Mata Lensa, Merekam Perjalanan Jurnalis Foto Perempuan

Lewat bukunya, Adek Berry membuktikan bahwa seorang perempuan pun bisa menjadi seorang jurnalis foto handal.
Zahara Tiba
2017.12.01
Jakarta
171201_ID_Photojournalist_1000.jpg Dari kiri: jurnalis foto dan kurator galeri foto Oscar Motuloh, presenter Desi Anwar, jurnalis foto Adek Berry saat peluncuran buku “Mata Lensa” di Institut Bahasa Perancis di Jakarta, 29 November 2017.
Eka Nickmatulhud/BeritaBenar

Minggu, 26 Desember 2004, alam menunjukkan kekuatannya ketika baru sebagian orang beraktivitas, sementara sebagian lain masih terlelap menikmati penghujung akhir pekan.

Pergerakan tektonik di perut bumi sedalam 30 kilometer di utara Pulau Simeuleue, Aceh, dengan kekuatan 9,3 skala Richter itu mengubah jutaan ton air laut menjadi gelombang tsunami setinggi hingga 30 meter dan berkecepatan 900 kilometer per jam.

Gelombang dengan daya rusak setara dengan 23 ribu bom atom Hiroshima ini menggulung sebagian besar provinsi Aceh dan Kepulauan Nias. Sekitar 170 ribu orang tewas.

Tsunami terbesar kedua di dunia dalam kurun waktu seabad ini memaksa semua pihak bergerak, termasuk para jurnalis. Bagi Adek Berry, tugas ini merupakan salah satu momen penting untuk menyampaikan kabar ini kepada dunia lewat bidikan kameranya.

Berbagai persiapan harus ditempuh fotografer senior kantor berita Perancis, AFP ini, termasuk meminta izin sang suami, Yudiana Sabiruddin, yang mengaku khawatir karena Aceh kala itu masih didera konflik bersenjata. Namun kegigihannya meluluhkan hati sang suami.

“Memang dalam menjalani profesi ini, memberitahu keluarga ketika saya mendapatkan tugas, adalah urutan paling bawah. Setelah pesan pesawat, mengurus penginapan, kamera, laptop, dan lain-lain, baru kabari suami untuk minta izin,” ujar Adek Berry.

Tugas meliput tsunami Aceh menjadi salah satu bagian dari cerita yang dibagikan dalam buku berjudul “Mata Lensa: Jejak Ketangguhan Seorang Jurnalisfoto Perempuan” yang diluncurkan di Pusat Kebudayaan Perancis, Jakarta, Rabu, 29 November 2017 lalu. Buku tersebut diluncurkan menandai perjalan karier perempuan berusia 46 tahun itu selama 20 tahun.

Bagi Adek, menjalani profesi sebagai fotografer perempuan tak selamanya mudah. Kadang iya harus memilih mengejar momen penting di lapangan, ketimbang urusan keluarga. “Saya dari kecil terbiasa untuk mendapatkan apa yang saya mau. Saya akan turuti apa yang orang tua mau untuk mendapatkan izin dari mereka,” ujarnya.

Kerap diremehkan

Kisah lain yang dibagikan Adek Berry dalam buku tersebut, adalah pengalamannya saat meliput kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 di yang menabrak gunung Salak, Bogor,  dalam penerbangan demonstrasi yang berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada 9 Mei 2012 silam. Adek ikut mendaki gunung Salak, untuk mengabadikan proses pencarian para korban.

Saat itu ia hanya memakai sepatu pantofel untuk mendaki gunung setinggi 2,211 meter itu. Ia nekat berangkat tanpa bekal makanan dan minuman yang mencukupi, bersama rombongan tentara, polisi, dan penduduk lokal untuk mencari lokasi jatuhnya pesawat naas itu.

Salah seorang polisi yang berada dalam rombongan pun menaruh simpati. “Kenapa nggak yang cowok aja Mbak yang naik ke sini?” kata polisi itu.

Adek hanya membalas dengan senyum, karena menurutnya perbedaan gender, apalagi sebagai perempuan Muslim berhijab, tidak seharusnya menjadi pembeda bagi dirinya untuk melakukan tugas seberat apa pun. “Hijab dan gender bukanlah penghalang sama sekali. Dunia jurnalistik tidak mengenal gender,” ujarnya.

Tetap konsisten

Adek Berry belajar fotografi ketika masih duduk di bangku kuliah di Universitas Negeri Jember, Jawa Timur. Kecintaannya pada dunia foto jurnalistik, membuatnya harus mengorbankan hal lain demi menghasilkan karya-karya foto yang humanis.

“Foto jurnalis adalah sebuah kejujuran. Kita hanya penjembatan saja. Apa adanya. “Dalam 20 tahun menekuninya, hanya ada satu kata: asyik. Saya mencintai pekerjaan ini with all the pain and gain,” katanya.

Presenter televisi senior Indonesia, Desi Anwar mengaku kagum akan perjalanan karier Adek Berry. “Ketika saya membaca buku ini, saya seperti membaca bagian dari cerita hidup saya juga. Membuat saya mengenang kembali beberapa kejadian seperti Tragedi Mei, Tsunami Aceh, dan lain-lain. Kata-kata yang dipakai Adek sangat jurnalistik, straight to the point tapi mengena di hati, dan bisa dimengerti orang-orang awam,” ucapnya.

Sementara foto jurnalis senior Oscar Motuloh juga memuji kerja keras Adek menuntaskan penulisan buku ini.

“Tugas paling berat menerbitkan buku foto jurnalis adalah menceritakan kembali kisah foto-foto yang dihasilkan. Dari gaya penulisannya, Adek bisa menjadi contoh bagi yang lain,” ucap Oscar.

Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) DKI Jakarta, Hikmat Kurnia, menyebut buku “Mata Lensa” dapat memperkaya literatur dan mendorong budaya literasi bangsa.

“Mbak Adek telah menunjukkan bahwa tidak masalah seorang perempuan atau bukan, yang pasti dia seorang profesional di bidangnya,” ujar Hilman. “Kisah sebuah profesi bisa dibagi sehingga akan muncul tidak hanya orang-orang hebat, tapi perempuan-perempuan yang berani.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.