Campak, Gizi Buruk di Asmat, Puluhan Anak Meninggal

Aktivis: Sering terjadinya problem kesehatan di Papua yang berujung banyaknya kematian, masyarakat bisa gugat pemerintah.
Victor Mambor
2018.01.18
Jayapura
180118_ID_Asmat_620.jpg Seorang anak penderita gizi buruk dipangku orang tuanya di Kabupaten Asmat, Papua, 8 Januari 2018.
Agus Pabika/BeritaBenar

Upaya menanggulangi wabah campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua, masih dilakukan berbagai pihak, sementara jumlah korban meninggal dunia dilaporkan terus bertambah.

Bupati Asmat, Elisa Kambu menyatakan bahwa pihaknya telah menurunkan tim ke 224 kampung di 23 distrik untuk mencegah meluasnya penyakit campak dan menyalurkan bantuan makanan kepada warga.

“Tidak semua wilayah dapat dijangkau dengan mudah, ditambah lagi warga di kampung-kampung sering ke hutan dan berpindah-pindah tempat tinggal,” katanya saat dihubungi BeritaBenar dari Jayapura, Kamis, 18 Januari 2018.

“Tim terus bergerak menyisir kampung-kampung di seluruh distrik. Jadi bukan semata di distrik ditemukan kasus campak dan gizi buruk.”

Elisa menyatakan hingga kini pihaknya masih mendata jumlah korban meninggal akibat penyakit campak dan kasus gizi buruk yang menyerang daerah pedalaman itu sejak empat bulan lalu.

Kepala Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Asmat, Steven Langi, menyatakan korban meninggal dunia mencapai 67 anak akibat campak dan gizi buruk, sejak September lalu.

“Hasil pendataan sementara diketahui bahwa korban yang terkena campak dan gizi buruk mencapai 500 orang lebih,” katanya kepada wartawan.

Pit Supardi, staf keuskupan di Agats – ibukota Asmat – menyebutkan kasus campak dan gizi buruk terjadi hampir merata di seluruh daerah Asmat.

Saat ini, katanya, beberapa tim penanggulangan kesehatan sudah berada di Asmat untuk melakukan tindakan medis dan pencegahan meluasnya campak, termasuk dari TNI dan Polri.

“Tim kesehatan TNI dan Polri selain melakukan tindakan pengobatan juga melakukan pendataan terhadap warga Asmat yang menderita gizi buruk dan campak,” kata Pit.

Kabid Humas Polda Papua Kombes AM Kamal yang dihubungi BeritaBenar mengatakan tim kesehatan TNI dan Polri mendatangi satu per satu rumah untuk mengetahui dan melihat kondisi anak dan orang tua yang terkena penyakit.

Ia menambahkan tim medis TNI dan Polri juga telah mengirim bantuan gizi, obat-obatan dan susu.

Bukan kasus pertama

Krisis kesehatan sejatinya bukan yang pertama di Papua. Dalam rentang waktu Januari 2016 hingga awal 2018 setidaknya lebih seratus anak dan balita meninggal dunia mulai dari Deiyai, Nduga, Koroway hingga Asmat.

“Kejadian seperti ini pernah terjadi di Deiyai, Dogiyai, Nduga dan Koroway. Tidak perlu saling menyalahkan,” kata Gubernur Papua, Lukas Enembe kepada BeritaBenar.

April hingga Juli 2017, menurut dia, 50 balita meninggal dunia di distrik Tigi Barat, Kabupaten Deiyai.

Sesudah itu, Juli hingga Oktober 2017, sebanyak 35 anak Papua meninggal di Kampung Yigi, Distrik Inikgal, Kabupaten Nduga. Tahun-tahun sebelumnya pun terjadi kematian anak Papua dalam jumlah banyak.

Enembe mengaku telah memerintahkan Dinas Kesehatan Papua untuk mengumpulkan data valid mengenai 67 anak yang dinyatakan meninggal akibat wabah campak dan gizi buruk di Asmat.

"Harus dipastikan nama, jenis kelamin, alamat hingga nama orang tua dari anak-anak yang dinyatakan meninggal," katanya.

Selama ini, kekurangan dokter umum, dokter spesialis, mantri, Puskesmas dan Puskermas Pembantu (Pustu) memang menjadi persoalan utama dalam pembangunan kesehatan di Papua.

"Semua alasan ini dijadikan sebagai faktor penyebab bila terjadi kasus kesehatan besar yang menarik perhatian dari banyak pihak seperti di Asmat saat ini," kata Pastor Neles Tebay, Kordinator Jaringan Damai Papua.

Alasan-alasan tersebut, menurutnya, sudah harus disingkirkan. Warga Papua, terutama Orang Asli Papua harus menemukan solusi alternatif guna mengatasi masalah kesehatan yang kerap terjadi.

“Solusi tepat guna sehingga tidak terlalu bergantung pada tenaga medis,” katanya.

"Penanganan masalah kesehatan merupakan tanggung jawab bersama. Tak benar kalau sektor kesehatan dipandang sebagai monopoli pemerintah saja, baik pemerintah pusat, provinsi, dan pemerintah kabupaten."

Menggugat pemerintah

Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Papua Barat, Yan Christian Warinussy, menyebutkan berulangnya kematian di Papua berpotensi menjadi pelanggaran hak asasi manusia yang serius.

“Amanat pasal 28H ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 berbunyi setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,” katanya.

Ia menambahkan kematian anak-anak di Asmat tak sesuai dengan alokasi dana Otonomi Khusus (Otsus) sebanyak 15 persen untuk kesehatan yang diplot dari Provinsi Papua ke Kabupaten Asmat.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jayapura, Simon Patirajawane menjelaskan masyarakat bisa saja menggugat pemerintah yang dianggap lalai menjalankan fungsinya memenuhi hak warga negara.

“Sudah banyak anak dan balita meninggal dunia sebelum kejadian di Asmat. Setahu saya tahun lalu banyak juga anak Papua yang meninggal. Sebagai warga negara, kita berhak mempertanyakan kinerja pemerintah,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.