Melestarikan Ludruk di Tengah Gerusan Zaman
2016.11.11
Surabaya

Suryadi dan temannya, sibuk memilih kostum dan make up. Mereka serius mempersiapkan diri untuk tampil di panggung dalam lakon ludruk berjudul Sarip Tambak Oso yang digelar kelompok Irama Budaya di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya.
Di lakon Sarip Tambak Oso, Suryadi berperan sebagai si mbok atau ibu desa. Ia harus tampil secantik dan semenarik mungkin, meski usianya sudah mencapai 70 tahun.
Dalam penampilannya, Suryadi yang sering disapa Bu Sur selalu menyelipkan nasihat dan petuah kepada penonton. Petuah biasanya disampaikan dengan diselingi banyolan atau lawakan khas ludruk.
Suryadi tak pernah sekalipun absen dalam pentas ludruk Irama Budaya. Dia tampil seminggu sekali atau setiap Sabtu malam, mulai 21.00 – 00.00 WIB.
“Saya tampil karena tidak ingin meninggalkan ludruk. Ini ibarat makanan yang rasanya pahit jika dimakan, namun tak mungkin ditinggal karena sudah jatuh cinta,” ujarnya kepada BeritaBenar, Minggu, 6 November 2016.
Suryadi bergabung di Irama Budaya sejak 2003 atau saat masih bermarkas di Wonokromo yang terletak tak jauh dari terminal Joyoboyo, Surabaya. Sebelumnya, ia pernah bergabung di Ludruk Mega Budaya.
Di Irama Budaya, Suryadi merupakan anggota tertua kedua setelah Emak Unyil yang berusia 73 tahun.
Totalitas Suryadi di ludruk tak terbantahkan, karena sudah 53 tahun berkarya. Dia juga pernah disewa kelompok ludruk binaan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
“Saya pernah disewa Lekra dalam pagelaran ludruk mereka. Namun, saya tidak pernah terlibat apapun yang berbau PKI,” ungkapnya.
Dalam setiap penampilan, Suryadi tidak pernah lepas dari sosok ibu. Saat masih muda, Suryadi memerankan sosok ibu yang jahat. Tapi, saat ini, ia lebih sering tampil sebagai ibu baik nan sederhana.
Sejarah Irama Budaya
Ludruk Irama Budaya berdiri 10 November 1987. Pendirinya adalah Sutris, Bandot, dan Zakia. Dari ketiganya, hanya Sutris yang masih hidup. Dia berperan sebagai sutradara dalam setiap pementasan. Sedangkan Bandot dan Zakia telah meninggal dunia.
Saat ini personel yang aktif mencapai 40 orang. Semuanya terbagi dalam beberapa tim, yakni pemain gamelan, penari remo, bedayan, lawak, dan pembawa kidung.
Mereka yang tergabung di Irama Budaya berlatar belakang seniman murni, meski beberapa di antaranya memiliki pekerjaan lain di luar pemain ludruk.
Irama Budaya sering kali berpindah tempat, tapi tak pernah keluar dari Kota Surabaya. Ketika bermarkas di Wonokromo, Irama Budaya mencapai puncak kejayaan selama tujuh tahun.
“Saat di Wonokromo, disitulah masa keemasan Irama Budaya. Saat itu, kami setiap hari mentas. Tujuh tahun di sana, sebelum pindah ke THR sejak 2010,” terang pemilik Irama Budaya, Deden Wirawan.
Menurut Deden, sebelum jadi Irama Budaya, nama kelompok ludruk ini adalah Waria Jaya dan Kabra Jaya. Meski telah berganti nama, Irama Budaya tetap mempertahankan pemain waria yang berjumlah 15 orang.
Suryadi saat diwawancara di Surabaya, 6 November 2016. (Yovinus Guntur/BeritaBenar)
Ludruk terakhir
Irama Budaya ialah satu-satunya kelompok ludruk terlengkap yang tersisa di Surabaya. Dengan segala upaya, Deden berusaha Irama Budaya terus eksis di tengah gempuran budaya dan seni modern.
Untuk mempertahankan ludruk terus berkembang, salah satunya dilakukan inovasi dengan membuka kelas ludruk bagi anak-anak hingga dewasa.
“Program ini akan kami jalankan, Januari 2017. Saat ini kami sedang susun sistemnya dengan sejumlah pihak,” cetus Deden.
Inovasi memang diperlukan, mengingat regenerasi pemain ludruk tak berjalan dengan baik. Hal ini diperparah dengan minimnya penonton yang hadir dalam setiap penampilan Irama Budaya.
Akibat tergerus zaman, sempat membuat Deden ingin menjual ludruk sudah berusia 29 tahun. Tapi, niat itu diurungkan karena para personel Irama Budaya tak rela dan berkomitmen untuk terus bertahan demi melestarikan ludruk.
Peneliti ludruk, Hendricus Supriyanto mengatakan, tidak ada data pasti mengenai jumlah ludruk yang sesungguhnya.
Menurut hasil sensus kesenian yang pernah dilakukan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur, tahun 1985 terdapat 58 perkumpulan ludruk dengan 1.530 pemain. Dan jumlah itu terus merosot menjadi 14 grup pada 1994.
“Sekarang tidak ada data pasti,” ungkap Hendricus seraya menambahkan, saat ini hanya tersisa kelompok Irama Budaya yang memiliki personel, gedung dan alat perlengkapan sendiri.
Kepala Dinas Pariwisata Surabaya, Wiwik Widayati mengklaim pemerintah memperhatikan keberadaan ludruk dan kesenian lokal lain. Salah satu buktinya dengan menyediakan gedung THR sebagai tempat pertunjukan ludruk, ketoprak, jaranan dan kesenian lain.
Pemerintah, kata Wiwik, tak memungut biaya apapun atas penggunaan fasilitas THR baik listrik maupun air. Khusus ludruk, pemerintah memberikan subsidi Rp5 juta untuk tiap pertunjukan.
“Kami memberi fasilitas dan pembinaan terhadap kelompok kesenian sebagai wujud komitmen pemerintah,” terangnya.
Memang penonton Irama Budaya tak membludak setiap tampil. Jumlahnya hanya berkisar 30-an orang. Hasil penjualan tiket sebesar Rp10.000, dibagi rata jumlah anggota Irama Budaya.
Meski rata-rata anggota Irama Budaya mendapat Rp10.000, tapi tidak mengurangi cinta mereka kepada ludruk.
“Saya tidak ingin ludruk hilang. Meski honor Rp10.000 sekali tampil, saya tidak pernah merasa kekurangan. Itulah keajaiban Tuhan,” pungkas Suryadi.