Indonesia resmikan provinsi ke-6 di Papua, aktivis nilai sebagai penggusuran warga asli
2022.12.09
Jayapura dan Jakarta

Pemerintah pada Jumat (9/12) meresmikan daerah otonom baru keenam di Papua, Provinsi Papua Barat Daya, menjadikan Indonesia memiliki 38 provinsi, dimana kebijakan tersebut dinilai sejumlah pihak semata sebagai upaya penguasaan tanah dan penggusuran orang asli Papua.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian – atas nama Presiden Joko “Jokowi” Widodo – mengumumkan daerah otonom baru (DOB) tersebut sekaligus melantik Penjabat Gubernur Papua Barat Daya Muhammad Musa'ad di gedung Kementerian Dalam Negeri di Jakarta.
"Saya Mendagri atas nama Presiden Republik Indonesia dengan ini meresmikan Provinsi Papua Barat Daya berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2022. Semoga Tuhan yang maha kuasa meridai kita semua," kata Tito yang juga melantik penjabat gubernur provinsi terbaru itu, Jumat (9/12).
Dengan peresmian provinsi Papua Barat Daya, wilayah paling timur Indonesia itu yang awalnya hanya satu provinsi kini resmi dibagi menjadi enam provinsi.
Pada tahun 2003, Provinsi Papua dibagi atau meminjam istilah pemerintah, dimekarkan, menjadi dua provinsi, dengan diresmikannya Provinsi Papua Barat melalui Instruksi Presiden No 1/2003. Hampir dua dekade kemudian tepatnya pada Juni 2022 tiga provinsi baru dibentuk yaitu Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan, yang para penjabat gubernurnya dilantik pada 11 November lalu. Kemudian DPR mengesahkan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya pada 17 November.
Dalam sambutannya, Mendagri Tito menjelaskan bahwa Musa’ad dipilih sebagai Penjabat Gubernur Papua Barat Daya melalui mekanisme usulan dan sidang Tim Penilai Akhir yang dipimpin langsung oleh Presiden.
“Saya minta amanah yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Kuasa serta kepercayaan pimpinan negara Bapak Presiden kepada Bapak agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dan selurus-lurusnya, serta setulus-tulusnya untuk dapat mempercepat pembangunan di Provinsi Papua Barat Daya,” ujar Tito.
Selain itu, Tito meminta Penjabat Gubernur agar menjaga stabilitas politik dan keamanan di Papua Barat Daya. .
Kebijakan mengabaikan orang asli Papua
Direktur Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Warinussy, mengatakan bahwa pemekaran provinsi di tanah Papua yang kini dilakukan oleh pemerintah tidak berdasarkan kebutuhan orang asli Papua (OAP) sebagai salah satu subjek hukum penting.
“Negara sama sekali tidak memenuhi kewajibannya untuk mendengar aspirasi rakyat Papua,” kata Warinussy.
Aktivis Papua Merdeka, Oktovianus Mote, mengatakan pemerintah sejak tahun 1963 mencari cara memusnahkan OAP dan mengklaim tanah Papua ini sebagai milik Indonesia.
“Yang dibutuhkan dari Papua ini hanya tanahnya, bukan manusianya,” kata Mote kepada BenarNews.
“(Mantan Kepala BIN) Hendropriyono sendiri sudah pernah bilang OAP di pindahkan ke Sulawesi saja. Ini adalah slow motion genocide.”
Menurut Mote, cara yang paling mungkin untuk menguasai tanah Papua adalah membagi tanahnya, sehingga dengan tiba-tiba Indonesia membagi-bagi Papua tanpa keterlibatan OAP.
“Selain itu, OAP juga sudah mulai terkonsolidasi untuk merdeka,” tegas Mote.
Mote menambahkan dengan pembentukan provinsi baru tersebut akan mendorong masuknya orang non-Papua dalam jumlah besar sehingga pada gilirannya orang asli akan habis.
Selain itu, kata dia, karena setiap provinsi akan mendirikan satu Komando Daerah Militer (Kodam) dan satu Kepolisian Daerah (Polda), sehingga pada akhirnya satu aparat akan jaga satu orang Papua.
“Militer akan bertambah terus,” kata Mote, menambahkan orang asli Papua yang mendukung pemekaran dan mendukung kebijakan politik Indonesia ini selalu berakhir tragis, seperti mantan gubernur Papua, Barnabas Suebu.
“Orang Papua harus bangkit bersatu dan lawan. Tidak ada kata lain. Mau harap siapa?” teriak Mote.
“Proses pembuatan UU sengaja dipercepat”
Menyoroti pembentukan Provinsi Papua Barat Daya dan keprihatinan aktivis Papua, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Riris Katharina mengungkapkan bahwa secara politik penyusunan seluruh UU Pembentukan Provinsi di Papua memang disengaja dipercepat.
Menurut Riris, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mem-by pass banyak prosedur sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tanpa didahului pembentukan daerah persiapan, bahkan prosesnya lebih singkat.
“Akibatnya, proses deliberative menjadi proses formalitas semata. Persoalan yang diidentifikasi para peneliti, akademisi diselesaikan secara teknokratik, yang untuk Papua kurang relevan. Contoh konkret penempatan OAP dalam birokrasi,” kata Riris kepada BenarNews.
Riris mempertanyakan berapa banyak birokrat OAP yang bisa duduk dalam jabatan birokrasi yang aturannya sudah jelas, yaitu harus duduk dalam kepangkatan tertentu.
“Ini yang dikhawatirkan orang luar akan kembali menduduki jabatan-jabatan dalam birokrasi,” kata Riris.
“Kalaupun untuk menghindari hal ini terjadi persyaratan itu diturunkan, apakah kemudian ada jaminan profesionalisme birokrasi yang akan melayani di Papua? Mengapa ini tidak dibahas terlebih dahulu dalam proses deliberasi di masyarakat?”
“Kita akan melihat konflik akan terus berkepanjangan terjadi di Papua,” pungkas Riris.