensation, Who Hardly Clears the Piano's Sightlines" , sedangkan WCBS-TV memuat profilnya dengan judul "10-Year-Old Piano Prodigy From Indonesia Takes New York By Storm". Sebulan yang lalu, kisah Joey juga muncul dalam wawancara ekslusif CBS's 60 Minutes dimana wartawan kawakan Anderson Cooper mewawancara Joey, "The Little Jazz Man".
Joey sendiri tampaknya tidak terlalu nyaman dengan popularitas itu. Dalam akun twitter, merespons salah satu station TV Indonesia yang akan membahas profilnya, ia menulis, “Hey there! Thanks Om. Hope they didn't call me a prodigy”.
Mengaku terinspirasi oleh nama-nama pemain jazz kawakan seperti Herbie Hancock, Harry Connick Jr., dan Bill Evans, ketika ditanya, bocah yang rendah hati ini selalu mengatakan inspirasi yang sesungguhnya berasal dari Atas.
“Bagi saya, ini adalah hadiah yang datang dari Tuhan sehingga saya bisa seperti ini”, katanya seperti dilansir di newyork.cbslocal.com.
Joey Alexander, di tengah semua kelebihan yang dimilikinya, ia sangat sederhana, dan dia masih tetap seorang bocah 12 tahun. Di luar jadualnya yang cukup ketat, tampil di panggung, latihan piano tiga jam perhari, dan mengerjakan tugas-tugas home schoolingnya, dia adalah layaknya seorang anak seusianya.
“Suka mainan, saya juga suka olahraga. Sedikit main tenis, berenang, seperti anak normal lainnya. Saya nonton film,” katanya, seperti dikutip dalam wawancaranya dengan VOA.
Penerima Grammy termuda?
Jenius, ajaib, atau bukan, namun yang pasti ia memang mengundang decak kagum. Dalam ajang Grammy ke-58 tahun ini, ia meraih dua nominasi sekaligus. Albumnya yang berjudul My Favorite Things yang dirilis pertengahan tahun lalu dengan kesemua lagu diaransemen sendiri, telah berhasil mengantarnya meraih nominasi Best Jazz Instrumental Album, bersaing dengan nama-nama senior seperti Terence Blanchard, Jimmy Greene dan Robert Glasper. Ia juga meraih nominasi untuk kategori Best Improvised Jazz Solo.
Ketika BeritaBenar menanyakan bagaimana kesannya menjadi peraih dua nominasi Grammy sekaligus, bocah berkaca mata ini mengatakan, “Saya bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada semua yang telah memberi support.”
Akankah ia memenangkan penghargaan Grammy dan dicatat sejarah sebagai penerima termuda penghargaan ini? Menang atau tidak, anak muda Indonesia berbakat ini sudah memenangkan kekaguman pecinta musik di dunia.
Dan ia sudah pasti tidak akan berhenti hanya pada Grammy.
“Kedepan saya akan terus berkarya dan memberikan yang terbaik bagi musik,” katanya.