Operator Batubara Indonesia Protes Larangan Ekspor Januari, Janji Tutupi Kekurangan Domestik
2022.01.03
Jakarta

Operator tambang batubara di Tanah Air pada Senin (3/1) memprotes larangan ekspor dari pemerintah atas mineral tersebut selama Januari, dengan mengatakan keputusan itu hanya akan melambungkan harga bahan bakar itu dan merusak kepercayaan importir terhadap Indonesia yang merupakan salah satu pemasok batubara terbesar di dunia.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengambil langkah yang diperlukan pekan lalu untuk menghentikan ekspor batu bara karena produsen lokal dinilai gagal memasok 25 persen dari produksi mereka untuk keperluan domestik, kata para analis. Mereka menambahkan bahwa negara harus membayar harga pasar untuk batu bara yang dibelinya, bukan US$ 20 di bawah harga global.
Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) mendesak pemerintah untuk mencabut larangan tersebut, dengan mengatakan perusahaan akan segera memenuhi kuota yang dibutuhkan untuk memasok batubara ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batubara.
“Kebijakan diambil secara tergesa-gesa dan tanpa dibahas dengan pelaku usaha. Kami menyatakan keberatan dan meminta Menteri ESDM untuk segera mencabut surat tersebut,” kata Pandu Sjahrir, ketua APBI.
Indonesia mengekspor 29 juta ton batu bara pada Januari 2021, sedikit turun dari 32 juta ton pada Januari 2020. Hampir 32 persen dari total produksi batu bara Indonesia sebesar 405 juta ton diekspor ke China pada 2020. Pembeli utama lainnya termasuk India, Filipina, Jepang, Malaysia dan Korea Selatan – tidak satu pun dari mereka yang berkomentar terhadap potensi pengaruh atas impor mereka.
Pekan lalu Kementerian ESDM menghentikan ekspor perusahaan batu bara untuk Januari, dengan alasan operator batu bara telah gagal memenuhi kewajiban mereka untuk memasok setidaknya seperempat dari produksi mereka untuk kebutuhan dalam negeri. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), perusahaan utilitas negara, mengamankan pasokan batu baranya 20 hari sebelum digunakan untuk pembangkit listrik.
Kementerian menambahkan bahwa kekurangan tersebut dapat mempengaruhi hampir 20 pembangkit listrik, yang menghasilkan listrik untuk 10 juta konsumen.
“Saat pasokan batu bara untuk pembangkit sudah terpenuhi, maka akan kembali normal, bisa ekspor. Kita akan evaluasi setelah tanggal 5 Januari 2022 mendatang,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin dalam situs resmi Kementerian, Sabtu (1/1).
APBI mengatakan bahwa penghentian sementara ekspor akan membuat harga batu bara melonjak dan mengakibatkan hilangnya pendapatan hingga US$3 miliar untuk Januari.
Bukan hanya itu, dampak pelarangan juga akan menimbulkan kondisi ketidakpastian bagi kapal-kapal dari negara konsumen batu bara Indonesia yang hendak mengambil pasokan, “dan hal ini berakibat pada reputasi dan keandalan Indonesia selama ini sebagai pemasok batu bara dunia.”
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia kepada CNBC Indonesia mengatakan pemerintah dan pengusaha sedang melakukan pembicaraan intensif perihal kebijakan ini. Pengusaha, katanya, juga berjanji untuk ikut mencari solusi pemenuhan pasokan batu bara untuk PT PLN itu, namun belum menjelaskan lebih detail.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan kebijakan ini tidak adil, pasalnya tidak semua pengusaha lalai memenuhi kewajiban minimal 25 persen pasokan dari produksi batu bara yang dihasilkan untuk kebutuhan domestik.
“Kami berharap agar pemerintah menerapkan sistem reward dan penalties yang adil dan konsisten, bukan memberlakukan sistem sapu jagad kepada seluruh perusahaan batu bara,” kata Arsjad.
Menteri Keuangan: Pilihan sulit
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Senin mengatakan kebijakan pelarangan ekspor batu bara selama Januari ini, dilakukan karena pemerintah mengutamakan kebutuhan rakyat dengan mendorong kepatuhan perusahaan batu bara pada kewajiban yang juga dikenal dengan nama Domestic Market Obligation (DMO) itu.
“Pilihan sulit apakah listrik RI mati dan kita ekspor batu bara, jadi pilihan policy ini akan dicoba secara hati-hati. Pasti ada pengorbanannya karena tidak ada pilihan free. Pemerintah cari yang dampaknya seminimal mungkin bagi rakyat, namun distorsi juga kecil. Makanya, DMO diputuskan,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers.
Pemerintah memahami dampak kerugian yang bakal ditanggung Indonesia karena kebijakan ini, kata Sri Mulyani, merujuk momentum masih tingginya harga batu bara di pasar global saat ini.
“Kita lihat ada isu harga batu bara, keputusan DMO, dan listrik dalam negeri. Kita dipaksa harus memilih di situasi yang mengalami perubahan cepat,” katanya.
Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan sebelumnya mengatakan pemerintah telah beberapa kali mengingatkan para pengusaha untuk memenuhi komitmennya dalam memasok batu bara ke PLN. Per 1 Januari 2022, catatan Kementerian menyebutkan pasokan nasional hanya dipenuhi kurang dari 1 persen atau sekitar 35 metrik ton dari target 5,1 juta metrik ton.
“Jumlah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan tiap PLTU yang ada. Bila tidak segera diambil langkah-langkah strategis maka akan terjadi pemadaman yang meluas," katanya.
Sementara itu, Kementerian Energi Korea Selatan dalam keterangan resmi yang dikutip Reuters mengatakan larangan ekspor tidak akan begitu mengganggu kebutuhan dalam negerinya lantaran pengiriman pasokan dari Indonesia untuk bulan ini sudah dalam perjalanan.
Kendati demikian, pihaknya mengatakan akan memantau dengan dekat perkembangan kebijakan ini.
Langkah tegas
Direktur Eksekutif Energy Watch, lembaga think-tank yang berfokus pada sektor energi, Mamit Setiawan mengatakan larangan ekspor batu bara sudah tepat karena bila tidak segera dilakukan, pada akhirnya perekonomian nasional juga akan terganggu.
“Masyarakat akan terdampak karena listrik adalah kebutuhan primer…menjaga keberlangsungan ekonomi penting karena setelah hampir dua tahun pandemi, kondisi perekonomian sudah mulai bergeliat lagi. Jika melambat karena stok batu bara, akan sangat disayangkan,” kata Mamit kepada BenarNews.
Kebijakan ini menurutnya perlu menjadi catatan penting bagi komitmen perusahaan pada pasokan dalam negeri. Terlebih, PLN telah lama mengingatkan bahwa ada gap antara DMO dengan pemenuhan kebutuhan batu bara untuk listrik pada 2022. “Jadi, ini juga langkah tegas pemerintah dan kesempatan membuktikan bahwa negara hadir dalam memenuhi kebutuhan energi masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah juga perlu meninjau ulang kebijakan DMO yang mematok harga jual batu bara yang rendah dibandingkan pasar global.
“Kenapa penambang enggan, karena disparitas harga pasar dengan DMO jauh sekali, tentunya pengusaha tidak salah juga mencari profit,” kata Fabby dalam pernyataan tertulis kepada BenarNews.
Kementerian ESDM mematok harga DMO batu bara sebesar U.S.$70 per ton, sementara para pengusaha menilai harga tersebut seharusnya mengikuti dinamika pasar yang saat ini mematok harga beli di angka berkisar U.S.$90 per ton.