Menanti Penjara Khusus Teroris
2016.12.28
Jakarta

Banyaknya terduga teroris yang ditangkap yang terbukti menjadi radikal karena pengaruh narapidana (napi) terorisme lainnya di penjara, menyebabkan pemerintah berencana untuk memisahkan napi teroris dengan tahanan lain untuk mencegah penyebaran paham radikal, dengan membangun penjara khusus.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Sri Puguh Budi Utami, menyatakan penjara khusus teroris kini dalam tahap penyelesaian di Sentul, Bogor, Jawa Barat, dan diperkirakan bisa beroperasi, pertengahan 2017.
“Ada 47 sel yang disiapkan. Nanti satu napi akan mengisi satu sel,” jelasnya.
Tapi mereka ditahan di sana bukan napi berisiko tinggi, melainkan yang telah ikut program deradikalisasi.
Untuk teroris berisiko tinggi dan sulit diajak kerjasama, pemerintah menyiapkan penjara khusus di Nusakambangan, yang diperkirakan tahun 2019 sudah dapat menampung para napi.
“Ada 500 sel disiapkan. Di situ nanti tidak hanya napi teroris, tapi juga napi high risk lain seperti bandar narkoba. Koruptor rencananya juga akan ditempatkan di situ,” ujarnya.
Radikalisasi di penjara
Salah seorang dari tiga terduga teroris yang tewas saat penggerebekan di Tangerang Selatan, Banten, 21 Desember lalu, Abdul Rauf alias Omen, adalah bekas napi kasus pembunuhan, tahun 2011, yang menjadi radikal di penjara, demikian kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Menurut Tito, Omen yang menjalani hukuman tujuh tahun di Penjara Cipinang, Jakarta Timur, berinteraksi dengan napi kasus terorisme Abu Haikal alias Keong, yang terlibat kasus peledakan bom di Kedubes Myanmar, tahun 2013. Abu Haikal adalah murid Dulmatin.
Dulmatin yang merupakan tokoh Jamaah Islamiyah (JI) dan terlibat dalam serangan bom Bali 2002, tewas dalam penggerebekan di Pamulang, Jawa Barat, 9 Maret 2010.
Selain Omen, Juhanda – tersangka bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda, Kalimantan Timur, pada 13 November lalu– juga residivis kasus teror bom Puspitek di Serpong, pada 2011. Ia dipenjara 3,5 tahun.
Afif alias Sunakim, seorang dari empat pelaku yang tewas dalam Teror Bom Thamrin Jakarta 14 Januari 2016 menjadi radikal di penjara karena pengaruh Aman Abdurrahman, seorang ulama yang sempat ditahan di Penjara Cipinang sebelum dipindah ke Nusakambangan, Cilacap.
Afif yang sempat dihukum tujuh tahun penjara karena ikut pelatihan militer di Jalin Aceh adalah tukang urut Aman saat mereka sama-sama di Penjara Cipinang.
Sidney Jones, pakar terorisme Asia Tenggara mengatakan Aman adalah pemimpin ideologi aksi Bom Thamrin tersebut.
Perlu dikaji
Pengamat terorisme Nasir Abbas menilai wacana penempatan teroris dalam satu penjara perlu dikaji lebih komprehensif karena akan ada efek baik dan buruknya.
“Apakah kita sudah siap dengan sistem konstruktif untuk pembinaan? Apakah ada program baru? Menurut saya, tak semua harus dipisahkan,” katanya kepada BeritaBenar, Rabu, 28 Desember 2016.
Menurut bekas pentolan JI Asia Tenggara itu, napi teroris yang perlu dipisahkan dan tidak berbaur dengan napi lain adalah ideolog seperti Aman Abdurrahman.
Aman yang dihukum sembilan tahun karena terlibat kasus pelatihan militer JI di pegunungan Jalin, Aceh, awal 2010, diyakini banyak mencuci otak napi kriminal lainnya sehingga menjadi radikal. Ia disebut telah berbaiat pada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Menurut Nasir, para ideolog teroris sudah sepantasnya diisolasi. Karena itu sejak awal ditangkap polisi, harus ada pengelompokan napi terorisme.
“Ada ideolog, ada yang jadi eksekutor, ada yang punya kemampuan merakit bom, ada juga hanya karena tidak melaporkan rumahnya jadi tempat persembunyian teroris. Jadi menurut saya, tak baik juga kalau semuanya digabung,” ujarnya.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebenarnya telah melakukan pendataan dan memetakan level teroris yang ditahan di sejumlah penjara.
Menurut data BNPT, sekitar 50-an napi terorisme dianggap paling radikal dan 63 orang menolak program deradikalisasi. Selain itu, 85 orang bersedia ikut program deradikalisasi dan sisanya bersedia menjadi pelopor program itu.
Sri Puguh menyatakan sembilan dari 238 narapidana terorisme digolongkan sebagai ideolog.
“Para idiolog memang sudah diisolasi. Mereka tidak diperkenankan berinteraksi dengan para napi lain,” tuturnya kepada BeritaBenar.
Pisau bermata dua’
Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie, mengatakan penyatuan napi terorisme seperti “pisau bermata dua” karena di satu sisi akan memudahkan pengawasan, tetapi juga berisiko meningkatkan perlawanan.
“Ideologi mereka bisa jadi lebih kuat jika nanti disatukan dalam satu penjara,” kata Taufik, “intinya penanganan napi teroris perlu terus diperbaiki. Program deradikalisasi harus dibenahi agar lebih baik.”
Anggota Komisi III DPR RI, Ahmad Basarah, berpendapa pengelolaan penjara harus ditingkatkan karena di sejumlah daerah melebihi kapasitas.
“Saya berharap pemerintah lebih memberikan perhatian karena kita tidak mau lagi mendengar ada napi yang mempengaruhi satu sama lain,” ujar politisi PDI Perjuangan itu.