Tokoh Masyarakat Katakan Keluarga telah Setujui Pemotongan Nisan Salib

Sultan Hamengkubuwono X menolak kasus kontroversial itu dicap sebagai tindakan intoleran.
Kusumasari Ayuningtyas
2018.12.19
Yogyakarta
181219-ID-cemetery-620.jpg Seorang warga memotret tanda salib yang telah dipotong pada kuburan Albertus Slamet Sugihardi di Purbayan, Kota Gede, Yogyakarta, 19 Desember 2018.
Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar

Pemotongan nisan salib di makam seorang warga Nasrani di sebuah pemakaman di Purbayan, Kota Gede, Yogyakarta, dibenarkan oleh tokoh masyarakat setempat yang mengatakan bahwa keluarga almarhum Albertus Slamet Sugihardi, warga yang dimakamkan itu, telah menyetujui keputusan tersebut.

Foto pemotongan papan nama berbentuk salib tersebut viral di sosial media dan menuai kecaman berbagai pihak yang menilai hal itu sebagai tindakan intoleransi beragama.

BeritaBenar tidak bisa menghubungi keluarga Albertus untuk mengkonfirmasi klaim tokoh masyarakat itu.

Bedjo Mulyono, tokoh masyarakat yang cukup berpengaruh di Purbayan mengatakan para tetangga Albertus yang mayoritas Muslim membantu menangani jenazah Albertus.

“Sangat disayangkan ada pihak yang bisa-bisanya menyebarkan foto dengan keterangan menyesatkan seperti itu. Kita yang awalnya damai-damai saja tak ada masalah tiba-tiba jadi terkenal dan dituduh intoleran,” ujarnya.

Bedjo menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di desanya pada Senin, 17 Desember lalu, setelah Ketua RW setempat mengumumkan meninggalnya Albertus.

“Saya lalu mengkoordinasi warga untuk mempersiapkan pemakaman seperti menggali kubur, alat pemandian jenazah dan peralatan lain, sementara pemuka agama Kristiani bertugas mempersiapkan peribadatan,” jelas Bedjo.

Warga pun ikut membantu dari penjemputan jenazah di rumah sakit hingga selesainya pemakaman.

Sesuai keinginan Albertus, jenazah dikuburkan di pemakaman umum setempat, yaitu Makam Jambon, Purbayan. Albertus menjadi satu-satunya warga Kristen yang dikuburkan di pemakaman itu, yang lainnya semuanya adalah Muslim.

“Tetapi ada syaratnya, yaitu tidak boleh ada simbol Kristiani,” ujar Bedjo.

Disaksikan warga dan keluarga Albertus, papan nama dipotong usai mayat dikebumikan dan prosesi pemakaman sudah selesai, demikian kata Bedjo.

BeritaBenar belum bisa menghubungi janda mendiang Albertus untuk mendapatkan komentarnya.

“Ternyata ada yang memfoto, lalu menyebarkannya ke media sosial dengan keterangan yang provokatif,” kata Bedjo.

Saling berbaur

Tidak ada aktivitas apa pun terlihat di kediaman Albertus ketika BeritaBenar mendatangi rumah duka, Rabu siang.

Sang istri, Maria Sutris Winarni tidak diketahui secara pasti apakah berada dalam rumah atau tidak.

Di Kampung Purbayan terdapat tiga rukun warga, dengan jumlah penduduk sekitar 700 orang. Dari jumlah itu, hanya tiga rumah yang dihuni warga beragama Kristen.

Menurut Bedjo yang dibenarkan sejumlah warga, hubungan antar-warga sangat dekat, termasuk dengan tiga keluarga beragama Kristen.

“Tidak ada diskriminasi. Ketiga kepala keluarga yang berbeda keyakinan turut membaur bersama warga lain,” katanya.

Bedjo menjelaskan selama hidupnya, Albertus juga sering membantu ibu-ibu pengajian dalam berlatih paduan suara, sementara Maria selalu terlibat dalam kegiatan desa.

“Kita di sini sangat dekat, hubungan kami baik. Kalau tidak baik, tentunya kami tak akan membantu prosesi pemakaman kemarin,” ujarnya.

Terkait sepinya rumah Maria, Bedjo menduga yang bersangkutan masih dalam suasana berduka sehingga belum ingin diganggu.

“Apalagi ketika foto pemotongan salib itu viral, keluarga almarhum juga kaget,” katanya.

Mengenai pelaksanaan misa arwah di Gereja Katolik Santo Paulus Pringgolayan sebelum pemakaman, Bedjo mengatakan hal itu sudah menjadi kesepahaman sejak dulu.

Menurutnya, selama ini setiap peribadatan warga non-Muslim digelar di luar Kampung Purbayan.

Menyangkut kabar di media soal ada pembubaran ibadah mendoakan arwah Albertus, Ketua Lingkungan Greorius Agung Sanjaya (GAS) Wiwik Jati menampiknya.

Dia menegaskan tidak ada pembubaran ibadah dan misa arwah berjalan lancar tanpa gangguan meski tidak dilakukan di rumah almarhum.

“Sembahyang berlangsung lancar di gereja,” ujar Wiwik kepada wartawan.

Keluarga Albertus memang anggota Gereja Santo Paulus Pringgolayan, yang merupakan bagian lingkungan Gregorius Agung Sanjaya.

Sejak dulu keluarga almarhum melakukan aktivitas peribadatan di gereja yang berjarak sekitar 2,5 km dari Purbayan, kata Wiwik.

Menolak disebut intoleran

Peneliti Setara Institute, Halili menyayangkan pemotongan salib di makam Albertus karena menurutnya, itu mengindikasikan melemahnya basis toleransi di Yogyakarta.

“Kasus Purbayan menegaskan buruknya inklusi sosial keagamaan. Ini menuntut tindakan pemerintah lebih inklusif dan membelajarkan, serta perencanaan program-program pembangunan sosial yang lebih inklusif dan kondusif bagi promosi intoleransi,” ujarnya, dalam siaran pers.

Halili meminta Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X untuk mengoptimalkan otoritas sosio-politik dan sosio-kulturalnya, mengambil peran dalam praktik dan promosi toleransi dengan menjamin kesetaraan hak seluruh warga.

Namun, Sultan menolak jika kasus itu dicap sebagai tindakan intoleran warganya.

Menurutnya, pemotongan salib terjadi setelah ada kesepakatan di antara warga dengan keluarga almarhum sehingga tidak bisa disebut intoleran.

“Tidak seperti itu, bukan masalah pemotongan, itu masyarakat Muslim mereka yang ada di situ ada agama yang berbeda. Daripada pemakaman ke Mrican (berjarak 10 km dari Purbayan), mereka sepakat untuk dimakamkan ke situ. Terus ada kesepakatan, itu saja,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.