Pelibatan Masyarakat Adat Perlu Ditingkatkan Sebagai Penjaga Hutan
2017.09.28
Balikpapan

Pelibatan dan peranan masyarakat adat sebagai penjaga hutan perlu lebih ditingkatkan karena mereka menjadi kelompok yang terdampak langsung dari kerusakan lingkungan di sejumlah negara.
Hal itu menjadi salah satu perhatian pertemuan Gubernur Gugus Tugas Iklim dan Hutan (Forum Governors’ Climate and Forests Task Force/GCF) selama empat hari di Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), sejak Senin, 25 September 2017.
“Keberadaan masyarakat adat menjadi isu besar dalam pembahasan di forum GCF Task Force Balikpapan,” kata William Boyd, pemimpin satuan tugas tersebut, kepada BeritaBenar, Kamis.
Menurutnya, masyarakat adat menjadi kelompok rentan tertimpa masalah lingkungan berupa kebakaran hutan, deforestasi, penebangan liar hingga tak terkendalinya perizinan perkebunan.
Forum GCF yang beranggotakan 38 provinsi dari 10 negara, kata William, sudah sepakat untuk bekerja sama saling menguntungkan antara negara-negara maju dan berkembang dalam upaya penyelamatan hutan.
Dijelaskannya bahwa ada komitmen alokasi dana sebesar US$25 juta atau sekitar Rp325 miliar sebagai kompensasi penyelamatan hutan di negara berkembang.
Komitmen tersebut dipastikan kembali oleh salah satu negara peserta, Norwegia, yang sudah menjadi pioner dalam penggunaan sumber daya alam terbarukan yang tak merusak lingkungan.
Dalam pertemuan lanjutan di Jenewa akan membahas teknis skema pengalokasian dana kompensasi bagi sejumlah anggota GCF di antaranya Indonesia, Brasil, dan Peru.
Terdapat tiga skema bantuan kompensasi dititikberatkan pada sektor pemberdayaan masyarakat adat, proposal inovatif pembangunan ekonomi terbarukan, dan konsolidasi antar-anggota GCF.
William mengatakan, GCF Task Force mendeklarasikan seruan penyelamatan lingkungan dalam upaya mengerem laju deforestasi hutan tropis dunia dan mereduksi emisi karbon.
Perubahan iklim juga menjadi perhatian negara negara maju dalam upaya penyelamatan lingkungan.
Deklarasi Rio Branco, Brasil, secara tegas berkomitmen menekan laju deforestasi dunia 80 persen pada 2020, dimana negara-negara maju menjadi donor penyelamatan hutan tropis, terutama Brasil dan Indonesia.
Berkepentingan
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, memastikan masyarakat adat paling berkepentingan dalam upaya penyelamatan hutan karena selama ini mereka selalu terpinggirkan di tengah laju pembangunan.
Pihaknya siap memberikan sumber daya agar pelibatan unsur masyarakat adat dan GCF terjalin dalam menjaga kelestarian alam.
“Kami akan menggunakan segala sumber daya agar agenda di lapangan berjalan, tidak hanya di atas kertas saja. Kemitraan akan didorong agar berjalan sesuai kepentingan bersama,” ujarnya.
Rukka menginginkan anak cucu bisa menikmati keindahan alam hutan dan laut sebagai gantungan hidup masyarakat karena menurutnya, laju pembangunan tidak serta merta harus mengorbankan kelestarian alam.
Kearifan lokal
Wakil Gubernur Papua Barat, M Lakotani menyatakan bahwa daerahnya menjadi motor pemberdayaan masyarakat adat karena mereka memiliki kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan alam baik hutan maupun lautan.
“Kami punya kearifan lokal. Pada periode waktu tertentu, mereka menjaga alam dengan tak mengambil sumber daya hutan dan laut. Mereka juga melarang pihak luar yang akan mengesploitasi sumber daya di wilayahnya,” katanya.
Menurutnya, masyarakat adat bisa menjadi palang pintu untuk menjaga kelestarian hutan.
“Kami menjadikan masyarakat adat sebagai subyek komitmen pembangunan ekonomi hijau di Papua Barat,” tegasnya.
Lakotani menambahkan Papua Barat dalam proses perumusan Peraturan Daerah Khusus pengalokasian dana perimbangan sektor migas guna pemberdayaan masyarakat.
Papua Barat masih memiliki hutan primer seluas 9,3 juta hektar, dimana 2 juta hektar di antaranya area konservasi dan sebanyak 80 persen masyarakat adat menggantungkan hidupnya dari sumber daya alam hutan.
“Pemerintah pusat memang gencar mengembangkan infrastruktur jalan, jembatan dan bandara. Namun kami sudah menetapkan diri sebagai provinsi berbasis pembangunan ekonomi hijau,” jelas Lakotani.
Moratorium
Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak, selaku tuan rumah mengaku telah menerbitkan moratorium penerbitan izin perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang memanfaatkan kawasan hutan primer.
“Target pengembangan perkebunan sawit seluas 2 juta hektare hanya memanfaatkan kawasan kritis luar area konservasi. Perizinan area perkebunan kelapa sawit diutamakan di wilayah kritis dan tidak mempergunakan kawasan hutan konservasi dan lindung,” paparnya.
Area perkebunan di Kaltim saat ini seluas 1,3 juta hektare. Sedangkan total keseluruhan perkebunan didominasi kelapa sawit yang luasnya mencapai 1,1 juta hektare.
“Pertumbuhan perkebunan di Kaltim mencapai 7,7 persen per tahun dari total cakupan wilayah sudah ada,” papar Kepala Dinas Perkebunan setempat, Ujang Rachmad.
Menurutnya, industri perkebunan sawit jadi tumpuan perekonomian Kaltim yang tidak lagi mengandalkan batu bara dan migas.
“Perkebunan sawit Kaltim menghasilkan produksi crude palm oil (CPO) 2,5 juta ton per tahunnya,” ungkapnya.
Pihaknya berkomitmen menerapkan Kaltim hijau melalui peningkatan kualitas produksi CPO melalui pemanfaatan lahan tidur dan kualitas bibit tanaman sawit dibandingkan sebelumnya.