Kota Tua Jakarta, ketika Revitalisasi Terhadang Tantangan
2016.02.10
Jakarta

Mimpi menjadikan kawasan Kota Tua di Jakarta Barat sebagai pilihan lain tujuan wisata mendorong PT. Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC) ikut ambil bagian menjalani misi yang hampir tak mungkin untuk diwujudkan.
Konsorsium yang terdiri dari sembilan perusahaan properti memulai misinya “menyulap” kembali 12 bangunan cagar budaya peninggalan kolonial Belanda sejak Januari 2015. Tantangan demi tantangan dihadapi konsorsium sejak awal mengerjakan proyek revitalisasi tersebut.
Birokrasi pemerintah cukup panjang merupakan tantangan awal. Izin dari Gubernur DKI Jakarta yang kala itu dijabat Joko Widodo akhirnya didapat pada 2014. Namun nyatanya JOTRC baru bisa bekerja setahun kemudian, padahal pengerjaan ditargetkan selesai tahun 2017.
“Selama setahun itu, kami harus menyelesaikan administrasi yang melibatkan lintas instansi. Proyek cagar budaya idealnya lima tahun, mulai dari riset, desain ulang, penghitungan budget hingga renovasi,” ujar Anneke Prasyanti, Manajer Proyek JOTRC.
Riset ke Belanda
Tantangan berikutnya yang dihadapi tim, lanjut Anneke, adalah menghidupkan kembali gedung-gedung yang selama ini "mati suri". Beberapa di antaranya bahkan sudah menjadi korban vandalisme.
Hampir semua gedung tidak punya pasokan listrik dan air bersih. Padahal, kedua hal itu modal penting dalam merenovasi bangunan, sehingga tim berkoordinasi dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Perusahaan Air Minum (PAM).
“Sebelum ada sambungan listrik dan air, kami dulu terpaksa kerja pakai genset dan beli air, karena pengerjaan harus segera dimulai. Kalau harus tunggu PLN dan PAM bisa berbulan-bulan,” ujar Anneke.
Tantangan lain yakni meriset sejarah arsitektur awal masing-masing bangunan yang cukup memakan waktu yaitu tiga hingga lima bulan, karena tidak semua data bisa diperoleh di Tanah Air.
“Kami harus cari sampai ke Belanda,” tutur Anneke kepada BeritaBenar, 8 Februari 2016.
Setelah dokumen diperoleh, tim arsitektur perusahaan harus mengukur ulang tiap bangunan. Pasalnya, pemilik gedung sama sekali tak punya data bangunan, karena hibah dari VOC – perusahaan perdagangan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, semua bangunan ini menjadi milik BUMN.
“Kami tidak punya blue print, semua diukur ulang, digambar ulang, desain, lalu putuskan jenis pekerjaan, barulah kami hitung pengeluaran. Jadi tidak sekadar face lift saja. Lebih rumit daripada sakedar mendesain,” jelasnya.
“Kami semua belajar di sini, karena material yang dipakai juga bukan berasal dari periode sekarang. Kami belajar lagi tentang engineering yang dibawa orang Eropa ke Indonesia. Bedanya banyak, dari material saja ukuran dan kualitas bata sudah beda. Kekuatannya beda,” papar Anneke panjang lebar.
Beda bahan dan teknik
Dia menambahkan bahwa beberapa bangunan ada yang bukan dibangun pada periode beton. Gedung-gedung tersebut dibangun sebelum 1900-an. Di beberapa bagian ada teknik tersendiri yang digunakan dari masa lalu. “Kami juga merekonstruksi dari beberapa bahan bangunan yang tersisa,” katanya.
Anneke mencontohkan salah satu pekerjaan paling rumit yang dihadapi, yaitu ketika merekonstruksi bangunan yang dulunya bernama Apotek Chung Hwa di daerah Glodok, Jakarta Barat.
“Bangunan tersebut sudah tak berbentuk, sebagian terpotong, tidak ada trotoar. Kami lalu mengukur ulang, mendesain ulang, merenovasi, hingga seperti sekarang,” ujarnya.
“Memang merenovasi bangunan cagar budaya tidak mudah dan cepat. Selain kondisi bangunan rusak, kami juga harus memikirkan peruntukkan ke depannya, apakah menjadi restoran atau perkantoran. Karena gedung-gedung ini harus fungsional.”
Berhadapan dengan masyarakat dan mal
Gedung peninggalan kolonial Belanda di Kota Tua, Jakarta Barat, yang sedang direnovasi. (BeritaBenar)
Tantangan lain adalah resistensi masyarakat, terutama mereka yang berdagang di kaki lima trotoar yang merupakan bagian dari gedung, seperti Apotek Chung Hwa.
“Kami mulai dari memberikan informasi lisan, surat tertulis sampai deadline. Begitu sampai deadline tidak mau pergi, terpaksa digusur. Tidak sampai ricuh, tapi memang ada yang protes,” ujarnya.
Belum lagi tunawisma yang tinggal selama bertahun-tahun di dalam gedung.
“Banyak sampah ditinggal di dalamnya. Untuk membersihkan gedung saja, kami habis sampai Rp 20 juta,” kenang Anneke.
Pendanaan juga menjadi isu tersendiri. Dia mengatakan tim hanya menyediakan perkiraan anggaran mengingat rumitnya pekerjaan renovasi tersebut, sehingga tidak ada alokasi dana khusus.
“Beda dengan bangunan yang dikelola BUMN. Pendanaan bisa multiyears. Lebih punya keleluasaan,” ungkapnya.
Tantangan terbaru tim adalah pemasaran bangunan yang sudah direnovasi. Dari 500 penyewa, baru ada tiga orang yang sejauh ini sudah betul-betul komit.
Anneke mengakui mereka yang tidak punya visi sejarah akan sulit membuka usaha di bangunan cagar budaya, karena banyak batasan harus dipenuhi penyewa. Jauh lebih mudah jika menyewa tempat di mal, karena lapangan parkir pasti ada dan minimnya batasan.
“Padahal di sini cukup menjanjikan. Setiap akhir pekan, banyak turis lokal dan mancanegara berkumpul. Bisa sampai 5.000-7.000 orang. Memang harus ada yang berani mulai,” ujarnya.
Warisan budaya dunia
Tim juga punya misi lain, yakni agar Kota Tua Jakarta mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Meski bukan bagian dari pekerjaan tim, Anneke mengatakan para pemimpin JOTRC siap mendampingi pemerintah dalam misi ini.
“Perjalanannya memang tidak mudah karena UNESCO punya dokumen (yang) harus dilengkapi yang cukup rumit,” ungkapnya.
Dokumen itu, ujar Anneke, telah dikaji UNESCO tahun lalu dan kini sedang dalam tahap revisi.
“Dokumen yang dilengkapi sangat kompleks. Karena cakupan kawasan Kota Tua mulai dari Glodok hingga Pulau Onrust di utara Jakarta,” ujarnya.
Ary Sulistio dari Sekretariat Tim Ahli Cagar Budaya Kota Tua menyambut baik upaya tersebut. Sejauh ini ada 50 bangunan - termasuk 12 yang dikelola JOTRC - yang dinilai memiliki outstanding universal value yang disyaratkan UNESCO.
“Dari aspek sejarah dan arsitektur, kompleks bangunan di kawasan ini memang intangible karena berasal dari abad 17-18. Arsitektur ini mirip abad Renaissance Eropa. Bisa dibilang kawasan ini adalah salah satu miniatur Eropa di Asia,” kata Ary kepada BeritaBenar.
Revitalisasi Kota Tua merupakan bagian upaya ke arah itu. Jika sukses, Kota Tua Jakarta akan ikut bergabung bersama kawasan cagar budaya yang telah diakui UNESCO, seperti George Town di Penang, Malaysia.