Dikecam, Instruksi Jokowi Tembak Bandar Narkoba

Polisi tegaskan akan menjalankan tugas sesuai aturan dan tidak sembarang menembak sindikat narkoba.
Rina Chadijah
2017.07.24
Jakarta
170724_ID_Narcotics_1000.jpg Polisi memperlihatkan barang bukti 1.000 kilogram sabu dan salah seorang terduga bandar narkoba yang dibekuk dalam sebuah penggerebekan di Anyer, Serang, Banten, 13 Juli 2017.
AFP

Aktivis hak asasi manusia (HAM) mengecam pernyataan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang menginstruksikan aparat penegak hukum untuk menembak di tempat para bandar narkoba, karena dikhawatirkan akan disalahartikan di lapangan.

Peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono, menilai seharusnya Presiden bisa memilih bahasa lebih lunak dalam memberi pernyataan.

“Pernyataan itu dapat disalahartikan oleh anak buahnya sebagai lampu hijau, untuk melakukan tindakan-tindakan yang mendekati perbatasan hukum,” katanya kepada BeritaBenar, Senin, 24 Juli 2017.

"Sudah saya katakan, sudahlah tegasin saja. Terutama pengedar-pengedar narkoba asing yang masuk dan sedikit melawan. Sudah, langsung ditembak saja. Jangan diberi ampun," ujar Jokowi, dalam pidatonya saat Musyawarah Kerja Nasional Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Jumat pekan lalu, yang disambut tepuk tangan hadirin.

Jokowi saat itu menanggapi salah satu rekomendasi dari PPP agar pemerintah menindak tegas pelanggar Undang-Undang Narkoba.

"Sekarang memang Polri dan BNN (Badan Narkotika Nasional) betul-betul sudah tegas kok," ujar Jokowi.

Pada 13 Juli 2017 lalu, polisi membongkar upaya penyeludupan satu ton sabu dari China melalui Pantai Anyer, Banten. Dalam penyergapan itu, polisi menembak mati seorang warga Taiwan yang diduga pengendali jaringan tersebut dan menangkap dua rekannya.

Menurut Andreas, pernyataan Jokowi itu sangat berbahaya. Padahal polisi memiliki prosedur dalam melakukan penegakan hukum.

“Ada prosedur yang harus dilakukan misalkan tembakan ke udara dan sebagainya, kita berharap para polisi mentaati itu,” ujarnya.

Perintah tembak di tempat yang dianggap meniru gaya Filipina dalam pemberantasan narkoba, juga dinilai akan makin merusak citra Indonesia dalam penegakan HAM.

“Perbaiki dahulu data jumlah pecandu, penanganan napi narkoba dan lain sebagainya. Bukan dengan cara-cara yang represif,” kata Andreas.

Pendapat sama dikatakan Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat, Yohan Misero yang menilai perintah tembak di tempat pengedar narkoba bermasalah karena akan menimbulkan kesalahan lebih besar.

“Kebijakan tembak di tempat akan sangat rawan menimbulkan insiden salah tembak,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima BeritaBenar.

Menurut Yohan, korban yang mungkin muncul dari salah tembak tersebut antara lain anggota penegak hukum dalam penyamaran dan sipil yang tak bersalah.

“Menembak mati seorang pengedar gelap artinya memutus rantai informasi penting yang sangat diperlukan bagi Indonesia untuk meminimalisir peredaran gelap narkoba,” lanjut Yohan.

Tetap berdasarkan hukum

Sementara itu, Juru Bicara Presiden, Johan Budi, mengatakan bahwa Jokowi tidak menginstruksikan tembak mati karena polisi akan bertindak berdasarkan hukum, seperti disampaikan di AFP.

Pendapat tersebut didukung oleh Kepala Divisi Humas Polri, Irjen. Pol. Setyo Wasisto, yang menyatakan polisi tetap menjalankan tugas sesuai aturan dan tak akan sembarangan menembak sindikat narkoba.

"Semua kan pasti berdasarkan penyelidikan. Kita menyelidiki. Ya, moga-moga tidak salah (tembak)-lah. Kalau sudah hasil penyelidikan yang matang, kita tahu siapa pelaksananya, ya itu yang kita sasar," katanya sebagaimana dikutip dari laman Detik.com.

Setyo mengimbau bandar narkoba untuk bersikap kooperatif. Tembak di tempat  adalah upaya terakhir polisi untuk melumpuhkan sindikat narkoba.

“Jika melawan, siap-siap ditembak mati. Kita upayakan itu (tembak) upaya terakhirlah untuk melumpuhkan. Tapi bukan eksekusi langsung. Nanti dilihat di lapangan," tutur Setyo.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan polisi akan menindak tegas jaringan narkoba, terutama sindikat luar negeri.

"Saya menekankan ke jajaran Polri, kami menindak tegas dan keras, terutama pelaku asing, bahkan sudah saya sampaikan ya selesaikan secara 'adat', artinya ditembak," katanya.

Perlu ketegasan

Namun, Gerakan Anti Narkoba (Granat) menilai, kondisi darurat narkoba mendesak untuk dilakukan tindakan lebih tegas lagi bagi para pengedar narkoba sebab barang haram itu telah membunuh ratusan nyawa warga dalam sebulan.

Ketua Granat, Hendry Yosodiningrat, mengatakan Indonesia sangat patut mencontoh Filipina dalam hal menangani dan memberantas narkoba.

“Beberapa waktu lalu saat Jokowi pulang dari Filipina dan bertemu Duterte, saya berharap malah tindakan tegas seperti di Filipina itu sudah perlu diterapkan di Indonesia,” katanya saat dihubungi BeritaBenar.

Hendry menambahkan pemerintah tidak perlu terlalu khawatir dengan suara miring yang mengedepankan argumentasi HAM karena menurutnya saat ini Indonesia memang telah jadi surga bagi para pengedar narkoba internasional.

“Sudah sepantasnya kita menyelamatkan generasi muda dari narkoba. Kalau tidak tegas seperti itu, bangsa kita akan semakin hancur karena peredaran narkoba,” ujarnya.

Merujuk pada data BNN, jumlah pengguna narkoba di Indonesia pada akhir 2015 mencapai 5,9 juta orang, meningkat drastis dari 4,2 juta pengguna pada bulan Juni tahun yang sama. Rata-rata pengguna narkoba disebut berusia 25-30 tahun. Sementara jumlah pecandu narkoba yang meninggal dunia mencapai 40 hingga 50 orang per hari.


Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.