Komnas Perempuan: Kekerasan Seksual Bersifat Sistemik

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.05.06
Jakarta
625_ID_YY.jpg Seorang aktivis berunjuk rasa menentang kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak di Jakarta, 4 Mei 2016.
AFP

Diperbaharui 9 Mei 2016, 23:15 WIB.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Indonesia sudah bersifat sistemik dan pada tingkat sangat mengkhawatirkan sehingga pemerintah harus mengatasinya dengan serius.

Masalah kekerasan seksual kembali mengemuka menyusul terkuaknya kasus perkosaan dan pembunuhan YY atau Yuyun, seorang gadis berusia 14 tahun di Rejang Lebong, Bengkulu, awal April lalu oleh 14 pria, di mana tujuh pelaku berusia di bawah 18 tahun.

“Ini merupakan contoh kasus sistemik karena beberapa hal, antara lain terjadi di wilayah terpencil yang membuatnya jauh dari perhatian publik, pantauan, dan akses terhadap perlindungan dan keadilan bagi korban,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Masruchah kepada BeritaBenar, Jumat, 6 April 2016.

Kasus ini tidak mendapat perhatian secara nasional selama sebulan sampai musisi Kartika Jahja dan komunitas Kolektif Betina mulai mengkampanyekan di media sosial dan menjadi viral sehingga mendapat perhatian media nasional, bahkan internasional.

Masruchah menyayangkan perhatian media lokal dan pejabat setempat yang tidak menyuarakan kasus ini lebih keras sejak awal.

“Seharusnya sekolah di mana Yuyun menjadi siswa juga bisa bersuara keras karena korban adalah siswanya,” ujar Masruchah.

Hal lain yang memperlihatkan kasus ini sistemik, menurut Masruchah, adalah kondisi para pelaku yang minim pendidikan dan informasi tentang seksualitas.

Budaya patriarki

Di tempat yang berbeda, peneliti Kajian Perempuan Asia-Amerika dari Universitas Indonesia, Teraya Paramehta, mengatakan bahwa secara umum budaya patriarki masih mengakar bahkan terinternalisasi dalam sistem-budaya di Indonesia.

“Ada kecenderungan untuk menyalahkan hal lain ketimbang mengakui bahwa budaya patriarkislah yang menyebabkan kasus YY terjadi,” ujarnya pada BeritaBenar menanggapi banyaknya reaksi publik yang menyalahkan miras, pornografi, atau korban yang berjalan sendiri melintasi tempat sepi, dalam melihat kasus ini.

Menurut keterangan polisi seperti dilaporkan berbagai media, korban Yuyun memang berjalan kaki pulang sekolah sendirian  pada 2 April, ketika dicegat segerombolan laki-laki yang mabuk akibat minum tuak.

Yuyun diperkosa secara bergiliran dan ketika ia melawan, salah satu pelaku memukulnya sehingga ia meninggal. Tubuhnya yang penuh luka dengan kedua tangan terikat ditemukan pada 4 April di dasar jurang ketika seseorang yang melintas mencium bau menyengat dari jenazah korban.

Polisi telah menangkap 12 dari 14 tersangka. Dua pelaku yang lain masih dalam kejaran polisi. Kasus ini akan segera dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Curug, Bengkulu, dalam dua berkas. Salah satunya adalah berkas yang memperkarakan tujuh pelaku di bawah 18 tahun.

Perlu payung hukum

Setidaknya 300 organisasi dan individu dari berbagai lapisan masyarakat di berbagai daerah menyuarakan keprihatinan mereka terhadap kasus ini. Mereka mengeluarkan pernyataan bersama saat konferensi pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta Pusat, 3 Mei lalu.

Dalam pernyataan itu, mereka mendesak dibuatnya payung hukum untuk pencegahan dan perlindungan dari tindak kekerasan seksual dan pendidikan seksual komprehensif guna mencegah kekerasan berbasis gender.

"Tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah masuk Prolegnas 2016. Semakin ditunda akan semakin banyak lagi korban," ujar Lathiefah Widuri Retyaningtyas (Tyas), aktivis dari organisasi Perempuan Mahardika.

Mereka juga menyerukan bahwa membangun kekuatan solidaritas anti kekerasan seksual di manapun dan kepada siapapun adalah tanggung jawab bersama.

"Terus mengkampanyekan bahwa perempuan punya hak atas tubuhnya untuk terhindar dari berbagai bentuk kekerasan seksual," kata Tyas.

Netizen di Indonesia turut menyuarakan solidaritas untuk Yuyun dengan mencuit tagar #NyalaUntukYuyun. Tidak kurang akun Twitter Kementerian Sekretaris Negara @Kemensetneg juga ikut mencuit tagar tersebut.

“Kita semua berduka #NyalaUntukYuyun. Stop kekerasan pada perempuan dan anak, mereka harta berharga, mari jaga dan lindungi,” cuitnya.

Presiden Joko Widodo melalui akunnya @jokowi ikut mencuit pada 4 Mei, “Kita semua berduka atas kepergian YY yg tragis. Tangkap & hukum pelaku seberat2nya. Perempuan & anak2 harus dilindungi dari kekerasan –Jkw.”

Menurut catatan Komnas Perempuan, 70 persen pelaku kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah anggota keluarga dan orang-orang dekat korban. Setiap hari, seorang dari 35 wanita Indonesia menjadi korban kekerasan seksual.

Sepanjang 2015, Komnas Perempuan mencatat 321.752 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah pribadi dalam bentuk perkosaan 72% (2.399 kasus), pencabulan 18% (601 kasus), dan pelecehan seksual 5% atau 166 kasus. Sementara di ranah publik ada 31% atau 5.002 kasus.

Pada Oktober 2015, pemerintah pernah mengatakan akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mengatur hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak. Namun hingga kini Perppu itu belum juga dikeluarkan.

Nosa Normanda ikut berkontribusi dalam artikel ini.

Dalam versi yang diperbaharui ini, jumlah organisasi/ individu yang menyuarakan keprihatinan terhadap kasus ini  telah dikoreksi dari yang semula disebutkan 118 kini menjadi setidaknya 300 organisasi/individu, serta pencantuman nama kontributor atas artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.