Seruan reformasi kepolisian menguat menyusul kasus Ferdy Sambo

Analis, aktivis sebut akar permasalahan di kepolisian adalah wewenang lembaga itu yang sangat besar.
Nazarudin Latif
2022.09.21
Jakarta
Seruan reformasi kepolisian menguat menyusul kasus Ferdy Sambo Polisi tampak bersiaga ketika terjadi unjuk rasa di sekitar gedung DPR di Jakarta, 11 April 2022.
[Willy Kurniawan/Reuters]

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mohammad Mahfud MD pada Rabu mengatakan perlu ada perubahan budaya di kepolisian, saat kritik masyarakat terhadap institusi tersebut semakin menguat menyusul skandal yang melibatkan anggota lembaga itu baru-baru ini.

Institusi Polri semakin mendapat sorotan setelah terkuaknya kasus pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat pada Juli lalu yang diduga dilakukan oleh atasannya Ferdy Sambo, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri berpangkat inspektur jenderal.  

“Paling penting adalah moralitas. Sikap tamak, hedonis, sewenang-wenang, kesombongan itu masuk dalam lingkup moralitas kita, bagaimana menjadi polisi yang humble (rendah hati)," kata Mahfud dalam sebuah tayangan kanal YouTube Polri TV Radio

Membangun hukum yang baik menurut Mahfud juga harus menyiapkan aparat hukum yang mumpuni.

“Kita yang agak lemah di budaya hukum. Mari kita lihat kulturnya ini, yang kemudian memengaruhi kinerja struktur yang sudah bagus ini,” ujar dia.

“Reformasi kultural di polisi memang harus diperbaiki. Tidak ada gunanya memperbaiki isi aturan jika budaya hukumnya tidak benar,” lanjut dia.

Kekayaan Sambo dan perwira polisi lain yang tidak sesuai dengan profil gaji mereka semakin menjadi pembicaraan publik setelah terkuaknya kasus yang melibatkannya.

Kritikan terhadap gaya hidup mewah polisi muncul dalam rapat kerja antara pimpinan Polri dan Komisi III DPR bulan lalu, saat legislator Arteria Dahlan mengomentari Brigjen Hendra Kurniawan yang kerap berganti mobil.

Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir mengkritik gaya hidup polisi di tingkat bawah yang menjadi raja-raja kecil dengan bergaya hidup seperti merokok cerutu, pesta, wine, dan mengendarai mobil mewah.

Hendra saat ini sedang menjalani sidang etik terkait tuduhan merintangi keadilan dalam kasus pembunuhan Yosua.

Selain kasus pembunuhan tersebut, perkara yang melibatkan polisi dengan pangkat tinggi antara lain kasus suap yang melibatkan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte, yang menerima uang dari terpidana korupsi Bank Bali Djoko Tjandra sebesar Rp7 miliar.

Kewenangan sangat besar

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengatakan apa yang dikatakan Mahfud merupakan sentimen masyarakat.

Dia mengatakan ada kesan polisi lamban dalam mengungkap kasus pembunuhan yang melibatkan Sambo.

“Padahal terkait pembunuhannya sendiri ini kasus yang sederhana. Yang terkait upaya rekayasa juga sebenarnya sudah jelas, tapi seolah ditunda-tunda dengan alasan memang harus melalui tahapan-tahapan,” ujar Bambang saat dihubungi BenarNews.

Bambang mengatakan kepolisian menjadi arogan karena kewenangannya besar sekali sesuai Undang-Undang No 2 Tahun 2002, yang merupakan bagian dari reformasi yang memisahkan Polri dari TNI setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998.

“Kewenangan Polri menjadi besar, mulai dari perumusan anggaran, kebijakan, operasional bahkan pengawasan. Nyaris tidak ada pengawasan yang kuat karena dipegang oleh internal sendiri,” kata Bambang.

Bambang mengusulkan untuk melakukan revisi undang-undang kepolisian yang memungkinkan dibuatnya kementerian baru yang menaungi Polri.

Ketua Indonesia Police Watch, Teguh Sugeng Santoso mengatakan Polri memiliki kewenangan yang sangat besar dan terpusat, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan terhadap dirinya sendiri.

Reformasi di kepolisian juga gagal membersihkan lembaga itu dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pengisian jabatan.

“Akibatnya pengisian jabatan tidak semata-mata memperhatikan prestasi, namun faktor lain yaitu KKN,” ujarnya.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan pada masa Presiden Joko “Jokowi” Widodo terlihat jelas peran kepolisian makin besar di lembaga-lembaga pemerintahan, bahkan menjadi pelaksana tugas bupati atau gubernur yang kosong.

“Dulu saat zaman Presiden SBY yang multifungsi TNI, zaman Presiden Jokowi ini posisi kepolisian yang multifungsi,” ujar dia.

Menurut Julius, UU Kepolisian tahun 2002 sudah saatnya direvisi agar membuat polisi fokus pada penanganan pidana dalam konteks keamanan dalam negeri, ketertiban umum dan penegakan hukum.

“Dengan demikian mencabut fungsi administrasi yang tidak substantif bagi Polri,” ujarnya.

Dalam penyelenggaraan pemeriksaan pidana, kata dia, harus ditambah dengan transparansi dan akuntabilitas pengawasan, salah satunya dengan menjadikan Komisi Kepolisian Nasional sebagai intitusi yang mandiri dan dilibatkan sebagai pengawas etik dan teknis.

“Dalam UU juga harus diatur pelibatan Komnas (Komisi Nasional) HAM (hak asasi manusia), Komnas Perempuan dan Anak dalam penanganan kasus pidana yang berhubungan dengan perkara itu, seperti halnya pelibatan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan) dalam perkara yang berhubungan dengan aliran uang,” ujar dia.

Akar masalah di tubuh kepolisian adalah tidak adanya pertanggungjawaban dan penghukuman atas kejahatan yang dilakukan anggota terutama para perwira tinggi, kata Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid.

“Mekanisme pengawasan internal kepolisian diberikan kepada orang yang salah dan akibatnya lemah dan tebang pilih serta cenderung bersikap anti hak asasi manusia,” ujarnya.

Mekanisme pengawasan eksekutif tidak berjalan, ditambah lagi dengan adanya kepentingan tertentu yg terselubung baik politis maupun bisnis, sementara mekanisme eksternal juga tampaknya kurang efektif karena lemahnya obyektifitas dan independensi, kata Usman.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengatakan kultur kekerasan di kepolisian termasuk “praktik penggunaan senjata api tak terukur dan penyiksaan.”

“Hal ini lagi-lagi bersifat paradoksal dengan semangat mewujudkan anggota kepolisian agar lebih humanis,” ucap Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar kepada BenarNews.

Dalam periode Juli 2021 – Juni 2022, KontraS mencatat setidaknya telah terjadi 677 peristiwa kekerasan oleh pihak kepolisian.

Sejumlah kekerasan itu telah menimbulkan 928 jiwa luka-luka, dan 59 jiwa tewas dan 1240 ditangkap, kata Rivanlee. Pelanggaran didominasi oleh penggunaan senjata api sebanyak 456 kasus.

Pizaro Gozali Idrus berkontribusi pada artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.