Kala Penderita Kanker Menggugat

BPJS mengatakan Trastuzumab dihapus dari tanggungan karena tidak memiliki indikasi medis untuk kanker payudara.
Arie Firdaus
2018.09.18
Jakarta
180918_ID_BPJS_1000.jpg Penggugat BPJS Juniarti Tanjung (kanan) dan kuasa hukumnya Rusdianto Matulatuwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 18 September 2018.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Kejadian Januari lalu itu masih membekas di pikiran Juniarti Tanjung. Sebuah benjolan mendadak muncul di lehernya.

Penasaran dengan musababnya, ia kemudian memeriksakan diri ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dengan skema jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Oleh dokter Puskesmas, karena keterbatasan alat dan prasarana, Juniarti lantas dirujuk ke rumah sakit guna melakukan biopsi atau pengambilan jaringan tubuh untuk pemeriksaan laboratorium.

Sebulan kemudian, hasilnya datang ibarat petir di siang bolong: ia dinyatakan menderita kanker payudara HER-2 positif.

"Menurut dokter, sel kanker sudah menyebar ke organ tubuh lain," tutur Juniarti di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 18 September 2018.

Juniarti terperangah, namun tidak patah arang. Ia melanjutkan pengobatan.

Apalagi BPJS selaku lembaga penjamin kesehatan yang ditunjuk pemerintah turut menanggung biaya obat Trastuzumab yang merupakan salah satu "obat wajib" para penderita kanker payudara.

Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) Linda Gumelar menyebutkan kanker payudara merupakan jenis kanker tertinggi dengan kasus kematian terbanyak di Indonesia.

Menurut sistem informasi rumah sakit, seperti dilansir laman Detik.com, 7 September lalu, pada tahun 2010 jumlah pasien kanker payudara mencapai 21.014 orang.

Di pasaran, obat Trastuzumab terhitung mahal dengan harga mencapai Rp25 juta untuk setiap penggunaan. Juniarti membutuhkan 16 kali sesi pengobatan Trastuzumab.

Setelah beberapa kali pengobatan, kondisinya membaik. Harapan sembuh pun menguat.

Tiba-tiba, sebuah surat dari Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan yang ditujukan kepada Kepala Cabang BPJS Kesehatan di seantero Indonesia yang diteken pada Februari 2018 meruntuhkan keyakinan Juniarti.

Terhitung 1 April 2018, Trastuzumab dikeluarkan dari daftar obat yang ditanggung BPJS untuk penderita kanker HER-2 positif.

Dalam pernyataannya, BPJS menyatakan obat itu tidak memiliki dasar indikasi medis bagi pasien kanker payudara, merujuk pada keputusan Dewan Pertimbangan Klinis BPJS.

"Permasalahan harga bukan faktor utama," kata juru bicara BPJS Nopie Hidayat, Juli lalu seperti dikutip dari laman Kompas.com.

Alasan BPJS ini tak dapat diterima Juniarti dan keluarganya. Lewat unggahan di akun Facebook, Edy Haryadi yang merupakan suami Juniarti, justru menyebut obat tersebut bermanfaat dan membantu penyembuhan.

"Obat itu memang mahal. Tapi apakah karena mahalnya harga obat menyebabkan penderita kanker payudara HER-2 positif mengalami diskriminasi untuk mendapatkan pengobatan terbaik?" tulis Edy.

"BPJS seolah tengah membisniskan perkara nyawa."

Tak lama, mereka pun menggugat BPJS ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di antara para tergugat juga dimasukkan Presiden Joko "Jokowi" Widodo, Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek, dan Dewan Pertimbangan Klinis BPJS.

Sering tertunda

Gugatan terkait Trastuzumab didaftarkan Juniarti pada 27 Juli 2018. Ia menggugat karena menilai telah terjadi perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

Sejak saat itu, beberapa persidangan telah digelar. Hanya saja, pihak tergugat seringkali tidak datang sehingga akhirnya persidangan ditunda oleh majelis hakim.

"Mereka seperti menunda persidangan dan tidak serius," ujar kuasa hukum Juniarti, Rusdianto Matulatuwa, kepada BeritaBenar .

Dia mencontohkan sikap kuasa hukum yang mewakilkan Presiden Jokowi di persidangan lalu yang hadir membawa surat kuasa kosong.

"Enggak ada tanda tangan pemberi kuasa. Kok bisa?" tambah Rusdianto.

Permasalahan soal pemberian kuasa ini selesai pada persidangan yang digelar Selasa, sehingga Ketua Majelis Hakim Mery Taat dapat melanjutkan agenda sidang berupa mediasi.

"Mudah-mudahan dapat solusi yang terbaik, win-win solution," kata hakim Mery sebelum menutup persidangan.

Mediasi berlangsung tak lama setelah persidangan dipungkasi dalam sebuah ruangan di kompleks pengadilan, dihadiri Juniarti beserta kuasa hukumnya dan para perwakilan tergugat yakni Presiden Jokowi, Menteri Kesehatan, BPJS, dan Dewan Pertimbangan Klinis BPJS.

Tak ada komentar dari para perwakilan pejabat negara seusai mediasi. Mereka berlalu tanpa memberikan komentar kepada wartawan.

Adapun disampaikan Rusdianto, terdapat beberapa ketidaksepahaman sepanjang proses mediasi.

"Terutama dengan BPJS," katanya.

Ketidaksepahaman itu, terangnya, seputar keinginan BPJS yang ingin memasukkan syarat tambahan seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI) sebelum kembali bersedia menanggung bea Trastuzumab.

Padahal dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 22 Tahun 2018, agar Trastuzumab ditanggung oleh BPJS cukup dengan mengajukan hasil Imunohistokimia, metode yang digunakan untuk mengidentifikasi jaringan tubuh dengan ciri tertentu.

"Kami kurang sependapat karena itu seolah memberi syarat tambahan dan klien kami harus mengeluarkan uang tambahan," kata Rusdianto.

"Jangan tambahkan syarat yang tidak diatur.”

Lantaran mandek, persidangan antara pihak bersengketa akan dilanjutkan, Senin pekan depan dengan agenda mediasi lanjutan oleh majelis hakim.

"Kalau BPJS masih sama, kami akan menolak," pungkas Rusdianto.

Menutup defisit BPJS?

Apakah penghapusan Trastuzumab dari tanggungan BPJS disebabkan karena obat itu memang tidak efektif atau sebagai upaya pemerintah untuk menutup defisit penyelenggara jaminan sosial kesehatan tersebut? Belum ada jawaban yang pasti.

Namun BPJS memang terus-menerus tekor dalam beberapa tahun terakhir.

Pemerintah mengungkapkan pada 2017, BPJS merugi sebesar Rp9,75 triliun.

Dan pada tahun ini BPJS diproyeksikan defisit sebesar Rp16,58, yang merupakan gabungan Rp4,4 triliun kerugian bawaan tahun lalu dan Rp12,1 proyeksi defisit hingga akhir tahun.

Tak ada komentar dari juru bicara BPJS, Iqbal Anas Maruf, terkait persidangan gugatan Juniarti.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.