Tiga Pengarak Siswi Telanjang di Sragen Dihukum Penjara
2016.06.15
Klaten

Sepasang suami istri di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Sukamto (55) dan Wiji Lestari (27), divonis masing-masing empat tahun penjara dan denda Rp1 miliar atas perbuatan mereka mengarak telanjang seorang remaja putri 14 tahun berinisial RS.
Mereka dijerat dengan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Vonis ini lebih berat satu tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dalam sidang sebelumnya menuntut hukuman 3 tahun penjara terhadap Sukamto dan Wiji – yang merupakan tetangga korban.
“Apabila terpidana tidak bisa membayar denda, maka diganti dengan hukuman 6 bulan penjara,” ujar Hakim Ketua, Dwi Hatmodjo saat membacakan putusannya di Pengadilan Negeri (PN) Sragen, Senin, 13 Juni 2016.
Majelis hakim menyatakan bahwa pasangan suami istri Sukamto dan Wiji terbukti telah bersalah melakukan tindak pidana pornografi, yaitu bersama-sama mempertontonkan orang lain di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan.
Hakim juga menghukum adik kandung Sukamto, Sukarno (40) dengan 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan karena dia ikut dalam aksi pengarakan RS di sepanjang Jalan Raya Sukowati, Sragen, pada 10 Januari 2016.
Saat itu, Sukarno mengendarai motor dan mengikuti arak-arakan dari belakang sambil meneriakkan, “Malinge wes ketemu” (malingnya sudah ditemukan) di sepanjang jalan pengarakan RS yang mencapai 800 meter.
Menanggapi putusan itu, ketiganya menyatakan menerima hukuman yang dijatuhkan majelis hakim. Mereka sudah ditahan sejak 15 Januari 2016 setelah kasus pengarakan dilaporkan ke kepolisian setempat.
Sementara itu, Karni Broto Mindarjo (65) ibu kandung Sukamto, yang ikut melakukan pengarakan, tak hadir dalam persidangan karena masih dirawat di rumah sakit, sejak 4 Juni lalu. Kabarnya, ia sempat kritis pada 8 Juni sehingga sidang putusan yang dijadwalkan tanggal 9 Juni terpaksa diundurkan.
Tidak ada yang mencegah
RS merupakan siswi kelas 1 salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Sragen. Ia diarak telanjang tanpa sehelai benang pun di tubuh oleh keempat pelaku setelah ketahuan mencuri sejumlah pakaian bekas dan sandal di rumah mereka, yang tidak jauh dari rumah RS, akhir Desember 2015.
Saat bersaksi 11 Maret lalu, RS mengakui perbuatannya. Dia mengatakan mencuri pakaian karena ingin memakai baju yang bagus karena selama ini tidak pernah dibelikan oleh kedua orangtuanya yang miskin.
Mengetahui baju-bajunya dicuri, pada 10 Januari 2016, Sukamto dan Wiji mendatangi rumah korban. RS ditarik paksa keluar dari kamarnya. Satu tangan Sukamto memegang RS, sementara tangannya yang lain menelanjangi korban hingga tak sehelai benang pun tersisa sambil diawasi oleh istrinya.
RS kemudian diarak dengan berjalan kaki diiringi tabuhan gong yang dipukul oleh Karni. Di sepanjang jalan, Sukamto dan Wiji serta Sukarno meneriaki RS dengan makian dan mendorong tubuh korban setiap kali ia berusaha menutupi bagian vital tubuhnya.
Tidak ada seorang pun warga yang berani menghentikan aksi itu karena keluarga Sukamto dan Wiji diketahui sebagai keluarga yang cukup terpandang dan kaya serta ditakuti di Kecamatan Karangmalang, Sragen.
Menurut keterangan Humas PN Sragen, Agung, dalam kesaksian pada sidang tertutup, RS mengakui sempat disidang oleh keluarga Sukamto dan Wiji dengan dihadiri oleh Ketua RT dan kedua orang tuanya. Saat itu, Ketua RT sempat mengusulkan agar kasus pencurian dilaporkan ke polisi saja.
Tetapi Wiji menolak usulan itu dan memilih untuk menelanjangi RS untuk mengaraknya keliling kampung. Mendengar hal itu, Ketua RT tidak bisa melarang dan memilih tak ikut campur. Sementara orang tua angkat RS tidak berkutik karena diancam oleh Sukamto.
Hukuman dinilai setimpal
Ketua Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS) Sragen, Sugiarsi mengaku geram dan tidak habis pikir karena tak ada seorang warga pun dan perangkat desa yang berusaha mencegah aksi penelanjangan itu.
“Banyak orang yang melihat tindakan bejat tidak berperikemanusiaan itu, tapi tidak ada yang menghentikan atau menahannya,” sesal Sugiarsi yang melaporkan aksi tersebut ke polisi.
Sugiarsi yang telah mendampingi RS sejak awal kasus ini mencuat mengaku puas dengan putusan hakim yang telah menjatuhkan vonis lebih berat dari tuntutan JPU. Menurutnya, hukuman itu cukup setimpal.
Dia juga berterima kasih kepada media yang turut mengawal kasus ini. Bahkan, kedua orang tua RS yang sebelumnya lumpuh karena mengalami patah kaki akibat tabrak lari pihak tidak bertanggung jawab telah mendapat donatur untuk biaya pengobatan.
Kasus ini juga mendapat perhatian dari Ketua Dewan Konsultatif Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Seto Mulyadi, yang mengunjungi RS pada 24 Januari. Setelah bertemu, akhirnya Seto memutuskan untuk menjadikan RS sebagai anak asuhnya dan membiayai sekolah sampai lulus SMA.