Ramos Horta Desak Suu Kyi Perhatikan Muslim Rohingya

Tia Asmara
2016.05.06
Jakarta
160506_ID_RamosHorta_1000.jpg Mantan Presiden Timor Leste, Jose Ramos Horta, dalam acara Asean Literary Festival 2016 di Jakarta, Kamis malam, 5 Mei 2016.
AFP

Peraih Nobel Perdamaian 1996, Jose Ramos Horta, mendesak tokoh pro-demokratis Myanmar, Aung San Suu Kyi, untuk lebih memberikan perhatian kepada kaum minoritas Muslim Rohingya di masa pemerintahan baru yang dikuasai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinannya.

“Suu Kyi harus mengupayakan tindakan yang seharusnya pemimpin bijaksana lakukan di dunia,” ujar Horta saat berpidato pada ASEAN Literary Festival (ALF) 2016 di Teater Jakarta, Komplek Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis malam, 5 Mei 2016.

Pemerintahan baru Myanmar, tambahnya, harus memfokuskan penyelesaian masalah sensitif di Rohingya dengan cara mengelola kekuatan untuk menghindari munculnya konflik antara kaum minoritas Muslim dan mayoritas Budha.

“Dibutuhkan kepemimpinan yang kuat, berani, bijaksana dan tenang,” tegas mantan Presiden Timor Leste itu.

Dia menambahkan bahwa Myanmar adalah contoh perjuangan masa transisi yang sulit dalam mewujudkan politik terbuka. “Pemerintah harus berhati-hati dalam setiap langkah perjalanan politik sehingga tercipta kalangan multietnis yang dinamis di Myanmar,” katanya.

Menurut dia, tak seperti Indonesia yang cepat pulih dalam menangani konflik sensitif terkait agama, Myanmar justru dinilai belum mampu menciptakan keberagaman etnis dan agama.

“Indonesia lebih baik dibandingkan dengan Myanmar. Indonesia sempat dilanda kerusuhan di Kalimantan saat suku Dayak dan Madura, kemudian di Ambon saat umat muslim dan Kristen berkonflik. Ini mengakibatkan banyak korban jiwa, namun sekarang Indonesia sudah hidup berdampingan dengan keberagaman etnis dan agama,” ujar Horta.

Ia menyerukan Pemerintah Myanmar seharusnya belajar dari Indonesia mengenai bagaimana menyelesaikan konflik di masa transisi suatu rezim ke era demokrasi yang dinamis.

“Myanmar menghadapi masalah yang sama dan seharusnya belajar karena Indonesia sekarang sudah damai, dengan Muslim terbesar bisa menghadapi segala tantangan,” ujar dia.

Seperti diketahui bahwa selama ini, Suu Kyi yang merupakan peraih Nobel Perdamaian tahun 1991 banyak dikecam karena tidak pernah mengeluarkan pernyataan apapun terkait masalah penganiayaan yang dialami etnis minoritas Rohingya.

Sebanyak 140.000 Rohingya masih hidup dalam kesengsaraan di kamp-kamp pengungsian di kawasan Rakhine dan perbatasan Bangladesh dalam beberapa tahun terakhir. Malah, Muslim Rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar.

Rekonsiliasi Papua

Horta juga mengomentari tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di berbagai belahan dunia, termasuk di Timor Leste dan Papua. Namun ia menekankan untuk tidak terus menerus mengungkit masa lalu.

“Masa lalu biarlah menjadi masa lalu. Solusi sudah ditemukan dengan upaya rekonsiliasi dan membuka kerjasama dengan pemerintah Indonesia,” katanya.

Menurutnya, kemerdekaan masyarakat Papua adalah keinginan untuk perdamaian dan harga diri dalam memiliki kesempatan belajar sama dengan masyarakat Indonesia lainnya.

“Saya percaya pemerintahan Jokowi berkomitmen untuk mewujudkan hal tersebut untuk menyelesaikan masalah. Dialog akan berguna dalam menangani pandangan kritis yang ada,” ujar Horta.

Masalah utama di Papua, menurut dia, adalah pendidikan karena tidak ada satu negara pun bisa bertahan tanpa pendidikan.

“Papua hanya ingin didengarkan. Mereka ingin berkembang maju, bekerja dan belajar lebih giat karena hanya dengan itu, Papua bisa merdeka dalam naungan NKRI. Saran saya untuk masyarakat Papua adalah untuk belajar, belajar, dan belajar,” tandasnya.

Meski mengakui kekerasan dan pelanggaran HAM, namun Horta meyakini kalau pemerintahan Jokowi bisa menyelesaikan kasus HAM di Papua. “Pemerintah Indonesia terus menginvestigasi kasus per kasus dan tentunya dengan bantuan banyak pihak seperti Non Government Organisation dalam penyelesaian kasus HAM,” ujar dia.

Ia juga mengingatkan, perdamaian tidak dapat dicapai hanya dengan stabilitas keamanan dan pertumbuhan ekonomi yang baik. Horta memberi contoh pertumbuhan ekonomi Timor Leste yang mencapai dua kali lipat tidak menggambarkan kesejahteraan merata penduduk.

“Maka sangat penting bagi pemimpin untuk memiliki pemerintahan yang multietnik, multikultur and multi religion society,” ujarnya.

Sempat terancam batal

Penyelenggaraan ALF 2016 sempat terancam batal karena adanya protes dari sejumlah pihak yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Muslim (AM3). Mereka sempat berunjukrasa di depan TIM, Kamis sore. Tapi polisi segera mengamankan lokasi dan diputuskan untuk tetap melanjutkan acara yang berlangsung empat hari.

Kordinator Lapangan AM3, Sahrir Hasibuan, menuding pelaksanaan kegiatan itu bertujuan untuk mendukung penyebaran paham komunisme dan LGBT serta mendorong disintegrasi Papua dari NKRI.

“Kegiatan ini mengatasnamakan kebebasan berekspresi, keadilan dan perdamaian hanyalah pemanis belaka saja. Kami menolak kegiatan ini dilanjutkan,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima BeritaBenar.

Namun Direktur Program ALF 2016, Okky Madasari mengatakan, diskusi-diskusi yang diadakan tak bermaksud menyebarkan atau mempengaruhi masyarakat akan tema seperti menyebarkan tren LGBT atau memisahkan Papua dari Indonesia.

"Kami ingin meletakkan sastrawan sebagai kekuatan untuk menyampaikan keluhan korban,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.