MA Tolak Kasasi Protes Volume Azan, Meiliana Tetap Dipenjara 1 ½ Tahun

Kuasa hukum menilai putusan MA menjadi preseden buruk toleransi di Indonesia.
Arie Firdaus
2019.04.08
Jakarta
190408_ID_Mosque_speaker_1000.jpg Sebuah masjid di perkampungan di Jakarta dengan pengeras suara yang dipasang di atasnya, 25 Juni 2015.
AFP

Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Meiliana (44), perempuan keturunan Tionghoa beragama Budha yang mengeluhkan pelantang suara azan di Tanjungbalai, Sumatra Utara.

Ia pun tetap dianggap bersalah dalam kasus penodaan agama dan diwajibkan menjalani hukuman 1 ½ tahun penjara, seperti diputus Pengadilan Negeri Medan pada 21 Agustus 2018.

"Kasasinya sudah diputuskan dan ditolak," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah kepada BeritaBenar, Senin, 8 April 2019.

Abdullah tak memerinci alasan MA menolak permohonan kasasi Meiliana dengan alasan belum mengetahui detail putusan kasus tersebut.

Dalam laman resminya, MA hanya menyatakan bahwa perkara Meiliana yang bernomor 322K/PID/2019 tersebut diputus ketua majelis hakim Desnayeti pada 27 Maret 2019, tanpa merinci pertimbangan penolakan kasasi.

Atas putusan kasasi ini, Ranto Sibarani selaku kuasa hukum Meiliana mengaku kecewa.

"Ini menjadi preseden buruk, karena ke depan masyarakat bisa membakar rumah ibadah kelompok agama lain hanya karena berita hoaks," katanya.

"Tadinya kami berharap majelis bisa mengabulkan kasasi dengan mempertimbangkan bahwa tidak ada bukti yang mengatakan bahwa Meiliana  mengatakan seperti yang dituduhkan dalam dakwaan."

Mengenai kemungkinan mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung sebagai upaya terakhir membebaskan Meiliana, Ranto belum bisa memastikan.

Kronologi perkara

Perkara penistaan agama Meiliana bermula pada Juli 2016, saat ia mengeluhkan suara azan dari sebuah masjid tak jauh dari rumahnya di Jalan Karya Lingkungan I, Kelurahan Tanjungbalai Kota I, Kecamatan Tanjungbalai Selatan, Kota Tanjungbalai, Sumatra Utara.

Kepada salah seorang tetangga bernama Kasini alias Ka Uo, Meiliana mengatakan, "Kak Uo, dulu kan suara masjid kita tidak begitu besar. Sekarang kok agak besar?"

Keluhan itu kemudian berkembang liar dan bersalin rupa menjadi sentimen rasial, disusul gerakan massa untuk menggeruduk kediaman Meilana.

Massa merusak tiga wihara, delapan kelenteng, dan satu balai pengobatan di Tanjungbalai.

Pada Desember, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tanjungbalai lantas menetapkan fatwa bahwa komplain Meiliana atas suara azan termasuk penistaan agama.

Majelis pun merekomendasikan kepolisian untuk segera menindaklanjuti proses hukum terhadap Meiliana.

Kasus akhirnya bermuara ke pengadilan dan Meiliana didakwa melanggar Pasal 156 dan 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Ia mulai menjalani persidangan pada Mei 2018 dan akhirnya dijatuhi hukuman 18 bulan penjara.

Vonis untuk Meiliana ini jauh lebih tinggi dari hukuman terhadap delapan orang perusak wihara yang diputus Pengadilan Negeri Tanjungbalai, yang beroleh hukuman terberat hanya dua bulan 18 hari.

Tidak puas dengan vonis majelis hakim pengadilan negeri, Meiliana mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan, tapi ditolak.

Meiliana tetap dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara.

Dalam pertimbangan penolakan banding, majelis hakim pengadilan tinggi ketika itu berpendapat vonis untuk Meiliana sudah tepat karena dianggap telah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.

Meiliana kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 23 November 2018, dan belakangan ditolak.

Upayakan pembebasan bersyarat

Terkait penolakan permohonan kasasi, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengaku siap memberikan jaminan pembebasan bersyarat untuk Meiliana.

"PSI siap menjadi penjamin dengan memberikan jaminan moral dan hukum bagi Ibu Meiliana untuk bisa segera mendapatkan bebas bersyarat,” ujar juru bicara PSI, Surya Tjandra, dikutip dari laman Detik.com.

“Untuk itu PSI akan berkoordinasi dengan tim kuasa hukum Ibu Meiliana di Medan dan memastikan dipenuhinya pengajuan cuti bersyarat tersebut."

Sesuai aturan, pengajuan pembebasan bersyarat dapat dilakukan setelah menjalani dua pertiga masa hukuman.

Meiliana akan memasuki periode ini pada Mei mendatang.

"Adalah tugas kita semua untuk terus ingat adanya kasus ini, dan memastikan hukum bisa berdiri tegak untuk semua golongan," pungkas Surya.

Ranto Sibarani belum mau berkomentar terkait rencana PSI tersebut.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.